ILUSTRASI Kapal-kapal Portugis di Malaka. Portugis merupakan ancaman bagi Kesultanan Aceh pada abad ke16. | Public Domains

Dunia Islam

Dukungan Turki untuk Aceh Melawan Portugis

Portugis merupakan ancaman bagi Kesultanan Aceh pada abad ke-16.

Ribuan kilometer terbentang antara Turki dan Aceh. Namun, jarak geografis itu bukanlah kendala bagi pemimpin masing-masing negeri untuk menjalin hubungan yang erat. Setidaknya sejak abad ke-16, Aceh Darussalam berinisiatif mendapatkan dukungan dari kerajaan Islam terbesar di Timur Tengah atau bahkan penjuru dunia itu. Sultan Ali Mughayat Syah memerlukan aliansi dengan Daulah Turki Utsmaniyah untuk mengusir Portugis dari Nusantara.

Mehmet Ozay dalam buku Kesultanan Aceh dan Turki: Antara Fakta dan Legenda (2013) mengatakan, sang sultan mengirimkan sejumlah delegasi ke Konstantinopel, pusat pemerintahan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Mereka membawa sejumlah besar komoditas berharga untuk diberikan kepada penguasa setempat, Sultan Suleiman I al-Qanuni.

Begitu tiba di tujuan, para utusan Aceh tersebut tidak bisa langsung menemui Sultan al-Qanuni. Sebab, pemimpin Utsmaniyah itu sedang memimpin pasukannya yang bertempur melawan Hungaria di Balkan dalam Perang Szigetwar. Alhasil, mereka menghabiskan waktu lebih lama di Konstantinopel sembari menunggu usainya pertempuran tersebut.

Dengan usaha sendiri, mereka menyewa tempat dan mencari penghasilan dengan menjual berbagai komoditas yang dibawanya. “Setelah Selim II, putra Sultan Sulaiman I, selesai dilantik, barulah utusan Aceh memperoleh kesempatan untuk melakukan kunjungan resmi ke Istana, yakni dua tahun setelah kedatangan mereka di Turki,” tulis Ozay.

photo
Bendera Kesultanan Aceh - (DOK Wikipedia)

Pertemuan itu terjadi pada 7 Januari 1565. Sebelumnya, para delegasi Aceh dengan sangat terpaksa sudah menjual semua komoditas lada yang mereka miliki, termasuk bagian yang sesungguhnya diniatkan sebagai hadiah kepada sultan Turki. Yang tersisa di tangan mereka hanyalah secupak lada (1 cupak sama dengan seperempat gantang). Itulah yang dapat mereka tawarkan kepada Sultan Selim II.

Sultan Turki Usmani kemudian memutuskan untuk mengusahakan bantuan militer kepada Aceh. Tidak hanya ratusan personel pasukan, tetapi juga berbagai bentuk persenjataan yang canggih pada masanya. Di antaranya adalah sebuah meriam yang belakangan dinamakan sebagai Lada Sicupak demi mengenang momen historis tersebut.

Peristiwa Lada Sicupak itu akhirnya meningkatkan hubungan politik-militer antara kekuatan Timur Tengah dan mitranya di Asia Tenggara. Upaya sultan Aceh itu sangat berpengaruh hingga mengalihkan perhatian Konstantinopel dari Samudra Hindia wilayah barat ke Nusantara, tepatnya Sumatra. Memang, Portugis sudah menjadi musuh bagi Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, terutama sejak kerajaan Katolik itu berhasil menguasai Ceuta pada 1415 dan Hormuz pada 1507.

photo
Meriam Lada Sicupak - (DOK Wikipedia)

Menurut Ozay, sultan Turki Utsmaniyah tidak meminta Aceh supaya mengirimkan upeti tahunan. Padahal, Konstantinopel biasanya mengharuskan negeri-negeri yang meminta dukungan kepadanya untuk menyerahkan persembahan. Hal itu menandakan, Aceh bukanlah negeri bawahan (vassal) bagi kekhalifahan tersebut. “Bantuan ini bukanlah semacam belas kasihan yang diberikan oleh pusat kekuasaan di Istanbul, tetapi suatu pertimbangan politik secara khusus sebagai hibah politik kepada Kesultanan Aceh untuk menyempurnakan kedaulatannya,” kata sejarawan tersebut.

