Opini
Madrasah al-Nizhamiyyah dan Peran Pendidikan di Balik Pembebasan Palestina
Para pelajar Madrasah al-Nizhamiyyah selalu ditunjuk untuk mengisi pos-pos strategis jabatan publik.
Oleh FARIS IBRAHIM, Mahasiswa Magister Studi Islam Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
Palestina kembali jadi pusat perhatian. Serangan semakin digalakkan, korban berjatuhan, tokoh-tokoh dunia mengecam, dan kita berbondong-bondong turun ke jalan.
Sebulan-dua bulan, coba perhatikan, kita akan mulai terbiasa dengan keadaan. Lalu bosan, dan begitulah akhirnya konflik Palestina tak ubahnya konten-konten viral lainnya yang cepat datang, cepat pula menghilang.
Palestina adalah contoh nyata permasalahan yang tidak dibersamai kesadaran jangka panjang bahwa sosok seperti Shalahuddin al-Ayyubi itu tidaklah muncul begitu saja dari aksi bela Palestina berjilid-jilid yang dihadiri massa membeludak.
Shalahuddin dan generasinya lahir dari rahim pendidikan berkesinambungan salah satu madrasah tersukses yang pernah ada dalam sejarah Islam, yang dinamakan Madrasah al-Nizhamiyyah.
Palestina adalah contoh nyata permasalahan yang tidak dibersamai kesadaran jangka panjang bahwa sosok seperti Shalahuddin al-Ayyubi itu tidaklah muncul begitu saja dari aksi bela Palestina berjilid-jilid yang dihadiri massa membeludak.
Sejarah dan faktor keberhasilah Madrasah al-Nizhamiyyah
Nizhamiyyah didirikan pada tahun 459 H oleh seorang menteri pendidikan pertama dalam sejarah Islam bernama Hasan bin Ali bin Ishaq al-Thusi atau yang masyhur dikenal sebagai Nizham al-Mulk dari Daulah Saljuqiyyah.
Mereka percaya bahwa kebangkitan suatu masyarakat selalu berkelindan dengan kebangkitan budaya ilmunya. Dan rasa percaya itulah yang kemudian membuatnya sepenuh hati mendirikan madrasahnya.
Dimulai dari detail terkecil seperti memilih lokasi madrasah-madrasahnya, Nizham al-Mulk sangat cekatan menentukannya. Kalau pesantren zaman sekarang cenderung memilih tempat-tempat terpencil, bahkan kalau perlu berada di hutan sekalian demi kemungkinan perluasan lahan, ia malah memilih kota-kota besar seperti Baghdad, Bashrah, sampai Asfahan dengan keyakinan: semakin besar kotanya, semakin besar pengaruh madrasahnya nanti di masyarakat.
Soal pemilihan tenaga pengajar pun tidak main-main. Nizham al-Mulk memilih yang terbaik di antara yang terbaik. Bahkan tak jarang kalau ia langsung yang menguji calon pengajarnya. Dan itulah yang terjadi pada sang Hujjatul Islam Abu al-Hamid al-Ghazali, ketika 'dikeroyok' di sebuah majelis yang dipenuhi ahli ilmu di masanya.
Kagum dengan keluasan ilmunya, Nizham al-Mulk pun akhirnya tanpa ragu menjadikannya pengajar di salah satu madrasahnya di Baghdad.
Satu faktor lagi yang jadi kunci keberhasilan Madrasah al-Nizhamiyyah adalah ketersediaan fasilitas dan sokongan finansial. Dari mulai asrama --setiap pelajar punya kamar sendiri-- perpustakaan megah yang memuat warisan intelektual berbagai peradaban sampai masanya, juga makanan yang sudah siap santap setiap harinya.
Belum lagi uang jajan bernilai 10 ribu dinar untuk setiap pelajar. Al-Nizhamiyyah adalah surganya penuntut ilmu di waktu itu.
Pendidikan jadi investasi terbaik di zaman peperangan
Untuk masa di mana obsesi para penguasanya adalah menguatkan militernya, mengingat Perang Salib yang sedang berkecamuk, tentu pilihan Sultan Alp Arselan dan menterinya, Nizham al-Mulk untuk berinvestasi habis-habisan pada pendidikan sangat riskan.
Akan tetapi mereka membuktikan bahwa tujuan dari investasi ini memang bukan manfaat dalam waktu dekat, melainkan maslahat jangka panjang untuk generasi-generasi yang akan datang. Nizham al-Mulk terbunuh tepat 7 tahun sebelum Baitul Maqdis jatuh ke tangan para tentara Salib.
