Berkomunikasi dengan orang tua yang mengalami dementia (ilustrasi) | Unsplash/Danie Franco

Medika

Faktor Penyebab Demensia, dari Kebanyakan Duduk Hingga Hipertensi

Olahraga tidak dapat sepenuhnya mengatasi dampak buruk duduk.

Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal akademis, Jama, telah mengungkapkan bahwa duduk terlalu lama, baik di tempat kerja maupun di rumah, dapat meningkatkan risiko terkena demensia. Bahkan, jika orang tersebut rajin berolahraga.

Para peneliti menemukan bahwa efek negatif dari duduk berjam-jam dapat sangat berpengaruh. Risikonya pun tetap tinggi bahkan bagi individu yang berolahraga secara teratur.

Penelitian ini melibatkan 49.841 pria dan wanita berusia 60 tahun atau lebih dan hasilnya menegaskan bahwa perilaku menetap seperti duduk dapat meningkatkan risiko terkena demensia. “Temuan ini mendukung gagasan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk perilaku duduk dapat meningkatkan risiko demensia,” kata profesor neurologi di Boston University yang tidak terlibat dalam penelitian ini, Andrew Budson, dilansir The Washington Post, Selasa (17/10/2023).

Hasil penelitian ini juga menyoroti betapa besar dampak duduk pada kesehatan pikiran dan tubuh. Termasuk juga, menunjukkan bahwa olahraga saja mungkin tidak cukup untuk melindungi diri dari risiko ini.

Dampak buruk duduk telah diketahui sebelumnya, termasuk peningkatan risiko penyakit jantung, obesitas, diabetes, dan kematian dini. Bahkan, bagi mereka yang berolahraga, duduk berlebihan dapat menghilangkan beberapa manfaat metabolisme yang diharapkan dari aktivitas fisik.

Penelitian ini mencari tahu apakah duduk juga berdampak pada kesehatan otak, dan hasilnya mengungkapkan bahwa duduk yang berlebihan meningkatkan risiko demensia. Risiko semakin besar bagi mereka yang menghabiskan lebih dari 10 jam sehari duduk, dan risiko demensia bahkan meningkat hingga 63 persen lebih tinggi pada individu yang duduk lebih dari 12 jam.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa olahraga tidak dapat sepenuhnya mengatasi dampak buruk duduk. Karena orang yang berolahraga, tetapi duduk sepanjang hari memiliki risiko yang sama tingginya terkena demensia.

Profesor ilmu biologi dan antropologi di University of Southern California yang memimpin penelitian, David Raichlen memberikan panduan tentang bagaimana individu dapat mengurangi risiko demensia dengan menghindari perilaku duduk berlebihan. Menurut Raichlen, cara terbaik untuk mengurangi risiko demensia adalah dengan mengurangi duduk secara keseluruhan.

Hasil penelitian menunjukkan, individu yang tidak banyak bergerak selama 9,5 jam sehari tidak mengalami peningkatan risiko demensia. Bagi mereka yang memiliki pekerjaan yang mengharuskan mereka menghabiskan banyak waktu di meja dan di depan komputer, Raichlen merekomendasikan mencari peluang untuk bergerak lebih sering.

Ini bisa mencakup berjalan-jalan di sekitar kantor saat menelepon, menjadwalkan pertemuan yang melibatkan berjalan, bahkan mengganti waktu makan siang dengan berjalan. Selain itu, penting untuk mencatat berapa jam yang dihabiskan untuk duduk dalam sehari.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by RUKUN Dementia Support Center (@dementiasupportcenter)

Raichlen menekankan, jika waktu duduk mencapai atau melebihi 10 jam, individu sebaiknya lebih banyak bergerak dan mengurangi penggunaan Zoom. Meskipun penelitian ini hanya menunjukkan hubungan asosiatif antara duduk berlebihan dan risiko demensia, tidak dapat membuktikan bahwa duduk menyebabkan penurunan kognitif.

Namun, terdapat dugaan bahwa perilaku duduk dapat memengaruhi aliran darah otak dengan mengurangi pasokan oksigen dan bahan bakar ke otak. Selain itu, duduk berlebihan juga dapat memengaruhi pola makan dan kesehatan otak dalam jangka panjang. 

Faktor Hipertensi 

photo
Hipertensi - (yourlawyer.com)

Hipertensi atau tekanan darah tinggi dikenal sebagai faktor risiko beragam masalah kesehatan serius, termasuk demensia. Bila tekanan darah tidak terkontrol, penderita hipertensi akan berisiko 42 persen lebih tinggi untuk terkena demensia di kemudian hari.