Sesampainya di Aceh, para personel militer Turki membuat semacam lembaga pendidikan untuk melatihg rakyat dan pasukan Aceh. Tujuannya agar masyarakat lokal dapat menguasai taktik dan strategi peperangan yang andal. Orang-orang Aceh juga diajarkan untuk membuat meriam dan kapal yang bisa menampung meriam di dalamnya.

Merujuk pada Hikayat Meukuta Alam, Meriam Lada Sicupak terus dipakai balatentara Aceh sampai pecahnya perang melawan Belanda pada 1874. Ozay mengatakan, ada beberapa artikel yang terbit di Turki pada medio abad ke-20 yang menceritakan tentang meriam itu. Sayangnya, bukti simbolis hubungan antara Aceh dan Turki itu tak bertahan lama. Pada 1873, Belanda berhasil melancarkan invasi kedua atas Banda Aceh. Berbagai artefak dan persenjataan Aceh, termasuk Meriam Lada Sicupak, kemudian dikirimnya ke negara asal mereka di Eropa. Namun, benda bersejarah itu kini disebut-sebut sudah berada di Aceh, tepatnya disimpan di Desa Blang Balok, Peureulak, Kabupaten Aceh Timur.

photo
ILUSTRASI Warga Aceh keturunan Turki memasang bendera Kesultanan Aceh Darussalam dan bendera Turki pada peringatan ke-494 tahun hubungan internasional Aceh dengan Turki di Kompleks Makam Teungku Di Bitay, Banda Aceh, Aceh, Rabu (28/8/2019).  - (DOK ANTARA/ Irwansyah Putra)

Prof Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi (2010) menjelaskan, berkat sokongan Turki Utsmaniyah, perkembangan militer Aceh menjadi lebih maju bila dibandingkan kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara. Aspek taktik dan strategi militer Aceh juga sangat dipengaruhi oleh kekhalifahan tersebut. Tercatat, Aceh berulang kali menggempur Portugis di Melaka, yakni pada tahun-tahun 1737, 1547, 1568, 1573 dan 1577. Bangsa Eropa itu pun sering kali mengambil cara bertahan.

Sebagai contoh, Hadi mengatakan, pertempuran besar yang pecah antara kedua belah pihak pada 20 Januari 1568. Pasukan Aceh dipimpin Sultan Alauddin Ri’ayat Syah. Kekuatan militernya cukup lengkap, terdiri atas 300 kapal perang, 15 ribu personel, 400 orang pasukan elite Turki, dan 200 unit meriam. Serangan dilakukan secara mendadak ketika orang-orang Portugis sedang merayakan hari ulang tahun Raja Sebastian di Benteng Melaka. Waktu itu, bandar tersebut hanya dijaga 1.500 orang, yakni sekitar 200 orang Portugis dan selebihnya pasukan yang direkrut dari penduduk lokal non-Muslim.

Panglima Portugis di Melaka, Dom Lionis Pereira, kemudian meminta dukungan militer dari Johor dan Kedah. Namun, bantuan tersebut baru tiba di Melaka ketika Portugis sudah berhasil menangkal gerak laju pasukan Aceh. Dalam catatan Portugis, perang tersebut menewaskan sekitar empat ribu orang prajurit Aceh, termasuk Abdullah anak Sultan Aceh yang menjadi penguasa Aru. Mengetahui bahwa Johor telah mengirim pasukannya untuk membantu Portugis, Sultan Alauddin sangat marah. Pasukan Aceh lalu membakar beberapa desa di Johor dalam perjalanan pulang.

Dalam setiap peperangan besar di daratan, Aceh selalu tampil lebih dahulu, sedangkan Portugis bersikap menunggu dan bertahan. Keadaannya berbeda tatkala masing-masing kubu bertemu di lautan. Hadi menerangkan, inisiatif penyerangan tampaknya diambil kedua belah pihak secara bersamaan. Markas Portugis di Goa juga berupaya menghalangi masuknya bala bantuan Turki yang berlayar dari Laut Merah ke Aceh. Akan tetapi, usaha tersebut sering kali gagal.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Mengenang dr Mueen, Dokter Lulusan Indonesia yang Syahid di Gaza

Mueen menjadi dokter spesialis asal Gaza pertama yang lulus berkat beasiswa BSMI

SELENGKAPNYA

Etika Menurut Hamka

Buku ini menyajikan konstruksi pemikiran Buya Hamka mengenai etika.

SELENGKAPNYA

Puncak Peradaban Islam di Andalusia

Daulah Islam berkuasa di Andalusia (Spanyol) antara abad kedelapan dan 15 Masehi.

SELENGKAPNYA