
Kronik
Clinton, Gaddafi, dan Banjir Libya
Konflik di Libya membuat dampak banjir kian parah.
Oleh FITRIYAN ZAMZAMI
“Kami datang, kami lihat, dia mati...”
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton tertawa-tawa selepas menyampaikan kata-kata itu dalam wawancara dengan stasiun tv CBS di Amerika Serikat pada Oktober 2011 lalu. Saat itu, pemberontakan di Libya yang didukung negara-negara NATO baru saja menewaskan pimpinan Libya Muammar Gaddafi.
Berbulan sebelumnya, Libya juga tersapu Arab Spring, gelombang unjuk rasa yang berupaya mendongkel para diktator di Timur Tengah dan Afrika Utara. Gaddafi disebut menindak unjuk rasa-unjuk rasa itu dengan tangan besi.
Presiden Nicolas Sarkozy kemudian merayu Hillary sebagai menlu AS untuk mendukung pemberontakan secara militer dan menggulingkan Gaddafi. Rayuan itu ia sampaikan di Istana Elysee di Paris pada 14 Maret 2011.
The Washington Post melansir, Clinton yang terbujuk akhirnya bergabung dengan Duta Besar AS untuk PBB Susan E Rice dan penasihat Gedung Putih Samantha Power dalam menekan Obama untuk mendukung kampanye militer yang dipimpin AS dan NATO. Mereka berdalih bahwa AS tidak bisa membiarkan Gaddafi membantai warganya.
Obama memihak argumen Clinton, dan tiga hari kemudian, pada 17 Maret 2011, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang didukung AS yang mengesahkan “semua tindakan yang diperlukan” untuk melindungi warga sipil Libya. Pesawat-pesawat tempur AS segera menghancurkan pertahanan udara Libya sebelum menyerahkan operasi tersebut kepada NATO, yang terus melakukan serangan hingga Gaddafi ditangkap dan dibunuh pada Oktober itu.
Belakangan terungkap melalui bocoran email kepada Clinton di Wikileaks, Sarkozy punya alasan lebih dari sekadar membantu warga Libya. Libyan Express melansir, Sidney Blumenthal, rekan lama Clinton yang tidak secara resmi bekerja di Departemen Luar Negeri AS namun digaji oleh Clinton Foundation, mengirimkan serangkaian memo intelijen kepada Clinton pada tahun 2011, yang menyatakan bahwa Prancis mempunyai agenda tersembunyi.
Menurut email tersebut, yang menurut Blumenthal berisi informasi dari “sumber tepercaya”, Sarkozy terdorong untuk melakukan intervensi di Libya dengan harapan bisa mendapatkan akses terhadap cadangan minyak yang sangat besar.
Selain mengejar minyak, salah satu email Blumenthal yang dikirim pada tanggal 2 April 2011 menyatakan bahwa intervensi militer di Libya juga dirancang untuk menghentikan rencana Gaddafi untuk menggunakan cadangan emas Libya untuk membentuk mata uang baru pan-Afrika.

Menurut email tersebut, pembentukan mata uang tersebut akan melemahkan pengaruh Perancis di benua tersebut karena akan berdampak pada mata uang Franc CFA. Mata uang itu dijamin oleh Departemen Keuangan Perancis dan digunakan di banyak negara Afrika barat sebagai penghubung antara Paris dan beberapa negara bekas koloninya. “Ini adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan [nya] untuk melibatkan Perancis dalam serangan terhadap Libya,” tulis Blumenthal dalam email itu.
Presiden Obama kemudian menyesali keterlibatan AS di Libya. Sementara Parlemen Inggris menyimpulkan melalui penyelidikan secara intensif bahwa James Cameron, perdana menteri Inggris saat itu gegabah dalam ikut mendorong penyerangan Libya dan penggulingan Gaddafi.
Sementara Libya, negara yang relatif stabil dan makmur pada masa Gaddafi, jadi neraka. Antara menjelaskan, selama belasan tahun Derna dikuasai kelompok-kelompok militan, sampai kemudian direbut pasukan pimpinan Jenderal Khalifa Haftar pada 2019. Namun itu tak menghentikan friksi besar di Libya.
Sejak pemberontakan yang menggulingkan dan menewaskan Muammar Gaddafi, negara kaya minyak itu terkotak-kotak oleh pertikaian politik yang akut, di samping akibat wabah korupsi dan campur tangan asing.

