
Ekonomi
Harga Pertamax Cs Naik, Bagaimana Pertalite?
Pemerintah akan kembali membahas revisi perpres untuk memperketat penyaluran Pertalite.
JAKARTA -- Kenaikan harga minyak dunia membuat harga BBM non-subsidi seperti Pertamax mengalami kenaikan harga. Kendati demikian, pemerintah menjamin harga Pertalite yang merupakan BBM subsidi tidak akan naik meski harga minyak dunia dalam tren kenaikan.
Saat ini, harga Pertalite tetap dibanderol Rp 10 ribu per liter. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, fluktuasi harga minyak mentah memang sedang terjadi, tapi pemerintah masih ada buffer untuk memitigasi kenaikan harga minyak
"(Kenaikan harga minyak) enggak akan berpengaruh ke harga Pertalite," kata Tutuka di Kementerian ESDM, Senin (2/9/2023).

Tutuka tak menampik, gap harga antara BBM non-subsidi, yaitu Pertamax cs, dan Pertalite makin lebar. Selisihnya bisa mencapai Rp 4.000 per liter yang membuat potensi shifting terbuka lebar.
"Kalau kemungkinan shifting pasti ada, tapi jumlahnya saya kira tidak banyak, tapi kemungkinan sih pasti ada," kata Tutuka.
Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per Ahad (1/10/2023). Dalam laman resmi Pertamina, harga BBM jenis Pertamax kini sebesar Rp 14 ribu per liter atau naik Rp 700 dari bulan sebelumnya yang sebesar Rp 13.300.
Pantauan Republika, rata-rata harga minyak dunia mengalami kenaikan. Sepanjang September 2023, harga minyak mentah WTI melonjak 8,56 persen dan harga minyak mentah Brent naik 9,73 persen. Saat ini, harga minyak berada di level 90-94 dolar AS per barel sejak bulan Agustus.
Untuk mengendalikan konsumsi Pertalite, Tutuka Ariadji mengatakan, pemerintah akan membahas kembali kelanjutan Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang penyaluran BBM dan LPG bersubsidi. Kata Tutuka, pihaknya sudah melakukan komunikasi dengan Kementerian Keuangan perihal revisi ini.
"Kita dorong terus bahwa BBM JBKP (BBM Subsidi) ini harus tepat sasaran. Salah satunya lewat revisi Perpres itu payung hukumnya," kata Tutuka.
Untuk mengantisipasi lonjakan konsumsi Pertalite akibat semakin mahalnya Pertamax, perlu ada penataan penyaluran BBM subsidi yang lebih komprehensif. Hanya saja, Tutuka enggan menjelaskan seperti apa poin perubahan revisi perpres tersebut. "Ya kita komunikasi terus dan kita bahas lagi," tegas Tutuka.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif beberapa waktu lalu mengatakan, revisi Perpres 191 bakal lebih ketat mengatur pengguna Pertalite. Beleid terebut akan mengatur detail kriteria kendaraan yang dapat mengisi Pertalite.
Tak hanya itu, pemerintah juga tengah mengkaji untuk membuat perbedaan harga Pertalite sesuai dengan jenis kendaraannya. Arifin menjelaskan, pemerintah juga mengantisipasi kapasitas tangki kendaraan. Pasalnya, banyak kejadian yang mana kapasitas tangki tidak sesuai dengan spesifikasi kendaraan.

Mengenai kenaikan harga BBM non-subsidi, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak mengatakan, pergerakan harga minyak mentah dunia hingga di atas 90 dolar AS per barel dipastikan memengaruhi harga jual BBM non-subsidi. Sebab, pembentukan harga BBM non-subsidi harus menyesuaikan dengan mekanisme pasar dan sisi keekonomian.
"Salah satunya harus menyesuaikan dengan komponen harga dasar BBM, termasuk fluktuasi harga minyak dunia. Itu hal yang wajar agar tak menimbulkan kerugian bagi perusahaan penyedia BBM, khususnya PT Pertamina (Persero)," kata Ali.
Ali menjelaskan, secara umum, komponen harga dasar BBM terdiri atas biaya perolehan, biaya penyimpanan dan distribusi, serta proyeksi margin. Biaya perolehan merupakan biaya yang dibutuhkan untuk menyediakan BBM.
"Sedangkan, biaya penyimpanan dan distribusi merupakan biaya yang dibutuhkan untuk mendistribusikan BBM ke konsumen di seluruh wilayah Indonesia," ujarnya
Terkait biaya perolehan BBM, lanjut Ali, acuan yang digunakan adalah harga indeks pasar BBM yang dipengaruhi oleh harga ICP (Indonesia Crude Price).
Saat ini, rata-rata tahun ICP tahun bisa mencapai 90 dolar AS per barel, sehingga rata-rata harga indeks pasar BBM berada di atas level 100 dolar AS per barel. Ali menuturkan,secara alamiah dan mengikuti hukum ekonomi terkait dengan BBM nonpenugasan, seharusnya badan usaha bisa menerapkan harga fluktuatif sesuai mekanisme pasar dan pergerakan harga minyak dunia.

Namun, tingginya tingkat kerumitan dan potensi adanya gejolak membuat badan usaha lebih memilih metode smooth dalam pengaturan harga. "Sebenarnya, itu tidak ada masalah asalkan proyeksi harga berdasarkan model berbasis forecasting bisa dilakukan dengan baik, data valid dan proyeksi yang akurat," ungkap Ali.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, menjelaskan komponen utama dalam penentuan harga BBM badan usaha adalah BBM itu sendiri. Kemudian, ada biaya transportasi atau distribusi serta margin perusahaan.
"Mengingat BBM kita sebagian besar impor, secara otomatis harga BBM non-subsidi domestik mengikuti harga pasar BBM dunia. Secara langsung, harga BBM domestik mengikuti harga rata-rata BBM Platts Singapura," ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.