
Wawasan
'Dulu, Batik Juga Berfungsi Doa'
Wawancara dengan Ketua Program Studi Batik Universitas Pekalongan, Zahir Widadi.
Keistimewaan batik Indonesia, selain pada teknik pembuatan dan penggunaannya, juga terletak pada motifnya yang kaya serta menyimpan beragam makna. Patut dicatat, banyak di antara motif batik tersebut merupakan hasil pengaruh Islam di masa lampau. Ketua Program Studi Batik Universitas Pekalongan, Zahir Widadi, mengatakan, pengaruh Islam pada motif batik yang terjaga hingga sekarang menunjukkan keteguhan masyarakat pada masa lampau dalam menerapkan ajaran Islam. Ia juga menyoroti rendahnya kesadaran bangsa Indonesia dalam menjaga batik sebagai warisan dunia. Berikut petikan wawancara wartawan Republika, Devi Anggraini Oktavika, dengan mantan kepala Museum Batik Nasional Pekalongan itu pada 2012 lalu.
Bagaimana Islam memengaruhi seni batik Indonesia?
Berbicara tentang pengaruh Islam pada batik, kita bisa mengamati motif-motifnya sebagai bukti dari pengaruh tersebut. Ada dua ragam hias (bentuk dasar hiasan atau pola) batik di Indonesia yang kental dengan pengaruh Islam. Yaitu, ragam hias pada Kain Besurek dari Bengkulu dan pada Batik Rifa’iyah dari Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Kain Besurek menggunakan kaligrafi dan hiasan-hiasan menyerupai huruf-huruf Arab. Dulunya, ia semacam doa atau khasiat, sehingga Kain Besurek hanya dipakai oleh orang-orang tertentu yang melakukan tugas besar. Dengan kata lain, kaligrafi dalam kain tersebut menjadi semacam kekuatan bagi pemakainya.

Sedangkan Batik Rifa’iyah merupakan seni batik yang diprakarsai oleh KH Ahmad Rifa’i, pendiri tarikat yang kemudian dinamakan Tarikat Rifa’iyah. Religiusitas Islam sangat kental dalam batik ini, di mana ia tidak menampilkan corak binatang atau manusia. Kalaupun ada simbol binatang, mereka dimatikan terlebih dahulu, yakni dengan membuat guratan di bagian leher atau bahkan memisahkan bagian kepala dengan tubuhnya. Cara lainnya adalah dengan menggambarkan binatang-binatang tersebut tidak serupa dengan aslinya. Misalnya, mengganti bagian kepala atau ekor burung dengan bunga atau dedaunan.
Cara itu merupakan penerapan ajaran Islam yang melarang penggambaran makhluk hidup, seperti bentuk aslinya. Ajaran itu dipegang teguh oleh para pengikut Tarikat Rifa’iyah hingga sekarang. Pun demikian kaligrafi yang menjadi ragam hias Kain Besurek, sehingga keduanya memiliki motif khas yang memperkaya motif batik Indonesia.
Sejarah batik Indonesia dikaitkan pula dengan penyebaran agama. Seperti apa tepatnya?
Benar, batik memang diperkirakan berkaitan dengan penyebaran agama pada masa lampau. Hanya saja, jika melihat pada batik yang sekarang kita miliki, hal itu tidak mudah dijelaskan atau dibuktikan. Namun, indikasi bahwa batik digunakan dalam penyebaran agama dapat dilihat dari artefak- artefak peninggalan zaman kuno yang bercerita tentang banyak hal. Motif batik yang mengandung banyak makna filosofis dan simbolik ditemukan di sejumlah bangunan peninggalan kerajaan kuno, baik itu kerajaan Hindu, Buddha, maupun Islam.

Motif-motif tersebut di antaranya ditemukan pada arca-arca tokoh yang diagungkan, seperti dewa dan dewi, juga pada relief-relief candi. Ketika diamati, di antara motif-motif tersebut terdapat motif ragam hias yang masih dapat kita jumpai pada saat ini. Islam yang datang setelahnya lalu memunculkan modifikasi pada ragam hias tersebut dan menghasilkan motif-motif tertentu sebagaimana kita bahas pada awal.
Dengan demikian, batik merupakan karya seni yang sakral pada masa itu?
Tentu saja. Bahwa, ia dulu merupakan sesuatu yang sakral, itu bukan kesimpulan yang mengada-ada. Relief dan ukiran pada candi atau arca tadi menunjukkan betapa ia merupakan sesuatu yang amat penting. Lebih dari sekadar pakaian atau penutup tubuh.
Apa fungsi lain itu misalnya?
Membahas fungsi batik maka kita berbicara tentang makna yang dikandungnya. Kita bisa mengambil contoh batik pedalaman Yogyakarta dan Solo, di mana setiap motif memiliki makna simbolik. Ada doa, harapan, obat, wibawa, status soal, dan bahkan ada nilai religi di balik setiap motif batik yang ada.

Motif sidomukti, misalnya, bermakna kemakmuran. Makna tersebut kemudian memunculkan aturan penggunaannya. Dengan kata lain, tidak semua batik tepat digunakan dalam momen tertentu. Aspek penggunaan inilah yang menjadi salah satu kriteria penentuan batik sebagai warisan budaya tak benda.
Aspek lainnya adalah teknik pembuatannya. Dari 15 batik dunia, batik Indonesia ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dikarenakan faktor pembuatannya yang tradisional; dengan canting atau cap, ataupun kombinasi keduanya. Inilah yang kemudian perlu mendapat perhatian, karena batik Indonesia masih dibombardir tekstil bermotif batik atau batik printing.
Melihat perkembangan batik saat ini, terutama dalam dunia fashion yang penggunaannya tidak lagi banyak terikat aturan dan kesakralan, masih perlukah ditanamkan pemahaman tentang makna batik?
Tentu saja. Justru hal itu menjadi kebutuhan dan harus segera ‘digarap’ oleh pemerintah Indonesia. Sejauh ini, saya melihat impor tekstil Cina bermotif batik membuat bangsa kita sendiri belum mampu mengomunikasikan bahwa batik adalah milik Indonesia. Karena itu, dukungan dan pelestarian batik harus dimulai dengan edukasi.

Tentang batik Indonesia, perlu ada pembahasan yang lebih mengena. Terutama terkait dua fungsi yang dimilikinya, yakni fungsi sakral dan fungsi profan. Untuk mempertahankan predikat warisan budaya tak benda tersebut, kita tak harus memakai batik untuk ritual-ritual sakral seperti yang dilakukan di keraton. Dengan menggunakannya berdasarkan fungsi profan (pakaian keseharian), kita sudah ikut melestarikan batik kita kok.
Disadur dari Harian Republika edisi 1 April 2012.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Jejak Islam Pada Batik Nusantara
Pengaruh Islam diduga dibawa para pedagang Muslim dari India.
SELENGKAPNYA