Alwi Shahab | Daan Yahya/Republika

Nostalgia

Museum Nasional Riwayatmu Dulu

Museum Nasional sempat jadi sasaran perampokan.

Oleh ALWI SHAHAB

Mendatangi Museum Nasional di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Ahad (7/12) saya langsung ke ruang tengah bagian belakang gedung yang memiliki 141.899 buah koleksi. Di aula yang cukup luas, di tengah-tengah patung dan berbagai benda seni, di sinilah pada 1950-an tiap Ahad pagi hingga siang diselenggarakan pertunjukan kesenian wayang golek. Pesindennya Upit Sarimanah dengan dalang terkenal Teteng Djohari.

Ketika hendak memasuki gedung museum, seorang petugas mengatakan, rata-rata pengunjungnya sekitar 100 orang per hari. Saya merasakan jumlah itu sedikit sekali dibandingkan pengunjung 1950-an meski sebagian besar ingin nonton kesenian yang mencapai mendekati ribuan pengunjung.

Banyak nama yang diberikan untuk gedung Museum Nasional. Di antaranya Gedung Gajah. Itu karena di halaman mukanya terdapat patung gajah pemberian raja Thailand ketika berkunjung ke Batavia pada abad ke-19. Ada juga sebutan Gedung Arca karena terdapat ribuan arca (patung). Tapi, tidak kurang banyaknya yang menyebut Gedung Jodoh.

Mengapa demikian? Di gedung inilah tiap Ahad pagi para gadis yang berdandan seelok mungkin, rambut dirol meniru noni-noni Belanda dan para perjaka yang berjambul saling pandang. Asal penampilan yahud dan punya keberanian, pacaran bisa berjalan mulus. Seperti si Mamad ketika menegur seorang gadis mengenakan bebe (rok) warna merah memberanikan diri bertanya: "Sendirian, nih?" Dijawab: "Bedua ame yang nanya." 

Banyak nama yang diberikan untuk gedung Museum Nasional. 

Pacaran tempo doeloe tidak perlu banyak keluar duit. Restoran masih sedikit. Kafe dan mal belum muncul. Ketika itu, di depan museum (Lapangan Gambir, kini Monas), masih banyak dijumpai pohon sengon dan beringin. Di sana orang bisa berjualan atau berteduh.

Museum Nasional merupakan museum tertua di Indonesia. Museum yang mengoleksi 140 ribu benda-benda cagar budaya ini didirikan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG) pada era Hindia Belanda, 24 April 1778.

Selama masa Pemerintahan Inggris di Jawa, Letnan Gubernur Sir Stamford Raffles menjadi direktur perkumpulan ini. Yang menarik, di antara 140 ribu koleksinya terdapat barang berharga berupa emas dan intan berlian dari seluruh kerajaan dan kesultanan di Indonesia.

Tentu saja, adanya barang yang sangat berharga ini menjadi incaran perampok. Pada masa Hindia Belanda koleksi barang berharga ini aman-aman saja. Saya sendiri pada 1950-an dengan bebas bisa mendatangi tempat yang menyimpan koleksi barang-barang sangat berharga ini. 

Tentu saja, adanya barang yang sangat berharga ini menjadi incaran perampok. 

Tapi, rupanya awal 1961, pihak museum menjadi lengah. Tempat ini didatangi oleh perampok ulung yang sudah profesional dalam kejahatan. Peristiwa ini terjadi pada 31 Mei 1961. Kusni Kasdut, kelahiran Blitar, Jawa Timur, dibantu oleh kawannya, Bir Ali (anak Cikini) dengan berkendaraan jip dan memakai seragam polisi menyatroni penyimpanan koleksi berharga.

Memasuki gedung museum dengan seragam polisi rupanya tidak menimbulkan kecurigaan. Kusni dan Bir Ali dengan leluasa mengambil barang-barang yang merupakan koleksi berharga. Perampokan ini menjadi berita utama di surat-surat kabar. Untungnya, kedua pelaku ditangkap pihak berwajib ketika hendak menjual hasil kejahatannya.

Kusni Kasdut yang bernama asli Waluyo pada revolusi fisik (1945-1950) adalah pejuang kemerdekaan melawan Belanda. Karena memiliki cacat fisik, dia ditolak masuk TNI. Kala itu banyak pejuang kemerdekaan ketika hendak masuk TNI, dites terlebih dulu. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi desersi.

Rupanya, kedua penjahat ini tidak ikut dalam organisasi COBRA yang diketuai oleh jagoan Senen, Kapten Imam Syafei, yang berhasil menjinakkan para penjahat, termasuk bekas pejuang melalui organisasinya. 

Sebelum merampok museum, Kusni Kasdut dan Bir Ali pernah melakukan perampokan dengan membunuh korbannya seorang Arab bernama Ali Bajened. 

Sebelum merampok museum, Kusni Kasdut dan Bir Ali (julukan karena dia suka minum bir) pernah melakukan perampokan dengan membunuh korbannya seorang Arab bernama Ali Bajened.

Peristiwa itu terjadi di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, di depan kediaman Awab Alhajiri. Kusni Kasdut pernah tujuh kali dipenjara dan berhasil melarikan diri. Dia pun dihukum mati pada 1980.

Disadur dari Harian Republika edisi 14 desember 2008 dan 06 Desember 2012. Alwi Shahab merupakan wartawan Republika sepanjang zaman. Beliau wafat pada 2020.

Ada Koleksi Apa di Museum Nasional yang Terbakar?

Banyak koleksi penting sejarah Nusantara di Gedung A Museum Nasional.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya