Sunarsip | Daan Yahya/Republika

Analisis

Sinergi Memperkuat Likuiditas Perumahan

Tapera merupakan konsep bagi penguatan ekosistem pasar keuangan.

Oleh SUNARSIP

Dari sekian banyak program pemerintah yang telah berhasil dijalankan, tampaknya pembangunan perumahan masih akan menjadi tantangan yang cukup berat. Meski pemerintah relatif berhasil dalam mewujudkan Program Sejuta Rumah (PSR).

Berdasarkan data Kementerian PUPR, total realisasi PSR sejak diluncurkan pada 2015 lalu hingga 2022 (selama 8 tahun) telah mencapai 8,47 juta unit rumah. Meski PSR berhasil dilampaui, tapi upaya pemerintah menekan angka backlog masih berat. Angka backlog terakhir, pada 2021, mencapai sekitar 12,7 juta unit.

Salah satu penyebab tingginya angka backlog adalah penambahan jumlah keluarga baru yang setiap tahunnya diperkirakan mencapai 700 ribu-800 ribu keluarga. Di sisi lain, berbagai perkembangan makroekonomi, seperti inflasi dan daya beli juga turut mempengaruhi akselerasi penyediaan perumahan.

 
Salah satu penyebab tingginya angka backlog adalah penambahan jumlah keluarga baru yang setiap tahunnya diperkirakan mencapai 700 ribu-800 ribu keluarga. Di sisi lain, berbagai perkembangan makroekonomi, seperti inflasi dan daya beli juga turut mempengaruhi akselerasi penyediaan perumahan.
 
 

Bahkan, terdapat satu analisis yang menyatakan bahwa bila kita ingin mengatasi backlog pada 2045, tahun yang telah dicanangkan sebagai Indonesia Emas, target pembangunan perumahan perlu dinaikkan setidaknya menjadi 1,5 hingga 2 juta unit rumah setiap tahunnya.

Keterjangkauan (affordability) menjadi faktor yang menentukan bagi keberhasilan program perumahan. Keterjangkauan di sini, tidak hanya menyangkut sisi pasokan (supply), juga menyangkut keterjangkauan pada sisi permintaan (demand) terutama aspek sumber pendanaan murah.

Sedangkan tujuan dari upaya mewujudkan keterjangkauan pada sisi supply maupun demand adalah meningkatkan jumlah penduduk yang memiliki kemampuan memiliki rumah. Bila semakin banyak masyarakat yang memiliki kemampuan membeli rumah, maka pembangunan perumahan pun dapat didorong. Industri perumahan bergairah dan pada akhirnya akan mendukung upaya pemerintah mengatasi backlog.

Ketersediaan likuiditas murah akan menjadi kunci untuk mewujudkan keterjangkauan, khususnya dari sisi demand. Ketersediaan likuiditas murah yang melimpah akan menurunkan biaya dana (cost of fund).

Selanjutnya, bila biaya dana dapat diturunkan maka biaya yang ditanggung masyarakat ketika membutuhkan pembiayaan perumahan (cosf of financing) juga akan turun. Dalam rangka menurunkan biaya dana, pemerintah telah melakukan intervensi melalui penyediaan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Mekanismenya, dana FLPP dicampur (blended) dengan dana pihak ketiga (DPK) perbankan sehingga menghasilkan suku bunga gabungan yang lebih rendah.

Sejauh ini, dukungan pemerintah melalui APBN memegang peran penting bagi pembiayaan perumahan. Namun, kemampuan APBN pasti akan sampai pada titik keterbatasan. Dan kita pun harus bersiap bila dukungan pemerintah seperti FLPP harus berakhir.

 
Kita memerlukan suatu sistem untuk menjamin pembiayaan perumahan berkelanjutan dan mandiri. Kuncinya adalah melalui sinergi menciptakan ekosistem likuiditas murah dari masyarakat.
 
 

Karenanya, kita memerlukan suatu sistem untuk menjamin pembiayaan perumahan berkelanjutan dan mandiri. Kuncinya adalah melalui sinergi menciptakan ekosistem likuiditas murah dari masyarakat.

