Ilustrasi wakaf uang. | Republika/Thoudy Badai

Iqtishodia

Mahasiswa IPB Teliti Perilaku Wakaf

Kecenderungan dalam melakukan wakaf tidak lain atas penyebaran informasi yang baik.

OLEH Siti Aliyah Rhomadonah (Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Syariah IPB), Muhammad Rizki Abdurrahman (Mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB), Muhamad Dodi Bokasa (Mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB), Ihsan Hidayat (Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi IPB), Mardhiyah Khoirunnisa (Mahasiswa Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB), Dr Alla Asmara (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi IPB)

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi pengembangan wakaf produktif terbaik di dunia (Wahyudi et al, 2023). Hal ini didukung oleh tingginya populasi Muslim di Indonesia hingga mencapai 86,7 persen atau sekitar 237,56 juta jiwa (RISSC, 2022; Munandar & Hasan, 2023).

Besarnya potensi tersebut mendorong Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk terus menggencarkan program wakaf ini termasuk IPB University yang menjadi nazir dalam peresmiannya pada tahun 2020. Peningkatan literasi wakaf memberikan pengaruh kepada impostor syndrome masyarakat terhadap kehidupan pasca-di dunia sehingga pada akhirnya akan menstimulasi untuk berwakaf. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya wakaf yang dilakukan oleh institusi pendidikan seperti IPB University berwakaf hingga 200 miliar (Badan Wakaf Indonesia, 2022). Bahkan, hingga 30 September 2023, IPB University mengumpulkan dana wakaf sebesar 9 miliar yang salah satunya meliputi wakaf uang sebesar 4 miliar.

Berdasarkan fenomena tersebut, institusi pendidikan memiliki potensi besar dalam melakukan wakaf yang dilakukan oleh mahasiswa berupa wakaf uang bagi produktivitas (Lubis, 2020). Akan tetapi, besarnya potensi tersebut nyatanya memiliki hubungan kausalitas dengan impostor syndrome seseorang.

photo
Tim PKM-RSH IPB bersama Dr. Alla Asmara - (IPB)

Adapun impostor syndrome merupakan keyakinan batin seseorang yang meragukan kemampuan dirinya sendiri dan percaya bahwa dirinya tidak sehebat pandangan orang lain terhadapnya (Nori & Vantajja, 2022).

Impostor syndrome atau biasa disebut impostorism merupakan salah satu istilah yang cukup berkembang di era Society 5.0. Impostor syndrome mencerminkan kerentanannya terhadap perasaan meragukan diri, kepercayaan diri yang rendah, dan perasaan bahwa kesuksesan yang diperoleh merupakan hasil dari faktor eksternal seperti keberuntungan semata (Bravata et al, 2020; Opara et al, 2023).

Fenomena ini dapat dialami oleh siapa saja, bahkan kalangan berpendidikan tinggi, seperti mahasiswa hingga doktoral (Nori & Vantajja, 2022).

Berdasarkan aktualisasinya, individu yang mengalami impostor syndrome disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu minimnya kepercayaan diri, sering membandingkan diri dengan orang lain, serta perfeksionisme.

Kondisi tersebut menyebabkan kecemasan yang berlebih pada individu sehingga berimpresi negatif terhadap psychological well-being seseorang. Salah satu cakupan dalam kecemasan ini seperti cemas dalam menghadapi kehidupan pasca-di dunia (Gabsby, 2020; Arleo et al, 2021; Lezama, 2023).

Pada aspek religiositas, impostor syndrome dapat memengaruhi kepercayaan diri seorang mengenai nasibnya di kehidupan selanjutnya (akhirat). Impostor syndrome dapat mendorong seseorang untuk terus melakukan amal kebajikan, tapi dengan keterbatasan umur manusia menyebabkan seseorang lebih bersemangat menjalankan kebajikan yang tidak mengenal batas usia dan dikenal dengan istilah amal jariyah. Sedekah jariyah yang dimaksud merujuk kepada wakaf (Permana & Rukmana, 2019).

Wakaf didefinisikan sebagai pelepasan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif kepada mauquf’alaih sebagai sedekah berkelanjutan (Usman & Rahman, 2023). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

photo
Ilustrasi wakaf. - (Republika/Thoudy Badai)

Dasar hukum wakaf tidak tertulis secara eksplisit, tetapi tercantum secara tersirat dalam QS al-Baqarah ayat 267 yang menganjurkan manusia untuk menggunakan hartanya di jalan Allah (Damayanti et al, 2023). Berdasarkan implementasinya, waqf behavior atau perilaku wakaf berpotensi menjadi mediator hubungan antara religiositas dan impostor syndrome.

Ketika religiositas seseorang tinggi, maka kecemasan akan menurun. Kondisi tersebut berimpresi terhadap impostor syndrome seseorang (Muzakki & Mariyati, 2023).