Pihak-pihak bersengketa di Libya bukannya tak berupaya mempersatukan diri. Sebaliknya, selama 10 tahun terakhir mereka sudah berusaha membentuk pemerintahan terpadu yang fungsional. Tetapi, setiap kali itu pula mereka gagal mewujudkannya.
Yang justru kemudian terjadi adalah semakin akutnya perseteruan antara dua kelompok politik utama yang saling bersaing di Libya, yang sama-sama didukung oleh milisi-milisinya sendiri. Total ada 29 kelompok milisi di Libya, termasuk dua kelompok yang berafiliasi kepada ISIS.
Kedua kelompok utama penguasa Libya beserta milisi-milisi yang berafiliasi kepada mereka, tak henti bentrok sampai 15.000 orang menjadi tumbal pertarungan politik mereka, dalam kurun waktu 2014-2020.
Kedua kubu itu membagi Libya ke dalam dua pemerintah. Mereka yang menguasai bagian barat Libya memiliki pemerintahan yang berpusat di Tripoli, sedangkan yang menguasai bagian timur Libya memiliki pemerintahan yang berpusat di Tobruk.
Mereka yang memimpin daerah timur menyebut dirinya Dewan Perwakilan (HoR). Kelompok ini didukung Tentara Nasional Libya pimpinan Jenderal Khalifa Haftar. Sedangkan mereka yang memerintah bagian barat menamakan dirinya Pemerintah Persatuan Nasional (GNU).

Kedua kelompok besar politik di Libya ini juga memiliki sponsor asingnya masing-masing. Jika HoR didukung oleh Mesir, Prancis, dan Uni Emirat Arab, maka GNU didukung oleh Qatar, Turki, dan Italia.
Kemudian, setelah Haftar gagal menduduki Tripoli pada 2019–2020, PBB masuk ke Libya untuk memandu proses yang mengantarkan kepada terbentuknya pemerintahan sementara pada Februari 2021.
Pemerintah sementara itu menjanjikan pemilu pada Desember 2021, tetapi tak terwujud karena semua faksi berbeda pendapat mengenai bagaimana pemilu harus dilaksanakan.
Krisis politik makin tajam setelah perdana menteri sementara GNU Abdul Hamid Dbeibah, tak mau mundur, padahal menurut HoR, mandatnya selesai begitu pemerintahan sementara berakhir pada akhir 2021.
HoR kemudian menunjuk Fathi Bashagha sebagai perdana menteri tandingan, dalam pemerintahan di Libya timur yang kemudian disebut Pemerintah Stabilitas Nasional (GNU). Beberapa masa kemudian Jenderal Haftar memecat Bashagha untuk digantikan Osama Hammad.

Situasi makin runyam saja, apalagi diperparah oleh intervensi asing, yang memiliki kepentingan berbeda-beda di Libya, mulai dari menguasai akses ke pengusahaan minyak Libya, sampai mencegah kaum militan Islam memperluas pengaruhnya ke kawasan-kawasan dekat Libya.
Mesir, Prancis, dan Uni Emirat Arab yang menyokong kubu Jenderal Haftar di Libya timur serta Qatar, Turki, dan Italia yang mendukung kubu Abdul Hamid Dbeibah di Libya barat, membuat upaya menyatukan kekuatan-kekuatan di Libya menjadi semakin pelik.
Datang banjir besar
Dengan latar kekacauan seperti itu, bencana banjir bandang yang menerpa wilayah pesisir Libya jadi sedemikian mematikan. Bendungan yang tak terurus dengan mudah jebol dan menyapu Kota Derna. Bendungan yang runtuh di luar Derna dibangun pada 1970-an dan tidak dirawat selama bertahun-tahun, merujuk laporan media lokal.
Kota Derna mulai menguburkan ribuan orang di kuburan massal pada Kamis (14/9/2023). Menteri Kesehatan Libya Timur, Othman Abduljaleel memerinci, lebih dari 3.000 jenazah telah dimakamkan pada Kamis pagi, sementara 2.000 lainnya masih diproses. Dia mengatakan sebagian besar korban meninggal dikuburkan di kuburan massal di luar Derna, dan yang lain dipindahkan ke kota-kota terdekat.