Dalam rangka menciptakan ekosistem likuiditas murah, pemerintah telah membangun sistem Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dijalankan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera. Konsep Tapera adalah menghimpun tabungan dari masyarakat (Tapera) melalui sistem kepesertaan. Kemudian, dana tabungan yang terhimpun tersebut dipupuk melalui berbagai instrumen investasi yang aman. Hasil pengelolaan dana Tapera itulah yang akan digunakan untuk membiayai kebutuhan perumahan bagi pesertanya.

Sistem Tapera ini sebenarnya sama dengan sistem jaminan sosial yang dikelola melalui BPJS. Sistem pengerahan dana melalui BPJS maupun Tapera bersifat wajib (compulsary). Artinya, seluruh pekerja formal maupun informal, swasta maupun aparat sipil negara (ASN) wajib menjadi peserta dan membayar iuran (tabungan).

Iuran (Tapera) dipungut sebesar 3 persen dari gaji atau upah dengan ketentuan 2,5 persen ditanggung peserta (pekerja) dan 0,5 persen ditanggung pemberi kerja. Selain berkesempatan memperoleh fasilitas pembiayaan dengan bunga murah, pada akhir kepesertaannya peserta (atau saat pensiun) akan memperoleh hasil pengelolaan atas iuran tabungan mereka.

Meskipun konsep Tapera sama dengan sistem jaminan sosial, tapi peraturan perundang-undangan di bidang perumahan maupun sistem jaminan sosial belum menempatkan penyelenggaraan Tapera sebagai salah satu subsistem jaminan sosial. Akibatnya, implementasi asas compulsary pada sistem iuran Tapera belum dapat dijalankan secara maksimal.

 
Meskipun konsep Tapera sama dengan sistem jaminan sosial, tapi peraturan perundang-undangan di bidang perumahan maupun sistem jaminan sosial belum menempatkan penyelenggaraan Tapera sebagai salah satu subsistem jaminan sosial.
 
 

Sejauh ini, peserta Tapera baru terbatas pada ASN. Kepesertaan non-ASN masih terbatas. Konsekuensinya, dana Tapera yang berhasil dihimpun dan dikelola masih terbatas. Pada akhirnya, kapasitas pembiayaan perumahan murah juga terbatas.

Dalam konteks inilah, sinergi untuk memperkuat likuiditas murah bagi perumahan dibutuhkan. Salah satunya, kesadaran stakeholders untuk mendorong kepesertaan Tapera.

Menurut regulasi penyelenggaraan Tapera, pemberi kerja diberikan kesempatan mendaftarkan pekerjanya paling lambat pada 2027. BP Tapera memang telah melakukan berbagai upaya untuk memperluas kepesertaan. Namun, sebagai lembaga baru yang kapasitasnya masih terbatas, BP Tapera tentunya tidak dapat bekerja sendiri. Dukungan dari stakeholders, seperti pejabat negara atau pemerintah, kepala daerah, pejabat BUMN/BUMD, dan para pelaku usaha sangat diperlukan untuk perluasan jangkauan kepesertaan Tapera.

Sinergi penguatan likuiditas perumahan ini tidak hanya diperlukan untuk memperkuat ekosistem Tapera, tetapi juga untuk memperkuat ekosistem pembiayaan perumahan secara luas. Keberadaan Tapera sumber pendanaan jangka panjang cocok (match) dengan karakteristik pembiayaan perumahan yang bersifat jangka panjang pula.

Ini berbeda dengan bila pembiayaan perumahan hanya mengandalkan tabungan perbankan murni. Konsep pembiayaan oleh perbankan selalu memunculkan mismatch, karena sumber dananya jangka pendek.

 
Ini berbeda dengan bila pembiayaan perumahan hanya mengandalkan tabungan perbankan murni. Konsep pembiayaan oleh perbankan selalu memunculkan mismatch, karena sumber dananya jangka pendek.
 
 

Meskipun berperan sebagai lembaga penyelenggara Tapera, BP Tapera tidak menyimpan sendiri dana tabungan peserta. Tabungan peserta diadministrasikan oleh bank umum yang ditunjuk BP Tapera sebagai Bank Kustodian.

