Warga membatik di Kampung Batik Giriloyo, Bantul , Yogyakarta, Sabtu (11/2/2023). | Republika/Wihdan Hidayat

Kronik

Jejak Islam Pada Batik Nusantara

Pengaruh Islam diduga dibawa para pedagang Muslim dari India.

Pada 2009, Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization/UNESCO) mengeluarkan keputusan menggembirakan tentang status salah satu aset budaya kita. “Kain berlukis” khas Indonesia, batik, ditetapkan sebagai warisan budaya dunia nonbenda. Menjadi bagian dari kekayaan seni dan budaya yang antik dan artistik menjadikan batik begitu penting bagi Indonesia. Ia diperjuangkan dari klaim sebuah negeri Melayu lain dan hari penetapannya dijadikan sebagai Hari Batik.

Sejarah batik yang panjang menjadi bukti keantikan fashion etnik yang satu ini. Arkeolog Belanda JLA Brandes dan arkeolog Indonesia FA Sutjipto percaya bahwa tradisi batik berasal dari daerah, seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua (Iwan Tirta dkk [1996] dalam Batik: a Play of Lights and Shades Volume 1).

Sebagian referensi lain menduga, batik berasal dari bangsa Sumeria dan berkembang di Jawa setelah dibawa pada abad ke-14 oleh para pedagang India, negara yang kala itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Parsi, Persia. Meski batik dibawa oleh orang-orang Islam dari India, tetapi ketika orang di Nusantara ingin membuat batik, mereka membuat batik dengan memakai estetika Islam yang ada di daerahnya, misalnya, estetika Islam Jawa. Batik-batik tua nusantara yang berumur ratusan tahun yang tersimpan di berbagai museum di Eropa dan Amerika Serikat juga menunjukkan pengaruh Islam yang kuat.

Sayangnya, pengaruh Islam ini jarang dibicarakan orang. Yang banyak dibicarakan justru pengaruh Cina, India (Hindu), dan Belanda. Meski kata ‘batik’ secara etimologi diyakini berasal dari akronim dua kata dalam bahasa Jawa—‘amba’ yang berarti lebar, luas, kain dan ‘matik’ yang berarti membuat titik-titik —kehadiran batik di Jawa tidak tercatat. Tetapi, sejumlah prasasti dan arca mencatatnya dengan cara yang lain.

photo
Warga membatik di Kampung Batik Giriloyo, Bantul , Yogyakarta, Sabtu (11/2/2023). Kampung Batik Giriloyo menjadi salah satu rujukan wisata edukasi membatik. - (Republika/Wihdan Hidayat)

Dalam beberapa literatur, sejarah perbatikan di Indonesia sering dikaitkan dengan Kerajaan Majapahit (1293-1500 M) dan penyebaran ajaran Islam di Pulau Jawa. Penemuan arca di Candi Ngrimbi dekat Jombang yang menggambarkan sosok Raden Wijaya menegaskan hal itu. Raja pertama Majapahit yang memerintah pada 1294-1309 M itu mengenakan kain batik bermotif kawung. Karena itulah, kesenian batik diyakini telah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit dan diwariskan secara turun-temurun. Selanjutnya, wilayah Majapahit yang luas membuat batik dikenal luas di Nusantara.

Sejak Mataram Islam

Lain lagi pendapat KRT Hardjonagoro, pakar terkemuka batik Indonesia. Menurutnya, meski bermula pada masa Majapahit, sejarah dan perkembangan batik di nusantara mulai terekam sejak masa Kerajaan Mataram Islam (berdiri abad ke-17) di Jawa Tengah.

Hal senada dikatakan pemerhati batik asal Pekalongan, Dudung Alie Syahbana. Kepada Republika ia mengatakan, pada masa-masa kerajaan Islam, dimulai dari Kerajaan Mataram Islam, berbagai kesenian mengalami perubahan rupa dan karakter dari bentuknya pada masa Hindu. Dalam dunia seni, hal itu disebut stilisasi, yakni proses rekayasa segala sesuatu yang dapat dirujuk dalam dunia nyata objeknya, dalam bentuk yang berubah sama sekali.

Dudung mencontohkan wayang kulit. Wali Songo menggunakan rupa wayang kulit yang berbeda dengan wayang pada masa Hindu. “Hal itu dilakukan untuk menghindari wujud dimensi manusia yang sesungguhnya sebagaimana dilarang dalam Islam,” kata Dudung. Karena itu, wayang-wayang kulit yang dijumpai saat ini adalah wayang-wayang versi Islam Jawa.

photo
Model busana Muslimah bermotif batik produksi UMKM dari Jawa Timur saat tampil pada misi dagang dan investasi Pemerintah provinsi (Pemprov) Jawa Timur dengan Pemprov Aceh di Banda Aceh, Aceh, Selasa (25/10/2022). - (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

“Pun demikian pada batik,” lanjutnya. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, proses stilisasi terus berlangsung. Dudung mencontohkan, motif semen yang berarti “semai bersemi” adalah motif yang banyak distilisasi. Ornamen dasarnya adalah ragam hias yang berhubungan dengan daratan (tumbuh-tumbuhan dan binatang berkaki empat), udara (udara, burung, dan awan), serta air atau laut (ular, ikan, katak).

Stilisasi yang terjadi menunjukkan bahwa penyebaran dan perkembangan Islam pada masa lalu membawa pengaruh yang berarti bagi karya seni, termasuk batik. “Semen gurdo itu artinya burung garuda. Tapi, jika kita lihat sekarang, motif semen gurdo tidak menggambarkan burung garuda, tetapi hanya sayapnya,” kata Dudung.

Hal itu, jelas dia, tidak terlepas dari ajaran Islam, yakni hadis Rasulullah SAW yang melarang penggambaran benda bernyawa. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, menggambar benda bernyawa dianggap sama dengan menyaingi Tuhan. Pesan itu terus dilanjutkan hingga masa-masa setelah itu ketika para pemuka agama menjelaskan pada masyarakat bahwa menggambar benda bernyawa haram hukumnya. “Termasuk di kain batik yang akan dipakai (sebagai pakaian),” ujar Dudung.

photo
Peserta saat mengikuti pelatihan membuat Batik Betawi Tambora di kawasan Rawamangun, Jakarta, Senin (9/1/2023). - (Republika/Putra M. Akbar)

Pada akhirnya, proses panjang yang dipengaruhi ajaran Islam tersebut menghasilkan motif-motif Islami pada batik. Sebagaimana diungkapkan Dudung, motif-motif Islami itu terlihat dari motif-motif yang distilisasi pada batik keraton. Wujud keislaman lainnya, lanjut Dudung, adalah tidak adanya gambar binatang, terutama pada batik yang berkembang di wilayah-wilayah pesisir.

Bentuk-bentuk geometris dan simetris yang banyak dijumpai dalam ragam hias di Timur Tengah juga dapat ditemukan pada beberapa motif batik di wilayah pesisir. “Itu akibat pengaruh yang dibawa para pedagang dari Timur Tengah, Persi, dan Gujarat (India).”

Disadur dari Harian Republika edisi 1 April 2012 dengan reportase oleh Devi Anggraini Oktavika

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Pelatihan Membatik bagi Penyandang Disabilitas

Pelatihan sebaagai langkah pemberdayaan agar penyandang disabilitas bisa bersaing di dunia kerja.

SELENGKAPNYA