Namun semenjak kematiannya itulah juga hasil dari investasi pendidikannya satu persatu mulai menemukan panggungnya. Karena kredibilitasnya, para pelajar Madrasah al-Nizhamiyyah selalu ditunjuk untuk mengisi pos-pos strategis jabatan publik.
Sebut saja misalnya Aq Sunqur yang diamanahi memegang wilayah Aleppo dan sekitarnya.
Untuk masa di mana obsesi para penguasanya adalah menguatkan militernya, mengingat Perang Salib yang sedang berkecamuk, tentu pilihan Sultan Alp Arselan dan menterinya, Nizham al-Mulk untuk berinvestasi habis-habisan pada pendidikan sangat riskan.
Di samping mengurus wilayah-wilayahnya, Aq Sunqur ternyata juga tak pernah lelah ikut serta dalam berbagai jilid Perang Salib. Hingga kemudian ia pun syahid pada tahun 487 H.
Aq Sunqur lalu digantikan putranya yang bernama Imaduddin Zanki.
Dibantu oleh para pelajar Madrasah al-Nizhamiyyah, ia pun berhasil menyatukan wilayah-wilayah strategis seperti Syam. Bahkan kemudian berhasil pula menaklukkan Edessa pada tahun 539 H, salah satu wilayah pertama dan utama yang dikuasai tentara Salib.
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Imaduddin Zanki pun pergi selama-lamanya kemudian digantikan oleh putranya Nuruddin Mamhud yang tak kalah berani.
Dari tangannya, Daulah Fathimiyyah tamat riwayatnya. Tercatat 50 kota sudah direbut kembali dari pasukan Salib di bawah kepemimpinanya.
Itu semua tidak terlepas dari tangan dingin seorang panglima besarnya yang kemudian melegenda, Shalahuddin al-Ayyubi.
Shalahuddin dan pendidikan yang melahirkan obsesi pembebasan
Sepeninggalan Nuruddin Mahmud, panji perjuangan kemudian diamanahkan ke Shalahudin al-Ayyubi yang dengan keteguhan hati menyatakan, "Ketika Allah memberiku tanah Mesir, aku yakin bahwa Ia juga akan memberikan padaku Palestina."
Setelah 14 tahun lamanya hidup dari pertempuran ke pertempuran dengan tekad itu, akhirnya pada tahun 583 H, tibalah pertempuran Hittin, yang menjadikan namanya abadi dalam sejarah Islam sebagai pembebas Masjidil Aqsa, kiblat pertama umat Islam.
Shalahuddin al-Ayyubi yang kata Imām al-Suyuthi adalah seorang penghafal Alquran berakidah Asy’arī --hafal kitab al-Tanbih, salah satu rujukan utama mazhab Syafi’i, juga kitab al-Hamasah yang memuat himpunan syair-syair-- pasca kemenangannya merebut kembali al-Quds tetap melestarikan semangat menteri Nizham al-Mulk dengan membangun madrasah-madrasah, membuka halaqah-halaqah keilmuan, demi terus mencetak generasi pewaris negeri.
Shalahuddin al-Ayyubi pasca kemenangannya merebut kembali al-Quds tetap melestarikan semangat menteri Nizham al-Mulk dengan membangun madrasah-madrasah, membuka halaqah-halaqah keilmuan, demi terus mencetak generasi pewaris negeri.
Dan begitulah pertanyaan Majid ‘Irsan al-Kilani tentang bagaimana generasi Shalahuddin muncul, dan bagaimana al-Quds Kembali terjawab. Jawabannya adalah pendidikan. Pendidikan yang melahirkan obsesi pembebasan.
Jikalau Shalahuddin merebut kembali al-Quds setelah 88 tahun dikuasai pasukan Salib, maka kita masih punya 13 tahun untuk menyamai prestasi Shalahuddin untuk merebut kembali Palestina yang sudah diduki Israel 75 tahun lamanya.
Dan di situlah peran madrasah-madrasah al-Nidzhamiyyah hari ini untuk mencetak generasi pembebasnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Tepi Barat: Kami Adalah Pedang dan Perisai Gaza
Perlawanan di Tepi Barat dan Yerusalem Timur terus menggelora.
SELENGKAPNYAPejuang Hamas Jebak Tentara Israel di Gaza
Pasukan Israel klaim telah mengamankan benteng militer Hamas.
SELENGKAPNYABisakah Jokowi Bujuk Biden Akhiri Perang?
Jokowi akan diutus OKI menyampaikan sikap setelah KTT di Riyadh.
SELENGKAPNYA