Pekerja memotong daging sapi kurban di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) PD Dharma Jaya, Cakung, Jakarta, Kamis (29/6/2023). | Republika/Putra M. Akbar

Iqtishodia

Hambatan Sertifikasi Daging Halal Bagi Pelaku UMK

Indonesia masih menghadapi kendala yang besar dalam proses sertifikasi halal.

OLEH Abdul Azis (Alumni Program Studi Manajemen dan Bisnis Sekolah Bisnis IPB), Lukman M Baga (Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB/Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM IPB), Yudha Heryawan Asnawi (Staf Pengajar Sekolah Bisnis IPB).


Produk makanan yang berasal dari hewan adalah salah satu sumber protein yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Peningkatan sumber protein hewani yang tersedia di masyarakat berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Salah satu produk pangan yang berasal dari hewan dan sangat diminati adalah daging sapi. Daging sapi adalah sumber pangan hewani yang memiliki nilai gizi yang tinggi karena mengandung protein, lemak, mineral, dan nutrisi lain yang diperlukan oleh tubuh. Dalam 100 gram daging sapi, terdapat 22,3 gram protein, 1,8 gram lemak, 1,2 gram abu, dan 116 kalori (Soeparno 2011).

Kriteria kehalalan produk daging merupakan salah satu perhatian utama, terutama di kalangan masyarakat Muslim. Kriteria halal tidak hanya melibatkan proses pemotongan, tetapi juga tahap pascapemotongan, seperti penyimpanan, pengemasan, distribusi, dan penyajian (Ambali dan Bakar 2014).

Risiko pencampuran dan perpaduan antara produk halal dan non-halal dalam proses pasca pemotongan menjadi salah satu faktor kunci yang perlu diperhatikan dalam menentukan kehalalan suatu produk. Kehalalan menjadi persyaratan utama dalam aktivitas konsumsi dan gaya hidup umat Muslim (Jamari et al., 2015).

Banyak produsen mulai mengakui pentingnya menghasilkan produk yang bersertifikasi halal.

 

 

Meski demikian, produk halal tidak hanya dibutuhkan oleh umat Islam, karena produk halal tidak hanya merepresentasikan persyaratan dalam agama, tapi juga aspek kebersihan, kesehatan, dan rasa yang lebih baik (Aziz dan Chok 2013). Banyak produsen mulai mengakui pentingnya menghasilkan produk yang bersertifikasi halal. Selandia Baru dan Australia adalah contoh negara yang telah menerapkan sertifikasi untuk produk daging yang mereka hasilkan dan langkah ini mulai diikuti oleh negara-negara lainnya.

Penelitian ini dilakukan di Kota Depok dengan melibatkan masing-masing 124 responden untuk konsumen Muslim dan non-Muslim. Sedangkan untuk penjual daging diambil sebanyak 40 responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan pendekatan purposive sampling.

Penerimaan konsumen terhadap daging halal
Saat membandingkan respons konsumen Muslim dan non-Muslim terkait aspek kesehatan makanan halal, hasilnya terlihat tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara kedua segementasi konsumen ini. Hasil analisis Chi-Square juga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara segmentasi konsumen dengan alasan kesehatan. Artinya, kehadiran produk daging halal sudah dapat diterima tidak hanya oleh kaum Muslimin, tetapi juga kaum non-Muslim.

photo
Respon konsumen terhadap daging halal - (IPB)

Temuan yang serupa, yakni tidak dijumpai perbedaan yang mencolok antara respons konsumen Muslim dengan non-Muslim, juga terlihat pada pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan aspek minat beli, produk, harga, promosi, dan lokasi penjualan.

Kendala sertifikasi daging halal
Pemerintah diketahui telah berupaya untuk memastikan keamanan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat. Pada 2019, Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 mengenai Jaminan Produk Halal (UU JPH) sebagai langkah pemerintah untuk memberikan perlindungan dan jaminan terkait kehalalan produk yang dikonsumsi masyarakat. Aspek-aspek keamanan dan jaminan produk meliputi kesehatan, kebersihan, dan status halal (Erwanto et al., 2014).

Pemerintah telah mengamanatkan bahwa produk yang berasal dari hewan harus memiliki sertifikat halal. Awalnya, sertifikat halal hanya bersifat sukarela, tetapi mulai tahun 2023, pemerintah mulai melakukan kampanye mandatory mengenai sertifikat halal.

Meski demikian, sampai saat ini ketersediaan daging yang telah bersertifikat halal masih terbatas di pasar. Penetapan UU JPH ini dapat menimbulkan sejumlah masalah, khususnya bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Kendala-kendala tersebut dapat muncul karena adanya beberapa persyaratan yang sulit dipenuhi oleh pelaku usaha kecil dan ini berpotensi mempengaruhi daya saing penjualan mereka.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya persyaratan yang dirasa cukup sulit untuk dipenuhi, yaitu persyaratan mengenai penggunaan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya. Para pedagang bukannya tidak mau menjual produk daging yang halal, melainkan banyak keterbatasan yang dimiliki para pedagang ini untuk bisa memenuhi persyaratan halal tersebut.

Para pelaku usaha atau produsen daging harus melakukan pemotongan di rumah potong yang sudah tersertifikasi halal untuk bisa memproses sertifikasi halalnya sendiri. Namun, pada kenyataaanya, masih banyak dari produsen atau pelaku usaha daging yang terkendala sehingga masih melakukan pemotongan sendiri dan bukan di rumah potong hewan (RPH).

Hal itu menyebabkan para pedagang daging tidak dapat melakukan proses sertifikasi. Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh KNEKS bekerja sama dengan Halal Science Center IPB pada 2021 menunjukkan bahwa sekitar 85 persen dari rumah potong hewan (RPH) belum memperoleh sertifikat halal.

photo
Respon pedagang pasar terhadap persyaratan teknis sertifikasi halal. - (IPB)

Bagi pedagang daging yang umumnya terkategori skala usaha mikro dan kecil cukup sulit untuk dapat membentuk tim manajemen halal (hanya 38 persen yang setuju). Sebaliknya, terdapat angka yang tinggi (27 persen responden) yang menyatakan tidak setuju terkait penggunaan bahan-bahan yang jelas kehalalannya. Hal ini bukan karena ketidakmauan untuk menggunakan bahan-bahan yang sudah halal, melainkan lebih karena ketidakmampuan untuk mendapatkannya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi kendala yang besar dalam proses sertifikasi halal. Salah satunya terkait dengan produk-produk hewani dan turunannya, terutama dalam hal proses penyembelihan.

Pemerintah perlu mendorong pelaku usaha untuk aktif melakukan sertifikasi produk mereka. Salah satu cara untuk memberikan dukungan ini adalah dengan fokus pada pasokan bahan baku dari tahap hulu terlebih dahulu, khususnya di rumah potong hewan (RPH). Semakin banyak RPH yang telah mendapatkan sertifikasi halal, tingkat kehalalan di tahap hulu akan menjadi faktor penentu keberhasilan kehalalan produk di tahap hilir.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat