
Opini
Membangun Pilar Literasi
Oleh: Syahruddin El-Fikri, Ketua Panitia Islamic Book Fair 2020
Manusia adalah pelaku sekaligus pembuat peradaban. Tanpa manusia unggul tak mungkin lahir peradaban kuat, berkualitas, dan monumental. Sejarah membuktikan, maju mundurnya peradaban bergantung pada kualitas manusia pendukung peradaban tersebut.
Sejarah perabadan Islam pun memberi banyak pelajaran. Keunggulan Islam sebagai peradaban, ditopang pribadi-pribadi unggul. Saat awal Islam berkembang, Nabi Muhammad SAW adalah penggerak sekaligus poros kejayaan peradaban Islam.
Sahabat-sahabat Rasulullah adalah jenis manusia dengan kualitas terbaik, baik akhlak, tingkat kesalehan, kepiawaian berdagang, keahlian berperang, keunggulannya dalam kepemimpinan. Begitu juga dengan kepemimpinan Islam setelah era Rasulullah.
Dengan modal manusia unggul itu, Islam berjaya dan mengalami era kemajuan, sejak abad ketujuh sampai runtuhnya Kesultanan Turki Utsmani (Ottoman) awal abad ke-20. Dinasti Abbasiyah sukses melahirkan masa kekhalifahan selama beberapa abad.
Puncaknya saat kekhalifahan dipegang Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun. Dinasti Abbasiyah sukses membangun perpustakaan terhebat pada masanya, yakni Baitul Hikmah. Dari sini, lahir tokoh dan intelektual Muslim hebat dalam mewarnai peradaban Muslim hingga saat ini.
Di antaranya, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lainnya. Begitu juga saat Ottoman berkuasa, umat Islam mengalami masa kejayaannya. Pada masa ini lahir tokoh terhebat, Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk.
Kejayaan tidak hanya di bidang agama Islam (fikih, tafsir, hadis), tetapi juga ilmu pengetahuan lainnya. Ada Al-Khawarizmi, Al-Jabbar, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, dan lainnya.
Pada masa ini, kekuasaan Islam membentang dari jazirah Arab sampai ke Eropa di belahan barat. Dari Jazirah Arab sampai Asia di belahan timur, juga mencapai Afrika di belahan selatan. Islam juga berjaya dan jejaknya terlihat sampai negara-negara Balkan di belahan utara.
Bagaimana dengan kondisi umat Islam saat ini? Saat ini, umat Islam tak semaju pada era kekhalifahan masa lalu yang mempunyai tekad kuat dalam menggali ilmu pengetahuan. Kini umat Islam mengalami kemunduran karena kurangnya kepekaan dalam menggali ilmu.
Umat Islam terlena dengan masa lalu dan terhipnotis kemajuan teknologi Barat. Umat seolah merasa puas dengan pencapaian cendekiawan Muslim masa lalu. Jika umat berupaya kembali menggali ilmu pengetahuan, niscaya lahir lagi Muslim yang unggul dan hebat.
Indonesia punya tokoh mengagumkan. Sebut saja KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah; Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama yang memiliki puluhan karya; lalu ada Buya Hamka yang menulis sekitar 100 judul buku di antaranya //Tafsir Al-Azhar//.
Juga ada Syekh Achmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Yasin Al-Fadani, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Yusuf al-Makassary, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Achmad Khatib as-Sambasi, dan banyak lagi tokoh lainnya.
Bagaimana menghasilkan manusia unggul sehingga umat berjaya kembali? Jawabannya terletak pada kemampuan membangun tiga pilar literasi, yaitu budaya baca, budaya diskusi, dan budaya tulis. Jadi, mesti bermula dari kemampuan menghasilkan manusia yang melek literasi.
Saat ini, dunia literasi Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara lain. Tak hanya di dunia, di Asia bahkan di kawasan ASEAN. Dalam sejumlah penelitian, bahkan UNESCO pernah menyebut tingkat melek literasi (gemar membaca) rakyat Indonesia hanya 1/1.000.
Artinya, dari 1.000 penduduk Indonesia, hanya satu orang yang suka membaca. Dengan asumsi demikian, sesungguhnya rakyat Indonesia yang melek literasi tak lebih dari 265 ribu jiwa (1/1.000 dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 265 juta jiwa).
Tantangan lainnya, soal melek huruf. Masih banyak yang buta huruf alias tidak bisa membaca dan menulis. Mendikbud Nadiem saat acara Hari Aksara Internasional, 8 September 2017, di Kuningan, Jawa Barat, menyebutkan, masih ada 2,07 persen rakyat Indonesia yang buta huruf.
Kondisi ini diperparah minimnya perpustakaan dan taman bacaan. Sampai tahun 2016, terdapat sekitar 157.585 perpustakaan di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta.
Anggaran untuk meningkatkan daya masyarakat agar mampu mengenal huruf dan membaca, juga masih tergolong rendah dibandingkan negara ASEAN lain. Singapura mengalokasikan dana untuk perpustakaan Rp 1,7 triliun per tahun, Malaysia Rp 6,68 triliun. Kita, hanya Rp 500 miliar.
Maka itu, perlu langkah-langkah konkret untuk melepaskan diri dari jeratan buta aksara ini. Pertama, menumbuhkan kesadaran akan motivasi belajar. Sebab, lemahnya motivasi belajar merupakan akar permasalahan penuntasan tunaaksara.
Kedua, kerja sama dengan beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta dalam gerakan masif penuntasan tunaaksara. Ketiga, mengintegrasikan program pendidikan keaksaraan dengan program pemberdayaan masyarakat lainnya dengan dukungan APBN.
Keempat, memperbanyak bacaan serta tempat belajar bagi masyarakat, seperti perpustakaan dan taman bacaan.
Begitu pula, perpustakaan di tempat Ibadah, khususnya masjid dan mushala. Di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, hanya terdapat sekitar 164.711 perpustakaan dan 1.000 unit merupakan perpustakaan masjid, dengan segala fasilitas pendukung (buku) yang terbatas.
Maka pada 2020 ini, kita berharap, bangsa ini semakin maju, terkemuka, dan semakin cerdas. Literasi Islam bersanding dengan kemampuan anak bangsa dalam membawa negeri ini ke arah yang lebih baik.
Dengan dasar itulah, Islamic Book Fair (IBF) kembali digelar oleh Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DKI Jakarta pada 26 Februari hingga 1 Maret 2020 di Jakarta Convention Center (JCC). Dengan tema “Literasi Islam: Cahaya untuk Negeri’’.
IBF 2020 diharapkan membawa kebaikan, kedamaian, dan kesejukan bagi seluruh anak bangsa. Dalam upaya menyelamatkan masa depan bangsa melalui literasi ini, kita mungkin pernah lelah. Kita mungkin pernah kalah. Namun, kita tidak boleh menyerah.
Semoga kemauan kita bersusah payah dalam membangun dunia literasi Islam, berteguh dalam prinsip kebenaran, dan berjuang untuk kejayaan bangsa, dicatat sebagai ladang amal untuk kita semua, dan menjadi ijazah tersendiri dalam kemuliaan hidup kita. n
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.