
Kitab
Buku Pengembangan Diri dari Ibnu al-Jauzi
Melalui buku ini, Imam Ibnu al-Jauzi memberikan insight tentang menjadi seorang Muslim yang ideal.
Seperti umumnya ulama-ulama dari masa klasik, Imam Ibnu al-Jauzi (1116-1201 M) menghasilkan banyak karya di sepanjang hayatnya. Konon, jumlahnya mencapai seribu judul.
Dalam bidang ilmu Alquran, sosok yang pernah menjadi kadi Kekhalifahan Abbasiyah itu menulis kitab tafsir, yaitu Zad al-Masir. Dalam keilmuan sunnah, salah satu buah penanya adalah Al-Maudhu’at al-Kubra, yang berisi daftar dan kritik atas hadis-hadis palsu. Dai yang merupakan keturunan sahabat Nabi, Abu Bakar ash-Shiddiq, itu juga mengomentari Ihya Ulum ad-Din Imam al-Ghazali dalam bukunya, Minhajul Qashidin.
Dan, ada satu karyanya yang mungkin belum begitu sering disorot. Namun, legasinya itu justru menginspirasi para penulis era modern, termasuk Dr ‘Aidh Abdullah al-Qarni, sang pengarang buku La Tahzan. Karya yang dimaksud adalah Shaidul Khatir.
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Edisi bahasa Indonesia diterbitkan Maghfirah Pustaka, yakni Shaidul Khatir: Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup. Seperti tersirat pada judulnya, kitab itu termasuk dalam genre buku pengembangan diri.
Menurut Syekh ‘Aidh al-Qarni, Shaidul Khatir merupakan “buku paling bagus dan paling menarik” yang pernah ia baca. Dalam pandangannya, buah pena Ibnu al-Jauzi itu menyajikan tema-tema yang kontemplatif, tetapi dengan gaya bahasa yang sangat komunikatif dan ringan. “Buku ini merupakan buah kehidupannya,” tulis al-Qarni.
Secara umum, Shaidul Khatir merangkum perspektif penulisnya mengenai kondisi umat Islam pada masanya. Kaum Muslimin, dalam pandangannya, ketika itu masih dijangkiti pelbagai “penyakit.” Patologi sosial itu membutuhkan rumusan dan sekaligus jawaban untuk diupayakan.
Dengan Shaidul Khatir, Ibnu al-Jauzi bertindak sebagai dokter yang hendak menyembuhkan pasien. Memang, beberapa sejarawan menyebutnya seorang ulama yang juga psikolog. Keahliannya dalam meneropong kondisi kejiwaan masyarakat tampak dari karyanya itu.
“Dengan ketajaman mata hati dan mata penanya, dia merekam renungan-renungannya dalam bentuk tulisan pendek berupa refleksi terhadap suatu peristiwa yang mengganjal, menggembirakan, atau bahkan meresahkan pikirannya,” tulis penerjemah kitab ini.
Dalam buku ini, Ibnu al-Jauzi mengutarakan nasihat-nasihat mengenai jalan yang moderat untuk menjalani kehidupan.
Dalam buku ini, Ibnu al-Jauzi mengutarakan nasihat-nasihat mengenai jalan yang moderat untuk menjalani kehidupan. Sebagai contoh, dalam beberapa bab di Shaidul Khatir ulama tersebut menentang gaya hidup boros, bermalas-malasan, dan sikap berpangku tangan. Menurut dia, pola perilaku itu sangat bertentangan dengan tugas kekhalifahan manusia di muka bumi.
Ibnu al-Jauzi mengimbau umat Islam untuk selalu aktif mengisi dunia dengan aktivitas-aktivitas yang produktif. Senapas dengan kritiknya terhadap kaum sufi, ia menolak sikap pasif. Baginya, mengasingkan diri atau lari dari keramaian dunia bukanlah ajaran agama ini.
Untuk menghadapi berbagai permasalahan, Muslimin memerlukan hati, nurani, dan pikiran yang jernih. Tantangan hidup akan ada dan terus muncul selama hayat masih dikandung badan. Karena itu, kabur dari realitas adalah sia-sia belaka.
Salah satu poin kritiknya adalah pemaknaan atas zuhud. Pada masanya, tidak sedikit orang yang salah sangka terhadap karakteristik tersebut. Padahal, lanjut Ibnu al-Jauzi, seorang zahid yang sejati tidak hanya berkutat pada penampilan yang “kumal.” Esensi kezuhudan terletak pada kejernihan hati.
Yang lebih membuatnya prihatin, agama telah dijual dengan harga yang amat murah.