Abduljaleel mengatakan tim penyelamat masih mencari reruntuhan bangunan di pusat kota, dan penyelam menyisir air laut di Derna.
Otoritas kesehatan menyebutkan jumlah korban meninggal di Derna mencapai 5.100 pada Rabu. “Jumlah korban tewas kemungkinan akan meningkat karena pencarian terus dilakukan, dan setidaknya 9.000 orang masih hilang,” kata Ossama Ali, juru bicara pusat ambulans di Libya Timur.
Pejabat setempat memperkirakan jumlah korban mungkin jauh lebih tinggi dari yang diumumkan. Dalam komentarnya kepada stasiun televisi Al Arabia milik Saudi, Wali Kota Derna Abdel-Raham al-Ghaithi mengatakan jumlah korban jiwa bisa bertambah hingga 20.000 orang, mengingat jumlah lingkungan yang tersapu banjir.
Seorang pejabat Organisasi Kesehatan Dunia PBB di Libya mengatakan jumlah korban jiwa bisa mencapai 7.000 orang. “Jumlah tersebut dapat mengejutkan dan mengagetkan kita semua,” kata pejabat tersebut, yang tidak berwenang memberikan penjelasan kepada media dan berbicara tanpa mau disebutkan namanya. Badai tersebut juga menewaskan sekitar 170 orang di wilayah lain di Libya timur, termasuk kota Bayda, Susa, Um Razaz dan Marj, kata menteri kesehatan.

Namun, bencana ini juga menghadirkan momen persatuan yang jarang terjadi. Lembaga-lembaga pemerintah di seluruh negeri bergegas membantu daerah-daerah yang terkena dampak.
Sementara pemerintah Libya timur yang berbasis di Tobruk memimpin upaya bantuan, pemerintah barat yang berbasis di Tripoli mengalokasikan dana setara dengan 412 juta dolar AS untuk rekonstruksi di Derna dan kota-kota timur lainnya. Sedangkan kelompok bersenjata di Tripoli mengirimkan konvoi bantuan kemanusiaan.
Setahun setelah tsunami 26 Desember 2004 yang menewaskan 130.000-167.000 orang, atmosfer politik di Aceh berubah drastis. Selepas bencana itu, pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat mengakhiri konflik selama 26 tahun dengan meneken Kesepakatan Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Bencana alam memang acap mendorong orang-orang yang tadinya berseberangan, bahu membahu menolong mereka yang terdampak bencana sampai bisa meretas jalan rekonsiliasi pihak-pihak yang bertikai. Badai siklon di Myanmar pada 2008 juga sempat mengubah lanskap politik di negara itu. Dua tahun setelah badai yang merenggut 138 ribu nyawa manusia itu Myanmar menggelar pemilu jujur dan adil pada 2010, walau 11 tahun kemudian negara itu mengalami lagi kemunduran akibat oportunisme militer mereka.
Kini, 18 tahun setelah bencana tsunami di Aceh, bencana tidak kalah dahsyatnya melanda Libya, yang dicabik-cabik oleh perseteruan antarfaksi bersenjata, terutama antara dua kelompok besar yang memerintah Libya saat ini. Bisa saja, seperti di Aceh, banjir bandang mengintensifkan prakarsa damai.
Badai Daniel Tewaskan Ribuan Warga Libya
Sumber pejabat Libya yang mengatakan jumlah korban meninggal di atas 5.000 orang.
SELENGKAPNYASebanyak 5.000 Orang Dikhawatirkan Meninggal Akibat Banjir Libya
Tak ada korban WNI terdampak banjir Libya.
SELENGKAPNYA