
Kitab
Bedah Argumen Maulid Nabi
Penulis buku ini, Imam as-Suyuthi, memaparkan dalil-dalil perayaan Maulid Nabi.
Tepat pada hari ini, umat Islam di berbagai negara merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Di Indonesia, momen ini bahkan telah menjadi sebuah hari libur nasional.
Bagaimanapun, mungkin tidak jarang kita saksikan, beberapa pihak mempertanyakan keperluan memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. Maka dari itu, seorang ulama, Imam Jalaluddin as-Suyuthi, menulis sebuah buku yang membahas dalil-dalil peringatan Maulid Nabi. Judul karyanya itu ialah Husnul Muqshid fii Amalil Maulid. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan Pustaka al-Muqsith, yakni Tujuan Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Sang penulis bernama lengkap Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Saabiquddien bin al-Fakhr Utsman bin Nashiruddin. Dirinya lebih dikenal sebagai Imam Jalaluddin as-Suyuthi atau Imam as-Suyuthi. Ulama kelahiran tahun 849 Hijriyah/1445 Masehi itu berasal dari Kairo, Mesir.
Buah penanya yang mungkin paling populer adalah kitab Tafsir Jalalain. Itu awalnya ditulis gurunya, Imam Jalaluddin al-Mahalli pada 1459. Hingga kini, buku dalam bidang keilmuan tafsir Alquran tersebut masih menjadi rujukan umat.
Untuk menyatakan dukungannya pada perayaan Maulid Nabi, pengikut mazhab Syafii tersebut menghasilkan Husnul Muqshid. Dalam karyanya itu, Imam as-Suyuthi menyodorkan berbagai dalil yang membantah pandangan atau tudingan bahwa peringatan Maulid Nabi sebagai kebaruan yang negatif (bid’ah dhalalah).
Tidak hanya menyajikan argumentasi dengan dasar rujukan Alquran dan Sunnah Rasul SAW. Ia pun mengungkapkan sejarah awal perayaan tersebut.
Secara keseluruhan, buku itu terbagi ke dalam tiga bagian. Pertama adalah mukadimah atau pembuka yang berisi tanggapan-tanggapan Imam as-Suyuthi mengenai hukum perayaan Maulid Nabi SAW. Menurut dia, substansi dari peringatan tersebut, antara lain, adalah bekumpulnya banyak kaum Muslimin.
Terlebih lagi, perayaan Maulid Nabi biasanya diisi dengan kenduri. Kaum Muslimin, baik dengan sesama warga atau keluarga masing-masing, menyajikan hidangan untuk dinikmati bersama-sama. Dalam pandangan Imam as-Suyuthi, hal itu merupakan kebaruan yang baik (bid’ah hasanah).
Bagian kedua buku tersebut memaparkan narasi sejarah. Di dalamnya, Imam as-Suyuthi menerangkan perihal sosok yang pertama kali menyelenggarakan Maulid Nabi. Menurut dia, seorang gubernur Irbil di Irak adalah yang menginisiasi perayaan tersebut. Tokoh yang dimaksud adalah Amir al-Mudzaffar Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali bin Biktikin (549-630 H).
As-Suyuthi mengatakan, Amir Kukburi merupakan seorang pemimpin yang mendukung penuh syiar Islam. Penguasa dari Bani al-Mudzaffar itu pun diketahui memiliki riwayat hidup yang baik. Menukil kitab Tarikh karya Ibnu Katsir, untuk memperingati Maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal sang amir mengadakan perayaan besar.
Masih menurut as-Suyuthi, Maulid Nabi yang dirayakan pertama kali Amir Kukburi itu bertujuan mendekatkan diri dan masyarakatnya kepada Allah SWT. Acara tersebut dihadiri oleh alim ulama dan orang-orang saleh. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkari perayaan tersebut.
Seorang ulama yang bernama Ibnu Dihyah merestui keputusan Amir Kukburi dengan menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi. Ibnu Dihyah dan para alim yang sezaman mengapresiasi perayaan tersebut. As-Suyuthi mengatakan, mereka adalah ulama yang berpengetahuan luas serta selalu berpegang teguh pada Islam.
