
Nasional
ASN Follow Akun Capres Disanksi, Berlebihan?
ASN yang menyukai konten kampanye capres bisa dijatuhi sanksi penurunan jabatan.
JAKARTA – Pemerintah menyiapkan sanksi keras bagi aparatur sipil negara (ASN), baik PNS maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), yang tidak netral saat Pemilu 2024. Bahkan, ASN yang kedapatan memberi "like" atau menyukai konten kampanye calon presiden (capres) bisa dijatuhi sanksi penurunan jabatan.
Aturan soal sanksi tersebut termaktub dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menpan-RB, Mendagri, Kepala BKN, Ketua KASN, dan Ketua Bawaslu RI tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan. Beleid tersebut diundangkan pada 22 September 2022 lalu.
Diktum kedelapan dalam beleid tersebut memerintahkan seluruh ASN untuk netral menyikapi situasi politik. ASN diminta tidak terpengaruh atau memengaruhi pihak lain untuk melakukan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan atau ketidaknetralan. Ketentuan sanksinya termuat dalam bagian Lampiran II. Dinyatakan bahwa ASN dilarang membuat posting, comment, share, like, bergabung/follow dalam grup/akun pemenangan bakal calon, baik itu capres, caleg, maupun calon kepala daerah.

Terdapat dua jenis sanksi bagi pelanggar larangan tersebut. Pertama, sanksi moral berupa pernyataan terbuka atau tertutup yang dibuat oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK). Kedua, hukuman disiplin berat. "Hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 1 huruf c dijatuhkan bagi PNS yang melanggar ketentuan larangan memberikan dukungan kepada calon ...," demikian bunyi penjelasan sanksi tersebut, dikutip Senin (25/9/2023).
Pasal 8 ayat 1 huruf c yang dimaksud adalah bagian dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS. Dalam PP itu dijelaskan bahwa hukuman disiplin berat terdiri atas tiga jenis, yakni penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama satu tahun, pembebasan dari jabatan menjadi jabatan pelaksana selama satu tahun, dan pemberhentian dengan hormat alias dipecat.
Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono pun mengaku sudah mengimbau agar ASN menjaga netralitas hingga jelang Pemilu. "Tadi saya minta, sudah ada arahan (untuk ASN menjaga netralitas). Tadi saya arahkan," kata Heru.
Kemudian, saat ditanyakan kalau ada yang melanggar akan dikenakan sanksi atau tidak, maka akan dikenakan hukuman sesuai aturan yang ada. "Kan sudah ada aturannya. ASN sudah ada aturannya," kata dia.

Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), sebuah organisasi pemantau pemilu terakreditasi di Bawaslu RI, menilai larangan bagi ASN mengikuti akun media sosial pemenangan capres merupakan aturan yang berlebihan. Koordinator JPPR Nurlia Dian Paramita mengatakan, memang dibutuhkan ketentuan teknis untuk menegakkan netralitas ASN pada Pemilu 2024. Termasuk ketentuan teknis terkait penggunaan medsos mengingat para kandidat menggunakan ruang-ruang digital demi memperoleh kemenangan.
Ketentuan teknis itu sudah termuat dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menpan-RB, Mendagri, Kepala BKN, Ketua KASN, dan Ketua Bawaslu RI yang diteken 22 September 2022. Kendati begitu, Mita menilai larangan bagi ASN mengikuti akun pemenangan itu berlebihan. Sebab, ASN sebagai warga negara yang punya hak pilih membutuhkan informasi mengenai visi-misi calon yang akan dipilih.
"Itu hak ASN. Selama tidak bertindak aktif berkomentar, menarasikan, atau membagikan informasi calon tertentu, saya kira tidak masalah," kata Mita kepada Republika.
Menurut Mita, ASN seharusnya diperbolehkan mengikuti akun pemenangan capres sepanjang menggunakan akun media sosial yang tidak diatur privat alias tidak bisa dilihat orang lain. Dengan begitu, publik ataupun pengawas bisa mengawasi semua tindak tanduk ASN di media sosial.
Staf Ahli Menteri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antarlembaga, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Togap Simangunsong menjelaskan sanksi terhadap aparatur sipil negara (ASN) yang tidak netral menjelang pemilu. Togap menyebut terdapat dua sanksi bagi ASN yang tak netral, yakni sanksi moral dan hukuman disiplin.
"Sanksinya adalah pegawai negeri sipil yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi moral. Ini agak lembut sedikit," kata Togap. Sanksi moral tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) PP Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.
Sanksi moral terbagi dua, yaitu sanksi moral terbuka dan tertutup. Sanksi moral terbuka merupakan sanksi moral yang diberikan oleh instansi yang berwenang dan diumumkan secara terbuka. "Sanksi moral tertutup, sanksi moral yang diberikan oleh instansi yang berwenang dan diumumkan secara tertutup dan terbatas," sambung dia.

Lebih lanjut adalah sanksi hukuman disiplin yang terbagi dua pula, yaitu hukuman disiplin sedang dan hukuman disiplin berat. Keduanya diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Togap memerinci, hukuman disiplin sedang tersebut adalah pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25 persen selama 6 bulan; pemotongan kinerja sebesar 25 persen selama 9 bulan; atau pemotongan tunjangan sebesar 25 persen selama 12 bulan.
Sementara itu, hukuman disiplin berat terdiri atas penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan, pembebasan dari jabatan menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan bulan, dan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Langkah Lincah Anak Jokowi, PDIP tak Bisa Menyanksi
Kaesang Pangarep resmi bergabung dengan PSI.
SELENGKAPNYARihlah Sejarah Masjid Cut Meutia
Bangunan Masjid Cut Meutia berdiri sejak zaman penjajahan Belanda.
SELENGKAPNYARatusan Rekening Judi Online Diblokir, Ribuan Menunggu Giliran
Rekening yang akan diblokir itu menunggu ‘restu’ dari OJK.
SELENGKAPNYA