
Konsultasi Syariah
Orang Tua Menafkahi Anak Hingga Kapan?
Apa kriteria seorang anak tidak wajib lagi diberikan nafkah?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Terkait nafkah yang wajib diberikan orang tua kepada anak, apakah ada batasan usia anak wajib diberikan nafkah? Apa kriteria seorang anak tidak wajib lagi diberikan nafkah? Bagaimana tuntunan syariahnya? Mohon penjelasan Ustaz. --Maulana, Cimanggis
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Untuk menjelaskan pertanyaan tersebut, coba saya jabarkan dalam poin-poin berikut.
Pertama, gambaran atau realitas. Di antara realitas terkait adalah ada beberapa yang telah lulus kuliah, tetapi belum bekerja dan masih bergantung pada orang tua. Namun ada juga sebagian, telah lulus pendidikan menengah atas dan sudah mandiri (berpenghasilan sendiri).
Kedua, kesimpulan hukum. Prinsipnya, saat anak memasuki usia pernikahan, maka mereka tidak lagi wajib mendapatkan nafkah orang tua kecuali dalam kondisi khusus, seperti anak yang cacat fisik atau kondisi khusus sejenis menurut pendapat mayoritas ahli fikih. Atau usia 21 tahun menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 dan Pasal 156, atau usia 18 tahun menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ketiga, pendapat fikih yang tidak mudah diurai. Setelah menelaah beberapa referensi, seperti buku Mausu’ah Al-Usrah Tahta Riayah Al-Islam (Syekh ‘Athiyah Saqr) dan referensi terkait bisa disimpulkan bahwa pandangan fikih seputar usia tidak wajib nafkah ini tidak mudah untuk diurai dan dipetakan.
Menurut saya, salah satunya karena berbeda standar (mi’yar) yang digunakan oleh masing-masing ahli fikih atau mazhab sehingga setiap pendapatnya itu menjadi tidak linear atau tumpang tindih.
Keempat, tidak ada nash terkait. Sesungguhnya, tidak ada nash ayat ataupun hadis yang menjelaskan tentang batasan usia anak tidak wajib nafkah. Yang ada adalah ayat dan hadis yang menjelaskan kewajiban nafkah orang tua kepada anak secara umum.
Di antaranya firman Allah SWT, (1) “...Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut...” (QS al-Baqarah: 233). (2) “...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka...” (QS at-Talaq: 6).
Dan hadis Rasulullah SAW, “...Ambillah apa yang mencukupi untuk kamu dan anakmu dengan makruf.” (HR an-Nasa’i).
Kelima, perbedaan pendapat fikih. Jika melihat peta perbedaan pendapat dalam fikih, bisa disimpulkan bahwa ada perbedaan pendapat di antara para ahli fikih terkait dengan kapan saatnya si anak itu tidak wajib dinafkahi atau kapan saatnya orang tua tidak lagi wajib memberikan nafkah kepada anaknya.
Di antara perbedaan tersebut, (1) Sebagian berpendapat bahwa saat anak berusia baligh, baik mampu berusaha atau tidak, itu tidak wajib diberikan nafkah oleh orang tua.
(2) Sebagian yang lain berpendapat saat anak menginjak usia menikah, maka ia tidak wajib dinafkahi.
(3) Sedangkan sebagian yang lain berpendapat saat anak memiliki harta atau mampu untuk mencari pendapatan, maka ia tidak wajib dinafkahi.
Keenam, pendapat yang rajih. Berdasarkan dokumentasi peta perbedaan pendapat para ahli fikih dalam khazanah salaf dan khalaf, maka bisa disimpulkan pendapat yang terpilih (rajih) adalah pendapat yang menegaskan bahwa saat anak dalam usia menikah, maka orang tua tidak wajib lagi memberikan nafkah sebagaimana pandangan mayoritas ahli fikih.
Jika usai ini diterapkan dalam konteks kekinian, maka saat anak sudah menyelesaikan S1, ia tidak wajib diberikan nafkah atau orang tua tidak wajib memberikan nafkah saat usia anak lulus S1.
Jika usai ini diterapkan dalam konteks kekinian, maka saat anak sudah menyelesaikan S1, ia tidak wajib diberikan nafkah atau orang tua tidak wajib memberikan nafkah saat usia anak lulus S1.
Sebagaimana penegasan Syekh ‘Athiyah Saqr: “Nafkah terhadap anak itu harus ditunaikan oleh para orang tua selama usia mereka masih anak-anak dan kondisi keuangannya membutuhkan. Sedangkan jika usia mereka sudah baligh, maka tidak wajib diberikan nafkah jika mereka mampu untuk mencari pendapatan atau maisyah. Menurut pendapat lain (mazhab Syafi’i) itu tidak wajib secara mutlak. Maksudnya, tidak wajib jika mereka sudah usia baligh walaupun mereka tidak mampu untuk mencari pendapatan. Ketentuan hukum ini sama berlaku untuk anak laki-laki ataupun perempuan.” (Syekh 'Athiyah Saqr, Mausu'ah Al-Usrah Tahta Riayah Al-Islam, hal 168).
Syekh ‘Athiyah Saqr juga menjelaskan bahwa batas usia atau kondisi anak tidak lagi menjadi wajib nafkah orang tua itu sangat bergantung pada pendidikan, kesadaran, dan tanggung jawab si anak. Di sini peran orang tua menjadi sangat penting.
Syekh ‘Athiyah Saqr menjelaskan, “Peran besar ada di pundak para orang tua untuk memberikan pemahaman dan penjelasan kepada anak-anaknya sesuai dengan kondisi mereka dan lingkungannya itu menjadi sangat penting untuk meminimalisasi dan menyelesaikan masalah-masalah psikologi yang terjadi pada anak-anak saat ini, yaitu khususnya anak-anak kesulitan untuk mencari pendapatan dan kesiapan mereka untuk mandiri secara keuangan. Begitu pula kemampuan orang tua untuk membimbing anak agar mereka hidup dalam lingkungan yang kondusif menjadi penting.” (Syekh ‘Athiyah Saqr, Mausu’ah Al-Usrah Tahta Riayah Al-Islam, hal 168).
Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam: “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak memiliki cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)”. (Kompilasi Hukum Islam, Pasal 98 dan Pasal 156).
Sebagaimana disebutkan juga dalam peraturan terkait: “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar Pengadilan.” (UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Wallahu a’lam.
Sejarah Pemberontakan PKI 1948
Banyak ulama dan santri yang gugur dalam peristiwa pemberontakan kaum komunis ini.
SELENGKAPNYASerba-serbi Wanita Karier di Mata Syariat
Laki-laki dan perempuan mendapatkan kesempatan yang sama dalam beramal saleh.
SELENGKAPNYABerhias untuk Suami
Hak suami terhadap istri adalah hendaknya istri selalu berusaha melakukan sesuatu yang dapat menumbuhkan rasa cinta
SELENGKAPNYA