Kemudian, pada bagian ketiga dalam buku Husnul Muqshid, terdapat banyak dalil yang diungkapkan Imam as-Suyuthi. Sesi inilah yang secara khusus memuat pelbagai bantahan untuk mereka yang “anti-Maulid.” Umpamanya, Syekh Tajuddin Umar bin Ali Al-Lakhmi as-Sakandari atau yang lebih dikenal sebagai al-Fakihani.

Ulama pengikut Mazhab Maliki itu berpendapat, Maulid Nabi adalah sebuah bidah yang tercela. Bahkan, al-Fakihani menulis sebuah kitab, Al-Maulid fil Kalam al-Amalil Maulid, untuk mendukung dan menyebarluaskan pandangannya itu. Dengan komprehensif, bagian ketiga Husnul Muqshid karya as-Suyuthi “menjawab” pelbagai argumentasi yang dicanangkan al-Fakihani.
Sebagai contoh, dikatakan bahwa perayaan Maulid Nabi tidak atau belum ditemukan dalilnya sama sekali, baik dalam Alquran maupun hadis. Lebih lanjut, al-Fakihani menyatakan, perayaan tersebut diada-adakan oleh mereka yang cenderung tidak mampu menahan hawa nafsu, khususnya terhadap makanan dan minuman.
Dalam merespons pandangan itu, Imam as-Suyuthi menyampaikan, ketidaktahuan tidak berarti selalu berimplikasi pada ketiadaan dalil. Dengan perkataan lain, semestinya seorang pengkritik mengenal lebih dekat terlebih dahulu sesuatu yang dikritiknya. Ia pun mengutip pernyataan seorang alim, al-Hafiz Abu al-Fadhl bin Hajar, yang menyebutkan sejumlah hadis tentang dalil Maulid Nabi.
Hadis-hadis yang dimaksud termaktub pula dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menanyakan alasan orang Yahudi yang berpuasa pada hari Asyura. Jawaban Yahudi tersebut adalah kaumnya melakukan amalan tersebut sebagai bentuk syukur atas ditenggelamkannya Firaun pada hari itu sehingga Nabi Musa AS dan umatnya selamat.
Usai mendengar jawaban tersebut, Nabi SAW pun menyuruh umat Islam agar berpuasa pada hari Asyura dan sekaligus tasu’a (hari kesembilan bulan Muharram). Itu sebagai pembeda antara kaum Muslimin dan Yahudi. Hadis di atas, lanjut as-Suyuthi, dapat menjadi dalil bahwa bentuk syukur bisa diekspresikan. Muslim dapat memanjatkan syukur atas anugerah Allah, yakni nikmat adanya anugerah atau dihindarkan dari bencana.
Sementara, nikmat sangat besar yang patut disyukuri setiap orang Islam adalah kelahiran Rasulullah SAW. Maka, orang-orang hendaknya memerhatikan hal itu. Dengan demikian, mereka tidak akan lagi menafikan perayaan Maulid Nabi.
Imam as-Suyuthi cukup banyak memaparkan argumen para ulama lain seputar disyariatkannya maulid. Di antara para alim yang ia kutip adalah Imam Ibnu Hajar, Ibnul Jazari penulis Arfut Ta’rif bil Maulidis Syarif serta Imam Syamsuddin ad-Dimasyqi pengarang Maurids Shadi fii Maulidil Hadi.
Pada bagian penutup, as-Suyuthi mengingatkan kembali para pembaca tentang hikmah kelahiran Rasulullah SAW pada bulan Rabiul Awal. Seperti Ibnu Ishaq, dirinya berpegang pada pendapat bahwa itulah bulan lahirnya Nabi SAW, bukan umpamanya Ramadhan atau Muharram. Menurut as-Suyuthi, jika beliau dilahirkan pada bulan-bulan yang mulia itu, maka akan dikira bahwa Rasul SAW menjadi mulia lantaran kemuliaan waktu tersebut.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Safari Erick Thohir ke Pesantren Saat Maulid Nabi
Erick kemudian menyempatkan diri untuk berziarah ke makam KH Wahab
SELENGKAPNYADerap Prajurit Keraton Kawal Grebeg Maulud
Beragam uba rampe atau isi gunungan yang diperebutkan warga terdiri atas hasil bumi.
SELENGKAPNYABule Australia Belajar Shalawat Emprak
Shalawat Emprak merupakan perpaduan seni musik, tari dan vokal sastra yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad dan perjuangannya
SELENGKAPNYA