Berdasarkan aktualisasinya, kecenderungan dalam melakukan wakaf tidak lain atas penyebaran informasi yang baik. Pada akhir abad ke-19, seorang psikolog Jerman, Hermann Ebbinghaus, menguji dirinya sendiri untuk melihat apakah dia dapat menyimpan informasi setelah periode waktu yang berbeda.

Hasil analisis yang diperoleh setelah melakukan beberapa percobaan kemudian diplot dalam grafik yang dikenal sebagai pendekatan Ebbinghaus Forgetting Curve (Ebbinghaus, 2013). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa seseorang dapat melupakan hingga 79 persen informasi langsung yang mereka terima dalam waktu 31 hari.

Namun, jika mereka meninjau informasi secara teratur, mereka dapat mempertahankan hingga 80 persen informasi langsung setelah 1 bulan (Swart dan Venter, 2018). Hal ini membuktikan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk lupa atau kesulitan seseorang untuk memperoleh informasi yang sudah tersimpan di dalam otak, salah satunya terkait informasi wakaf.

Berdasarkan latar belakang tersebut, tim PKM-RSH IPB yang beranggotakan Siti Aliyah Rhomadonah, Muhammad Rizki Abdurrahman, Muhamad Dodi Bokasa, Ihsan Hidayat, dan Mardhiyah Khoirunnisa bersama Dr Alla Asmara sebagai dosen pembimbing melakukan riset yang berjudul "Analisis Impostor Syndrome dalam Aspek Religiusitas terhadap Waqf Behavior Mahasiswa IPB dengan Pendekatan Ebbinghaus Forgetting Curve".

Dana riset bersumber dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi serta didukung pembiayaan dana yang bersumber dari perguruan tinggi.
Penelitian dilaksanakan selama lima bulan dari bulan Juni hingga November 2023. Penelitian ini mengkaji intensi dan potensi waqf behavior sebagai mediator hubungan antara religiositas mahasiswa dengan fenomena impostor syndrome, biasa disebut impostorism, yang menyebabkan suatu individu merasa cemas dalam menghadapi kehidupan pasca-di dunia atau biasa dikenal dengan alam akhirat.

photo
Ebbinghaus Forgetting Curve. - (IPB)

Secara lebih mendalam, penelitian ini juga mengaitkan hubungan antara waqf behavior mahasiswa IPB University dengan pendekatan Ebbinghaus Forgetting Curve. Hasil riset menunjukkan bahwa responden yang teridentifikasi memiliki impostor syndrom yang rendah sebanyak 38,7 persen, 49,4 persen teridentifikasi moderat, 10 persen teridentifikasi tinggi, dan hanya 1,9 persen teridentifikasi sangat tinggi.

Tingkatan setiap impostor syndrome menandakan kecemasan pada kehidupan akhirat. Selain itu, riset ini juga mengkaji pengaruh impostor syndrome dalam aspek religiositas terhadap Ebbinghaus Forgetting Curve pada mahasiswa Institut Pertanian Bogor.

Berdasarkan kurva tersebut, maka dapat diketahui kurva kelupaan penderita impostor syndrome sangat tinggi, berada paling atas dibandingkan kurva kelupaan penderita impostor syndrome lainnya. Hal ini menunjukkan penderita impostor syndrome kelompok sangat tinggi merupakan kelompok yang paling sulit melupakan sesuatu atau yang paling kuat ingatannya dan sebaliknya.

Oleh sebab itu, impostor syndrome memiliki hubungan yang positif terhadap kekuatan memori seseorang. Semakin tinggi tingkat impostor syndrome seseorang maka kekuatan ingatan seseorang cenderung semakin kuat.

Riset ini juga menganalisis peningkatan waqf behavior berdasarkan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi atas pengaruh impostor syndrome dalam aspek religiositas pada mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan hasil regresi yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa waqf behavior memiliki pengaruh untuk mengatasi atau menurunkan tingkat impostor syndrome seseorang. Semakin tinggi waqf behavior seseorang, maka semakin rendah tingkat impostor syndrome yang dimilikinya.

Hal ini dikuatkan oleh pernyataan dari salah satu narasumber dalam penelitian ini, Dr Irfan Syauqi Beik selaku deputy Secretary General of World Zakat and Waqf Forum (WZWF) 2023-2026 yang menyatakan bahwa kebaikan atau amal ibadah dapat menjadi sarana terapi untuk mengatasi masalah psikologi, termasuk impostor syndrome.

Selain itu, berdasarkan wawancara dengan Anisa Rahmawati selaku psikolog di RS Medika Dramaga, dinyatakan bahwa skema wakaf dapat memberikan peran strategis dalam mengatasi impostor syndrome pada aspek religiositas. Hal ini karena berwakaf memberikan kontribusi nyata terhadap kondisi emosional dan pikiran sehingga menjadi stabil dan terkontrol serta menumbuhkan sikap, pikiran, dan perilaku dalam aspek religiositas.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat