Opini--Menimbang Risiko Kerugian Petani | Daan Yahya/Republika

Opini

Menimbang Risiko Kerugian Petani

Berbagai upaya kiranya perlu dilakukan pemerintah untuk melindungi petani dari risiko kerugian.

Oleh RAZALI RITONGA; Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan, Alumnus Georgetown University dan Lemhannas RI

Setelah mengalami gagal panen akibat banjir di sejumlah daerah pada Maret lalu, kini petani dihadapkan pada kekeringan. Situasi banjir dan kekeringan itu tak hanya berpotensi menurunkan stok pangan nasional, tapi juga merugikan petani yang mengalami bencana.

Ihwal kekeringan yang terjadi di sejumlah daerah saat ini, menurut Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetio Adi, mengakibatkan penurunan produktivitas dari 5-6 ton menjadi 4 ton gabah per hektare. Data BPS pada Juni 2023 memperkirakan produksi beras Juli-September 2023 sebesar 7,24 juta ton atau turun 4,2 persen jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.

Secara faktual, kekeringan merupakan penyebab terbesar turunnya produktivas produk pertanian, khususnya di negara berpendapatan menengah bawah. Pada tataran global, Organisasi Pangan Dunia (FAO) dalam publikasinya “Damage and Loss” memperkirakan kerugian akibat kekeringan di negara-negara berpendapatan menengah bawah mencapai 37 miliar dolar AS atau sekitar 82 persen dari total kerugian akibat bencana alam. Kerugian akibat banjir mencapai 21 miliar dolar AS.

 
Secara faktual, kekeringan merupakan penyebab terbesar turunnya produktivas produk pertanian, khususnya di negara berpendapatan menengah bawah.
 
 

Risiko kerugian

Terjadinya fenomena banjir dan kekeringan sekaligus menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan usaha berisiko tinggi. Adapun selain risiko kekeringan dan banjir, risiko yang kerap dihadapi petani ialah kelangkaan dan mahalnya harga input pertanian, seperti pupuk dan bibit pada musim tanam.

Sementara pada musim panen, petani dihadapkan risiko turunnya harga produk pertanian. Padahal, harga produk pertanian sepatutnya terus meningkat, terutama untuk mengimbangi inflasi. Hal ini untuk menjaga agar pendapatan petani secara riil tidak merosot.

Faktor inflasi memang secara riil cukup besar menggerus pendapatan petani. Berdasarkan data BPS selama 2019-2023, misalnya, kenaikan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani 9,04 persen. Padahal, inflasi per tahun rata-rata 5 persen per tahun, atau sekitar 20 persen selama 2019-2023. Hal itu berarti pendapatan petani secara riil turun lebih dari 10 persen.

Secara faktual, risiko yang dihadapi petani jauh lebih besar daripada pelaku usaha industri. Hal ini mengingat, petani praktis tidak memiliki pilihan lain untuk menghindari risiko kerugian. Sedangkan pada pelaku industri, untuk menghindari kerugian dapat melakukan beberapa hal, seperti mengurangi tenaga kerja dan output.

Ditengarai, sulitnya petani menghindari risiko kerugian menyebabkan angka kemiskinan di perdesaan tetap tinggi, jauh di atas angka kemiskinan di perkotaan. Pada Maret 2022, misalnya, angka kemiskinan di perdesaan 12,29 persen, sedangkan di perkotaan 7,50 persen.

 
Ditengarai, sulitnya petani menghindari risiko kerugian menyebabkan angka kemiskinan di perdesaan tetap tinggi, jauh di atas angka kemiskinan di perkotaan.
 
 

Perlu perlindungan

Maka, atas dasar itu, dengan menimbang besarnya risiko kerugian yang dihadapi petani, pemerintah sepatutnya tidak membiarkan mereka menacari solusi sendiri. Amat diharapkan pemerintah dapat melakukan sedikitnya tiga hal untuk melindungi petani dari risiko kerugian.