BP Tapera juga tidak menyalurkan pembiayaan perumahan secara langsung kepada peserta. Pembiayaan dilakukan oleh bank umum yang bekerja sama dengan BP Tapera sebagai bank pelaksana pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Dalam konteks ini, keberadaan Tapera akan memberikan manfaat bagi perbankan melalui dua jalur. Pertama, dana Tapera akan menjadi komponen dana murah jangka panjang untuk membiayai KPR melalui bank pelaksana. Kedua, manfaat berupa perluasan pasar KPR bagi perbankan.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa eksistensi Tapera berperan penting bagi ekosistem pembiayaan perumahan. Keberadaan Tapera juga dapat menarik keterlibatan pelaku di sektor keuangan lainnya, seperti pelaku pasar modal.

Di sinilah betapa Tapera merupakan konsep yang “cantik” (beauty) bagi penguatan ekosistem pasar keuangan. Namun demikian, harus diakui bahwa operasionalisasi Tapera masih membutuhkan perbaikan agar lebih workable.

Penulis mencatat, setidaknya terdapat dua aspek untuk mendorong efektivitas Tapera.

Pertama, perlunya perluasan kriteria peserta yang memperoleh manfaat pembiayaan perumahan. Sejauh ini, kriteria yang layak (eligible) memperoleh fasilitas pembiayaan murah adalah MBR yang belum memiliki rumah. Kriteria MBR-nya adalah pekerja berpenghasilan maksimal Rp 8 juta/per bulan.

Penulis berpendapat, kriteria penerima manfaat sebaiknya tidak dibatasi pada kriteria penghasilan. Kriterianya diperluas menjadi pekerja yang belum memiliki rumah pertama.

Artinya, semua peserta Tapera memiliki kesempatan memperoleh manfaat fasilitas pembiayaan perumahan dari Tapera untuk rumah pertamanya. Tentunya, agar asas kegotongroyangan dan keadilan terjaga, peserta penerima manfaat pembiayaan berikut bebannya dibuat secara berjenjang (tearing).

Kedua, mendorong penerapan konsep single housing finance system. Saat ini, BP Tapera menjalankan sistem ganda (dual housing finance system) yaitu sebagai pengelola Dana Tapera dan FLPP.

Ke depan, dualisme ini perlu dihilangkan. Ini mengingat, FLPP sebenarnya berpotensi mendistorsi sistem Tapera. FLPP juga berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi peserta Tapera.

Penulis mengusulkan dua hal terkait FLPP. Pertama, percepatan peserta FLPP masuk dalam ekosistem Tapera. Kedua, perubahan status dana FLPP. Saat ini, dana FLPP yang dikelola BP Tapera berstatus sebagai tabungan pemerintah. Kemudian, atas tabungan ini, pemerintah mendapatkan manfaat dari hasil investasi.

Terhadap status dana FLPP tersebut, penulis mengusulkan perubahan status dalam dua bentuk.

Pertama, sebagian dana FLPP dikonversi menjadi penyertaan pemerintah untuk menambah modal dalam rangka meningkatkan kapasitas BP Tapera. Kedua, sebagian besar dari dana FLPP dialihkan menjadi aset Dana Tapera yang manfaatnya dikembalikan kepada peserta Tapera.

Melalui pengalihan ini, selain akan menciptakan fleksibilitas pengelolaan program, juga akan meningkatkan kapasitas dana Tapera sekaligus meningkatkan manfaat yang diperoleh, sehingga menjadi daya tarik bagi pekerja untuk menjadi peserta Tapera.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Menimbang Risiko Kerugian Petani

Berbagai upaya kiranya perlu dilakukan pemerintah untuk melindungi petani dari risiko kerugian.

SELENGKAPNYA

Gelombang Keempat

Gelombang keempat adalah soal kekuatan ide, kreativitas, dan konsep.

SELENGKAPNYA

Cerita Bahasa: Dari Melayu, Jawi, ke Indonesia

Bahasa Melayu mengalami Islamisasi sehingga menyerap banyak kata bahasa Arab dan ditulis dengan aksara Arab.

SELENGKAPNYA