Maskot Pemilu 2024 | ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Inovasi

Mitigasi Ancaman Deepfake di Pesta Demokrasi 2024

Kelompok rentan adalah mereka yang apolitis dan tidak terliterasi dengan baik soal teknologi.

Tahun 2024 merupakan waktunya pesta demokrasi diselenggarakan di Indonesia dan Amerika Serikat (AS). Namun, semarak menjelang pemilu sudah terlihat sejak tahun ini. Pemilu yang akan datang, diperkirakan juga akan diwarnai dengan sejumlah tantangan saat teknologi berkembang semakin masif.

Salah satunya adalah kehadiran kecerdasan buatan (AI) generatif, seperti ChatGPT. Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia (UI), Firman Kurniawan, melihat pemilu mendatang bisa dipenuhi dengan maraknya disinformasi.

Firman membandingkan kondisi pemilu pada tiga negara, yaitu AS pada 2020, Filipina pada 2021, dan Brasil di 2022. “Tiga negara itu semuanya melangsungkan pesta demokrasi rakyat yang diwarnai dengan disinformasi. Ini bentuknya seperti hoaks dan menjelekkan kandidat lain. Pada akhirnya, akan memunculkan kampanye gelap alias black campaign,” kata Firman kepada Republika, Selasa (12/9/2023).

photo
Mahasiswa mengamati poster dengan tema Pemilu Damai saat kunjungan di Kampung Demokrasi, Nayu, Solo, Jawa Tengah, Selasa (9/4/2019). Poster di Kampung Demokrasi tersebut dipajang untuk mengajak warga menggunakan hak pilih guna menyukseskan Pemilu 2019. ANTARA FOTO/Maulana Surya/aww. - (ANTARA FOTO)

Selama pemilu, ada banyak disinformasi yang muncul, salah satunya saat mantan presiden AS Barack Obama mengajak warga AS untuk mendukung Donald Trump. Padahal jika ditelaah lebih dalam, Obama berada di kubu lawan, Joe Biden.

“Setelah dilihat lebih dalam ternyata itu deepfake, tiruan yang dibangun menggunakan teknologi AI. Tidak menutup kemungkinan di Indonesia juga seperti itu. Bisa dilihat bagaimana AI, mengimitasi Pak Jokowi yang menyanyikan lagu Asmaliberasi,” ujar dia.

Karena kesanggupan warga Indonesia yang bisa menggunakan AI, ada kemungkinan deepfake juga akan dimanfaatkan menjadi alat disinformasi di Pemilu 2024. Ada tiga hal yang disorot oleh Firman. Pertama, teknologi ini memiliki harga yang terjangkau.

photo
Petugas melakukan pengecekan kualitas surat suara Pilpres 2019 saat pencetakan surat suara di Jakarta, Minggu (20/1/2019). Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi memproduksi surat suara Pilpres untuk kebutuhan Pemilu 2019, sebanyak 187.975.930 lembar surat suara. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/pd. - ()

Kedua, ada pihak yang membutuhkan jasa dari AI, khususnya kelompok tertentu yang mungkin belum siap bersaing secara sehat. Terakhir, momentum penggunaan AI dinilai tepat. “Ketika tiga hal ini bertemu maka sangat mungkin disinformasi terjadi,” ucapnya.

Kelompok Paling Rentan

Di tengah ancaman ini, ada beberapa kelompok rentan yang paling mudah terpengaruh, termasuk Gen Z. Gen Z dinilai agak apolitis yang tidak gemar membahas soal politik.

Hal inilah yang membuat mereka tidak begitu kenal akan karakter-karakter dari para kandidat sehingga mereka tidak mempunyai pembanding. Meskipun mereka juga dikenal sebagai kelompok yang tech savvy alias tidak gaptek, hal ini tidak menutup kemungkinan mereka akan terbawa arus disinformasi.

Namun, Firman menegaskan kelompok rentan adalah mereka yang apolitis dan tidak terliterasi dengan baik soal teknologi. “Mereka termasuk masyarakat yang berpendidikan rendah yang apolitis. Karena jauh dari politik, ini bisa membuat mereka masuk ke kubangan yang menjebak,” ucapnya.

Mengatasi Disinformasi

photo
Ancaman disinformasi di pemilu 2024 (ilustrasi) - (Freepik)

Meski begitu, ada sejumlah cara yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengenal konten-konten disinformasi. Selama akal sehat dan logika masih bisa dimanfaatkan, akan muncul kekebalan dari diri untuk tidak terpengaruh dari disinformasi.

Menurut Firman, publik perlu diperkenalkan hal-hal yang logis dan masuk akal dari karakter dan pesan para calon pemimpin. “Tidak mungkin orang tertentu mengatakan sesuatu yang bukan karakternya. Misalnya, tadi Obama  dukung Trump. Ini kita perlu berhenti sejenak, jangan menelan mentah-mentah, apalagi sampai disebarkan. Perlu diperiksa lebih dalam,” katanya.

Jika publik masih belum yakin dengan informasi yang didapat, mereka bisa menanyakan langsung ke lembaga atau kementerian terkait untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sebab, sangat penting untuk membangun pola pikir masyarakat yang kritis.

Selain itu, anak yang lebih muda atau mereka yang lebih paham teknologi bisa mengajarkan atau mengenalkan soal AI. Seperti adanya deepfake kepada mereka, kelompok yang lebih tua.

Pengenalan ini juga bisa melibatkan bagaimana cara mengenali ciri-ciri video deepfake. “Kalau sudah tahu ciri-cirinya, terkumpul indikator-indikator ketidakbenaran jadi kelompok yang tua tidak langsung menerima informasi itu. Kalau mereka sudah terbiasa dan tahu oh ada teknologi deepfake, ada disinformasi pakai AI, mereka akan terbentuk imunitasnya,” ucapnya.

 

 
Selama akal sehat dan logika masih bisa dimanfaatkan, akan muncul kekebalan dari diri untuk tidak terpengaruh dari disinformasi.
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Berebut Sentimen Pemilih Lewat Teknologi AI

Perilaku pemilih yang emosional cenderung lebih mudah dipengaruhi melalui penggunaan kecerdasan buatan (AI).

SELENGKAPNYA

Suramnya Demokrasi di Era Generative AI

Kemajuan AI berpotensi mengambil taktik disinformasi di masa lalu.

SELENGKAPNYA