Pertama, selain memberlakukan sejumlah subsidi (seperti subsidi pupuk), pemerintah juga perlu memberikan bantuan kepada petani ketika mengalami bencana, seperti banjir dan kekeringan. Secara faktual, pemberlakuan bantuan kepada petani akibat bencana alam telah dilakukan di banyak negara.

Di India, misalnya, pemberlakukan bantuan dilakukan pada negara bagian yang dimaksudkan agar pemerintah negara bagian lebih fokus terhadap masalah yang dihadapi petani di daerahnya. Selain itu, permasalahan yang dihadapi petani cukup beragam antarnegara bagian.

Di negara bagian Punjab, misalnya, pemerintah memberlakukan kebijakan dengan memberikan asuransi kepada petani yang mengalami bencana alam. Tercatat, sebanyak 2,2 juta petani diikutsertakan dalam asuransi itu yang selama 6 tahun telah menggelontorkan dana sebesar 1.390 juta rupee atau sekitar Rp 255,6 miliar (1 rupee setara Rp 183,93).

Patut diketahui, absennya bantuan kepada petani akibat bencana alam, selain merugikan petani, juga menyulitkan petani kembali melakukan usaha pada masa tanam karena ketiadaan modal. Hal ini, antara lain, dialami Pakistan yang belum memberlakukan kebijakan dalam mengantisipasi kerugian petani akibat bencana alam (Baigel.P.M, Protection and Recovery, 6/1/2023).

Kedua, pemerintah perlu memperbaiki tata kelola pendistribusian input pertanian, seperti pupuk dan bibit agar tidak menjadi masalah sistemis tahunan, yaitu terjadinya kelangkaan dan meningkatnya harga.

Ketiga, pemerintah perlu mengawal harga produk pertanian agar secara riil tidak merosot. Dalam konteks itu, penetapan harga produk pertanian, seperti gabah, pemerintah sepatutnya memperhitungkan faktor inflasi. Bahkan, untuk meningkatkan daya saing produk pangan di dalam negeri dan pasar internasional, pemerintah perlu melakukan kebijakan, seperti halnya yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat (AS).

Adapun kebijakan yang dilakukan di AS, antara lain, menerapkan tarif, kuota dan kualitas produk pangan impor yang ketat untuk meningkatkan daya saing produk pangan dalam negerinya. Selain itu juga mengupayakan tarif rendah bagi negara-negara lainnya yang mengimpor produk pangan AS, dengan tujuan meningkatkan daya saing di pasar internasional (Dhar, 2004).

 
Jika risiko kerugian petani tidak segera diantisipasi, dikhawatirkan ke depan akan mendistorsi pencapaian untuk mewujudkan negara maju dengan pendapatan tinggi secara cukup merata.
 
 

Berbagai upaya kiranya perlu dilakukan pemerintah untuk melindungi petani dari risiko kerugian, dan mencari terobosan agar kesejahteraan petani meningkat. Sejatinya, kesejahteraan petani memang perlu segera ditingkatkan agar pertanian tetap diminati dan menjaga keberlanjutan sektor pertanian.

Jika risiko kerugian petani tidak segera diantisipasi, dikhawatirkan ke depan akan mendistorsi pencapaian untuk mewujudkan negara maju dengan pendapatan tinggi secara cukup merata. Diperkirakan, pada 2045 pendapatan per kapita per tahun mencapai Rp 320 juta atau Rp 27 juta per bulan.

Sebagian kelompok masyarakat mungkin bisa memperoleh pendapatan di atas Rp 27 juta, tapi sebagian lagi bagi kelompok yang kurang beruntung, seperti petani barangkali akan memperoleh pendapatan di bawah itu.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Dimensi Etik Otonomi Manusia

Otonomi manusia membentuk peradaban itu sebagai ujian eksistensialnya di muka bumi.

SELENGKAPNYA

Gelombang Keempat

Gelombang keempat adalah soal kekuatan ide, kreativitas, dan konsep.

SELENGKAPNYA

Cerita Bahasa: Dari Melayu, Jawi, ke Indonesia

Bahasa Melayu mengalami Islamisasi sehingga menyerap banyak kata bahasa Arab dan ditulis dengan aksara Arab.

SELENGKAPNYA