Logo Twitter yang kini berganti nama menjadi X. | EPA-EFE/ETIENNE LAURENT

Inovasi

Di Tengah Konflik, Platform Teknologi tak Bergigi Hadapi Hoaks

Informasi keliru yang disebarkan di media sosial berpotensi membawa kerugian di dunia nyata.

Konflik Palestina-Israel yang kembali memanas belakangan membuat berbagai platform media sosial dibanjiri oleh unggahan terkait konflik tersebut. Sayangnya, tak sedikit dari unggahan atau informasi yang beredar di media sosial merupakan hoaks atau informasi keliru.

Ragam peristiwa besar yang terjadi di dunia memang kerap memicu timbulnya beragam informasi menyesatkan. Akan tetapi, informasi keliru menyebar di media sosial dengan skala dan kecepatan yang jauh lebih besar dari biasanya di tengah situasi yang terus membara di antara Palestina dan Israel. 

Para ahli menilai fenomena ini menunjukkan ketidakberdayaan platform media sosial besar, seperti Facebook dan X, dalam melawan penyebaran informasi keliru atau hoaks. Salah satu faktor yang dinilai memicu ketidakberdayaan ini adalah besarnya penghematan biaya dan PHK yang dilakukan oleh para raksasa teknologi teknologi. 

photo
Pemilik X, Elon Musk (AP Photo/Ringo H.W. Chiu) - (FR170512 AP)
 
Tindakan Elon Musk selaku pemilik X juga dinilai turut memperkeruh situasi di platform tersebut. Seperti diketahui, Musk telah mengembalikan akun-akun yang selama ini dibekukan karena kerap menebar informasi keliru dan konspirasi tak berdasar.

Selain itu, Musk juga menerapkan program berbagi hasil pendapatan iklan kepada para pembuat konten. Program itu dinilai mendorong para pembuat konten di X cenderung lebih mengutamakan engagement daripada akurasi.

Sebagai contoh, pembuat konten sengaja menyebar informasi keliru agar mendapatkan banyak view hingga like. Padahal, informasi keliru yang disebarkan berpotensi membawa kerugian di dunia nyata, seperti memperbesar kebencian dan kekerasan yang terjadi di wilayah yang tengah berkonflik seperti Palestina dan Israel.

Pengguna Medsos Indonesia - (republika)

  ​

"Platform media sosial kewalahan untuk mengikuti perkembangan informasi keliru dan hasutan terhadap kekerasan yang konstan," kata Andy Carvin dari Digital Forensic Research Lab (DFRLab), seperti dilansir Japan Today, Kamis (12/10/23).

Menurut Carvin, perubahan besar yang terjadi pada X telah melemahkan salah satu kekuatan besar platform media sosial yang dulu bernama Twitter tersebut. Kekuatan tersebut adalah memantau berita-berita terkini dan membantu para pengguna untuk membedakan informasi faktual dengan hoaks.

Sebagai contoh, saat ini banyak video cuplikan dari gim yang diunggah di X dengan keterangan bahwa video tersebut diambil saat kelompok Hamas melakukan serangan. Ada pula gambar-gambar yang seakan menunjukkan bahwa tentara Israel ditangkap oleh Hamas. Padahal, berbagai gambar tersebut diambil pada 2022 saat latihan militer di Gaza.

 

photo
Korban Perang Israel-Palestina - (Republika)

Tak hanya itu, beberapa unggahan di X, Facebook, dan Tiktok juga menyebarkan unggahan tentang terkuaknya dokumen dari Gedung Putih, Amerika Serikat (AS). Dokumen tersebut diklaim sebagai bukti bahwa AS menyalurkan bantuan militer senilai 8 miliar dolar AS atau sekitar Rp 125,6 triliun untuk Israel. Padahal, dokumen tersebut merupakan dokumen palsu.

"Banyaknya jumlah video dan gambar rekayasa, palsu, atau lama yang beredar secara daring semakin mempersulit orang-orang untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di Palestina dan Israel," ujar analis senior dari Crisis Group Think Tank, Alessandro Accorsi.

Menurut Accorsi, beredarnya beragam gambar dan video seperti ini bisa berdampak sangat besar di dunia nyata. Terlebih bila gambar dan video menyesatkan yang beredar menampilkan adegan penyekapan korban-korban yang tak bersalah seperti anak-anak.

Informasi seperti itu bisa menyulut timbulnya aksi kekerasan oleh masyarakat. "Dalam krisis seperti serangan teroris, perang, dan bencana alam, orang-orang cenderung mengandalkan platform media sosial untuk mengakses informasi dengan cepat," ujar Chief Executive Center for Countering Digital Hate, Imran Ahmed.

Sayangnya, konten informasi keliru atau hoaks yang membanjiri media sosial membuat masyarakat sulit mengakses informasi yang cepat. Oleh karena itu, Ahmed menilai media sosial merupakan tempat yang buruk untuk mencari informasi yang tepat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Carvin menambahkan, saat ini masih banyak jurnalis hingga peneliti berbakat yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi faktual. Termasuk juga membantu masyarakat mendapatkan pemahaman lebih baik. Akan tetapi, unggahan atau konten yang mereka buat masih sering tenggelam oleh konten-konten yang keliru dan menyesatkan.

 

 
Platform media sosial kewalahan untuk mengikuti perkembangan informasi keliru
 
ANDY CARVIN, Digital Forensic Research Lab (DFRLab)
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Ratusan Pengunjukrasa Dukung Palestina di Chicago AS

Mereka menyalahkan Israel sebagai sumber masalah yang berujung pada serangan habis-habisan Hamas yang sebagai pemerintah resmi hasil pemilu di wilayah Gaza.

SELENGKAPNYA

Gaza Dibantai, Masihkah Normalisasi Israel dengan Negara Arab Berlanjut?

Arab Saudi dalam tahun ini juga dalam proses melakukan normalisasi hubungan diplomatiknya dengan Israel.

SELENGKAPNYA

Jumat Ini, Hamas Serukan Aksi Besar-besaran Bela Palestina

Perang yang berlangsung sejak Sabtu telah menewaskan 1.600 orang.

SELENGKAPNYA