PM Israel Benjamin Netanyahu, Menlu UEA Abdullah bin Zayed al-Nahyan, dan Menlu Bahrain Khalid bin Ahmed Al Khalifa selepas penandatanganan Perjanjian Abraham di Gedung Putih, 15 September 2020. | AP/Alex Brandon

Kabar Utama

Negara Arab Dibohongi Israel lewat Kesepakatan Abraham?

Israel tak berhenti mencaplok wilayah Palestina.

Oleh RIZKY JARAMAYA

Pada pada 15 September 2020, Menlu Uni Emirat Arab (UEA) Abdullah al-Zayed, Menlu Bahrain Abdul-Latif al-Zayani, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menandatangani "Kesepakatan Abraham" di Gedung Putih. Perjanjian tersebut adalah kesepakatan normalisasi hubungan yang diperantarai Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Perjanjian tersebut mendapat kecaman saat itu. Palestina merasa dikhianati negara-negara Arab yang meneken perjanjian. Palestina menyebutnya sebagai "tikaman dari belakang" dan menamai momen tersebut sebagai "Selasa Hitam".

Saat ini, tiga tahun setelah perjanjian, Israel makin jauh merangsek ke wilayah Palestina, suatu tindakan yang sedianya dilarang oleh kesepakatan tersebut. Pemukiman ilegal kian marak dengan para pemukim ilegal yang semakin nekat melakukan penghancuran properti warga Palestina.

UEA mengakui bahwa Kesepakatan Abraham yang menjadi landasan normalisasi sejumlah negara Arab dengan Israel, telah gagal menghentikan perluasan pemukiman ilegal Yahudi di wilayah pendudukan Tepi Barat. Sebelumnya UEA yakin bahwa Kesepakatan Abraham dapat melayani kepentingan Palestina dengan menghentikan aneksasi Israel atas Tepi Barat, dan mempertahankan solusi dua negara.

photo
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden Donald Trump, Menteri Luar Negeri Bahrain Khalid bin Ahmed Al Khalifa dan Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Abdullah bin Zayed al-Nahyan bereaksi di Balkon Ruang Biru setelah menandatangani Perjanjian Abraham dalam upacara di Halaman Selatan Gedung Putih, Selasa, 15 September 2020, di Washington. (AP Photo/Alex Brandon) - (AP/Alex Brandon)

Negara Teluk tersebut sebelumnya terus membela keputusan kontroversial mengikuti Kesepakatan Abraham. UEA menyatakan, Kesepakatan Abraham melayani kepentingan Palestina dengan menghentikan aneksasi Israel atas Tepi Barat dan mempertahankan solusi dua negara. Kesepakatan Abraham dibentuk oleh pemerintahan mantan presiden Donald Trump.

Sejak itu, UEA secara konsisten berpendapat, membuka hubungan dengan Israel dapat membatasi perluasan wilayah Israel. Namun pekan lalu, Duta Besar UEA di Washington, Yousef Al-Otaiba, sepertinya mengakui, Kesepakatan Abraham tidak dapat menghentikan Israel memperluas pencaplokan wilayah Palestina di Tepi Barat.

Dalam peringatan tiga tahun Kesepakatan Abraham di Washington, Al-Otaiba menyatakan, pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu secara efektif mencaplok Tepi Barat. Dia menyiratkan bahwa negara-negara yang mempertimbangkan untuk membuka hubungan formal dengan Israel mungkin menjadi pemain kunci untuk menghentikan inisiatif ini.

“Perjanjian kami memiliki jangka waktu tertentu, yang hampir berakhir. Oleh karena itu, kami tidak dapat mempengaruhi keputusan yang diambil setelah jangka waktu tersebut,” kata Al-Otaiba, dilaporkan Middle East Monitor, Senin (18/9/2023).

Perjalanan Abraham yang kontroversial - (Republika)  ​

“Sekarang mungkin tergantung pada negara lain untuk mengadopsi strategi tersebut. Hanya ada sedikit pengaruh yang dapat diberikan UEA terhadap keputusan Israel saat ini,” ujar Al-Otaiba menambahkan.

Sebelumnya, Al-Otaiba menegaskan, Kesepakatan Abraham mencegah aneksasi wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel. Dia menyebutkan, UEA telah mengamankan komitmen Israel untuk menunda rencana mencaplok sebagian besar Tepi Barat, sehingga menjaga potensi resolusi dua negara.

Dengan mendukung normalisasi, UEA memperjuangkan ambisi negara Palestina. Al-Otaiba menganggap aneksasi merupakan ancaman besar bagi masa depan negara Palestina, dan menjadi sebuah bahaya yang dapat dimitigasi oleh perjanjian normalisasi.

Namun demikian, banyak pihak yang mencatat bahwa Israel belum membuat komitmen yang mengikat untuk menghentikan aneksasi tanpa batas waktu. Para kritikus menyalahkan UEA karena memberikan keuntungan diplomatik kepada Israel sebagai imbalan atas komitmen ambigu yang dapat dengan mudah dikesampingkan.

photo
Penggembala Palestina Mustafa Arara, 24, berdiri di reruntuhan desa al-Baqa di Tepi Barat tempat penduduknya melarikan diri pada bulan Juli setelah pemukim mendirikan pos di desa tersebut pada, Rabu, 9 Agustus 2023. - (AP Photo/Maya Alleruzzo)

Pernyataan Al-Otaiba disampaikan di tengah diskusi yang sedang berlangsung mengenai potensi perjanjian normalisasi Saudi-Israel yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS). Saudi menetapkan sejumlah syarat sebelum membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Syarat tersebut antara lain, imbalan jaminan keamanan AS dan lampu hijau untuk program nuklir sipil. Saudi juga telah menyatakan keinginannya untuk mendapatkan konsesi dari Israel terkait Palestina.