Dalam arti, sekelompok orang mengamalkan jalan kehidupan yang tidak pernah diajarkan Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. “Saya banyak menyaksikan orang alim yang berbuat maksiat kepada Allah dengan anggapan bahwa ilmu yang mereka miliki akan membantu menyelamatkan mereka. Ilmu yang mereka miliki justru sangat memusuhi kelakuan buruk mereka itu,” tulis Ibnu al-Jauzi.
Dalam tulisannya itu, sang ulama mengajak pembaca untuk mendekati sifat arif bijaksana. Karakteristik demikian dapat dilihat dari perspektif terhadap dunia. Kehidupan kini-di sini memang sementara, tetapi tidak berarti dapat diabaikan begitu saja. Dalam Alquran pun, Allah SWT menyuruh manusia yang beriman untuk mengutamakan akhirat, tetapi jangan melupakan bagian di dunia.
“Orang-orang arif akan menjadikan kebahagiaannya di dunia sebagai jalan pembuka kenikmatan di akhirat,” katanya.
Ia juga mengingatkan khalayak untuk selalu berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah. Ia mencatat, tidak sedikit orang pada masanya yang mengaku-aku alim. Padahal, mereka telah berpaling dari ilmu-ilmu syariat. Bila keadaannya demikian, bagaimana pula dengan orang awam?

Isi buku
Shaidul Khatir tampil sebagai catatan renungan dan pemikiran Syekh Ibnu al-Jauzi. Buku tersebut terdiri atas seratusan bab. Masing-masing memuat tulisan pendek atau bernas mengenai topik tertentu. Secara keseluruhan, pembicaraan yang ada di dalam kitab ini berkaitan dengan masalah akidah, akhlak, sejarah Nabi SAW, dan kritik sosial.
Sebagai contoh, bab yang berjudul “Iman Tampak Saat Ujian Menerpa.” Di dalamnya, Ibnu al-Jauzi mengutarakan pandangannya, “setiap kali cobaan datang menimpa seorang Mukmin, akan semakin bertambah imannya dan semakin kuat tawakalnya kepada Allah.”
Bagaimana kalau yang terjadi adalah sebaliknya? Menurut sang penulis, seorang Mukmin seyogianya selalu ingat akan sifat Allah Yang Maha Kuasa. Dengan begitu, ia akan menyadari bahwa tiada satu pun yang terjadi di luar kuasa dan ketentuan dari-Nya.
Maka dari itu, sikap terbaik yang ditunjukkan kala musibah datang ialah bersabar dan rela. “Mereka semua rela dengan-Nya” (QS al-Maidah: 119). Ibnu al-Jauzi mengatakan, dengan kedua sikap itu, tampaklah kadar kekuatan iman seseorang.
Di bagian lain, sang penulis mengulas tentang bahayanya harta haram dan syubhat. Ia mencontohkan sebuah kasus, yakni ketika seorang alim menerima harta dari penguasa. Padahal, uang tersebut tidak jelas asal muasal maupun peruntukannya. Lantas, dana itu dipakai untuk membangun masjid.
Padahal, lanjut al-Jauzi, yang semestinya dilakukan adalah mengembalikan harta itu ke baitul maal atau kas negara. Dengan mendirikan sebuah masjid, harta itu tidak secara otomatis menjadi halal. “Orang yang melepaskan harta kaum Muslimin pada tangan yang tidak berhak menerimanya jelas akan mendapatkan dosa,” tulisnya.
Wajib bagi si penerima untuk mengembalikan harta itu kepada pemiliknya atau ahli warisnya. Jika tidak mengetahui caranya, maka kembalikan harta itu ke baitul maal. Ingatlah sebuah hadis dari Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang mendapat harta dengan jalan haram, kemudian ia menyambung tali silaturahim dengan harta itu, atau bersedekah dengannya, atau menginfakkannya di jalan Allah, pada hari kiamat nanti ia dan seluruh harta itu akan dikumpulkan dan dilemparkan ke dalam api neraka.”
Demikianlah kandungan Shaidul Khatir, karya yang sarat hikmah dari Syekh Ibnu al-Jauzi. Buku tersebut dapat menjadi teman perjalanan atau bacaan di kala senggang. Muatan hikmah dan perenungan di dalamnya merupakan ajakan yang tak lekang zaman untuk para pembaca agar selalu menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Tudingan untuk Dahlan Iskan dan Kali Kedua Eks Dirut Pertamina Ditahan
Karen menyebut Dahlan Iskan mengetahui proyek pengadaan LNG.
SELENGKAPNYAPasar Andir Bandung Sepi Pengunjung
Di beberapa sudut pasar banyak pamflet terpasang berisi informasi tentang kios-kios yang akan dikontrakan.
SELENGKAPNYA