Kaitan antara hipertensi yang tak terkontrol dengan risiko demensia diulas dalam sebuah artikel pada Journal of the American Medical Association, belum lama ini. Artikel tersebut didasarkan pada 17 studi berbeda yang melibatkan lebih dari 34 ribu partisipan berusia 60-110 tahun di 15 negara.

Sebagian dari partisipan tidak melakukan apa pun untuk mengontrol hipertensi mereka. Sedangkan sebagian lainnya melakukan modifikasi gaya hidup hingga menggunakan obat penurun tekanan darah untuk mengontrol hipertensi mereka.

Dari beragam studi tersebut, ditemukan bahwa penderita hipertensi yang tak terkontrol berisiko 42 persen lebih tinggi untuk terkena demensia. Namun, bila tekanan darahnya terkontrol, penderita hipertensi memiliki risiko demensia yang sama seperti orang-orang yang sehat.

"Terapi antihipertensi yang berkelanjutan hingga usia tua merupakan bagian penting dari pencegahan demensia," demikian isi artikel tersebut, seperti dilansir The Straits Times pada Selasa (17/10/23).

Lima langkah manajemen hipertensi - (Republika)

  ​

Konsultan geriatri dari Khoo Teck Puat Hospital, Dr Rachel Cheong, mengungkapkan, temuan dalam artikel tersebut mengindikasikan pentingnya terapi antihipertensi untuk penderita hipertensi di berbagai kelompok usia, termasuk lansia. Karena tanpa terapi, risiko penderita hipertensi terhadap demensia akan meningkat secara signifikan.

Ahli kardiologi dari The Heart and Vascular Centre, Dr Lim Choon Pin, turut menyoroti temuan bahwa tekanan darah yang terkontrol dapat membuat penderita hipertensi memiliki risiko demensia yang sama seperti orang-orang sehat. Temuan ini, menurut Dr Pin, mengindikasikan kontrol tekanan darah yang baik bisa membantu mencegah terjadinya demensia pada penderita hipertensi.

"Kita perlu menjaga tekanan darah di bawah 140/90 mmHg untuk orang-orang berusia di bawah 80 tahun dan menjaga tekanan darah di bawah 150/90 mmHg untuk orang-orang berusia di atas 80 tahun," kata Dr Pin.

Target tekanan darah yang perlu dicapai bisa lebih rendah pada penderita hipertensi yang memiliki masalah kesehatan lain. Sebagai contoh, mengidap penyakit ginjal atau penyakit jantung. "Target tekanan darah yang lebih rendah untuk kelompok ini, akan direkomendasikan," ujar Dr Pin.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Pokja Hipertensi PERKI (@hipertensiperki)

Ia menambahkan, ada cukup banyak studi yang telah menunjukkan hubungan erat antara hipertensi dengan risiko demensia. Studi-studi tersebut menemukan bahwa pengobatan hipertensi untuk menurunkan dan mengelola tekanan darah bisa menurunkan risiko demensia vaskular atau penyakit alzheimer.

Beragam studi juga menemukan, hipertensi memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembentukan aterosklerosis atau penumpukan plak di pembuluh darah. Seiring waktu, kondisi tersebut bisa merusak pembuluh-pembuluh darah kecil yang memasok darah ke otak. "Bila kondisi tersebut mengenai bagian-bagian di otak yang berperan dalam kemampuan berpikir dan mengingat, itu bisa menyebabkan demensia," ujar Dr Pin.

Selain demensia, hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular, seperti strok atau serangan jantung. Oleh karena itu, Dr Pin sangat merekomendasikan penderita hipertensi untuk menjalani terapi untuk mengontrol tekanan darah, seperti melalui modifikasi gaya hidup dan penggunaan obat-obatan.

Sebagai tambahan, Dr Pin mengungkapkan, tekanan darah rendah juga sama berbahayanya dengan tekanan darah tinggi. Tekanan darah yang terlalu rendah bisa menyebabkan penurunan aliran darah ke berbagai organ vital di dalam tubuh.

Menurutny, salah satu organ pertama yang terdampak oleh tekanan darah rendah adalah otak. Seseorang bisa merasakan pening atau kantuk ketika tekanan darah rendah terjadi. 

 

 
Mengindikasikan kontrol tekanan darah yang baik bisa membantu mencegah terjadinya demensia pada penderita hipertensi.
 
DR LIM CHOON PIN, Ahli kardiologi dari The Heart and Vascular Centre. 
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Polusi, Tersangka Utama Penyebab Peningkatan Demensia

Efek polusi udara lebih kuat terhadap kondisi demensia daripada yang lain.

SELENGKAPNYA

Terserang Demensia, Jamaah Minta Pulang Hingga Merasa Masih di Kampung

Ada sejumah jamaah haji lansia mengalami demensia setelah tiba di Madinah

SELENGKAPNYA