Laporan media Arab baru-baru ini mengklaim kesepakatan itu gagal karena penolakan Israel untuk berkompromi mengenai masalah Palestina. Para pejabat Israel dilaporkan terkejut dengan rekan-rekan mereka di Saudi yang menghubungkan masalah Palestina dengan normalisasi.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Antony Blinken mengatakan, negosiasi normalisasi hubungan diplomatik Arab Saudi dan Israel masih belum menuju pembahasan spesifik, terutama terkait Palestina. Blinken mengatakan, pembahasan ini merupakan proposisi yang sulit. “Bahkan ketika kami sedang mengerjakannya, ini masih merupakan proposisi yang sulit,” kata Blinken kepada wartawan, Sabtu (16/9/2023).

Blinken menyebut, hal-hal spesifik dari setiap perjanjian, terutama yang diinginkan oleh berbagai pihak merupakan suatu tantangan. “Namun kami percaya bahwa manfaat yang akan diperoleh, jika kami mampu mencapainya, tentu akan sepadan dengan usaha yang kami lakukan," kata Blinken.

photo
Relawan membawa jenazah Qusai Matan (19 tahun), saat pemakamannya di kota Ramallah, Tepi Barat, Sabtu (5/8/2023). Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan, Qusai ditembak pemukim Yahudi di Tepi Barat. - (Nasser Nasser/AP Photo)

Blinken mengatakan, kesepakatan normalisasi Saudi dan Israel tidak akan mengganggu upaya perdamaian antara Israel dan Palestina untuk mencapai solusi dua negara. "Dan percakapannya dengan para pemimpin Saudi telah memperjelas bahwa perlu ada komponen penting bagi Palestina," ujar Blinken.

Niat jahat

Pengamat geopolitik Timur Tengah, Smith Alhadar menuliskan di Republika pada 2020 lalu. normalisasi hubungan UEA dan Bahrain dengan Israel tak lepas dari dinamika politik di AS, Timur Tengah, dan pandemi Covid-19.

Trump sebagai pejawat saat itu, menghadapi pesaing serius dari Partai Demokrat. Maka itu, Gedung Putih gencar melakukan diplomasi ke Timur Tengah, membujuk negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel. Tujuannya, mengungkit pamor Trump terkait politik luar negerinya yang jeblok.

Perjanjian Ibrahim memenuhi tiga sasaran Trump sekaligus. Pertama, menekan Palestina agar maju ke meja perundingan perdamaian dengan Israel berdasarkan "Transaksi Abad Ini" yang digadang-gadang Trump bakal menyelesaikan persoalan Timur Tengah.

Israel Makin Ganas - (Republika)  ​

Palestina menolak proposal tersebut karena tidak memberikan kemerdekaan pada Palestina, menyerahkan sepenuhnya Yerusalem kepada Israel, dan menghambat kembalinya jutaan pengungsi Palestina ke kampung halaman mereka di Israel.

Kedua, normalisasi hubungan memuluskan pembentukan koalisi Arab menghadapi Iran. Negara Arab yang diharapkan membangun koalisi strategis adalah Mesir, Yordania, Arab Saudi, Bahrain, dan UEA.

Ketiga, Trump ingin menciptakan lapangan kerja di AS. Perjanjian Ibrahim mensyaratkan AS menjual pesawat siluman F-35 kepada UEA dan Bahrain untuk mengimbangi Iran dan perang di Yaman. Pesawat yang dibuat perusahaan AS itu akan menyerap ribuan tenaga kerja. Israel juga diuntungkan. Normalisasi Israel dengan UEA dan Bahrain jelas melemahkan perjuangan Palestina.

Normalisasi menyalahi Inisiatif Perdamaian Arab yang dibuat Liga Arab di Lebanon pada 2002. Inisiatif itu menyerukan Israel mundur dari perbatasan tanah Arab sebelum Perang 1967, sebagai syarat normalisasi hubungan Israel dengan seluruh negara Arab.

75 Tahun Bencana Buatan Israel - (Republika)  ​

Dalam Perjanjian Ibrahim dinyatakan, Muslim boleh beribadah di Masjid al-Aqsa, tetapi tempat suci lainnya boleh digunakan agama lain. Ketentuan ini jelas niat jahat yang direncanakan Israel. Terminologi Masjid al-Aqsa dan bukan Haram al-Syarif atau Kuil Bukit, memungkinkan kaum Yahudi beribadah di Masjid Kubah Batu atau Masjid Umar yang berada di Haram al-Syarif.

Perjanjian ini mirip perjanjian tentang kompleks Masjid Ibrahim di Hebron, ujung-ujungnya Israel membagi tempat suci umat Islam itu dengan umat Yahudi. Dengan menggunakan istilah Masjid al- Aqsa dan bukan Haram al-Syarif akan mendorong Israel membagi kompleks Masjid al- Aqsa menjadi dua untuk Muslim dan Yahudi.

 

 

Israel Sebentar Lagi Caplok Tepi Barat Sepenuhnya

Ribuan pemukiman baru Yahudi terus merangsek tepi barat.

SELENGKAPNYA

Serangan Israel di Gerbang Akhir Zaman

Negara-negara Teluk kecaman serangan berlanjut Israel ke Masjid al-Aqsa.

SELENGKAPNYA

Israel Kebiri Pendidikan Anak-Anak Palestina

Buku-buku anak Palestian dirampas pasukan Israel.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya