Dalam buku ini, Prof Ali Masud menyajikan pembahasan yang komprehensif tentang ulama kharismatik Jawa, KH Saleh Darat, sebagai seorang sufi. | DOK PRI

Kitab

Telaah Pemikiran Sufistik KH Saleh Darat

Dalam buku ini, Prof Ali Masud menyajikan pembahasan yang komprehensif tentang sosok KH Saleh Darat sebagai sufi.

Salah seorang tokoh yang menjadi simpul keilmuan Islam di Nusantara ialah KH Saleh Darat (kerap dieja: Shaleh Darat). Tokoh yang bernama lengkap Muhammad Shalih bin Umar as-Samarani itu lahir pada sekitar tahun 1235 Hijriyah atau 1820 M di Dukuh Kedung Jumbleng, Desa Ngroto (kini termasuk Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah). Ketika dewasa, guru para pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini lebih dikenal dengan sapaan Kiai Saleh Darat. Adapun sebutan “Darat” menunjukkan daerah tempatnya menetap, yakni kawasan dekat pantai utara Semarang, Jawa Tengah. Pesisir itu masyhur sebagai lokasi kapal-kapal dari luar Jawa berlabuh (mendarat).

Sejarah mencatat KH Saleh Darat sebagai seorang guru tasawuf utama di Tanah Jawa. Untuk menelusuri gagasan-gagasan sufistik tokoh ini, Prof Ali Mas'ud Kholqillah menulis sebuah buku berjudul Pemikiran Tasawuf KH Saleh Darat al-Samarani: Maha Guru Para Ulama Nusantara. Dalam karya setebal 338 halaman tersebut, akademisi UIN Sunan Ampel itu mengulas secara komprehensif tema tasawuf yang dikaitkan dengan ketokohan Kiai Saleh.

Buku itu diawali dengan kalam pembuka dan ditutup dengan kesimpulan. Ada empat bab utama di dalamnya. Yang pertama membicarakan perihal dinamika tasawuf di Pulau Jawa. Sebelum memasuki aspek historis, Prof Ali mengutarakan definisi-definisi tasawuf serta pemilahannya ke dalam dua jenis, yaitu tasawuf sunni dan falsafi.

Secara sederhana, katanya, tasawuf sunni menunjuk pada praktik-praktik tasawuf yang mengharuskan pengikutnya untuk selalu bersandar pada Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Menurut Ali, corak tasawuf sunni mulai diterima di Jawa berkat dakwah para sembilan wali (Wali Sanga). Salah satu ciri-ciri syiar yang dilakukan mereka ialah keseimbangan antara akidah, syariat, dan tasawuf. Hal itu tampak jelas, antara lain, dalam Kitab Primbon karya Sunan Bonang yang didiktekan kepada muridnya, Syekh Abdul Bari.

photo
ILUSTRASI Penari tarian khas sufi. Tradisi tasawuf telah menjadi bagian dari sejarah Islam sejak ratusan tahun silam. - (DOK REP Wihdan Hidayat)

Adapun tasawuf filsafat, secara sederhana, berarti tasawuf sunni yang dimasuki pengaruh filsafat. Karena itu, corak tasawuf ini menunjuk pada doktrin atau praktik yang kaya akan unsur-unsur filsafat, seperti emanasi Neo-Platonisme dan sebagainya. Karena itu, kemunculan jenis tasawuf tersebut bermula di daerah-daerah yang memang sejak zaman pra-Islam sudah dekat dengan tradisi filsafat atau mistisisme, semisal Persia dan India. Salah satu contoh sufi falsafi ialah Ibnu Arabi yang mengembangkan gagasan al-hulul, yang akhirnya menginspirasi ide wihdah al-wujud.

Tasawuf filsafat juga sampai ke Jawa. Hal itu dapat dirunut sejak munculnya Syekh Siti Jenar, yang diperkirakan hidup pada sekitar abad ke-16 M. Dalam Babad Demak dijelaskan, Syekh Jenar memperkenalkan doktrin pantheistik yang berasal dari tasawuf filsafat. Secara terbuka, ia mengaku diri sebagai Tuhan (Al-Haq) karena Dia telah bersatu dengannya.

Setelah memperkenalkan secara garis besar warna-warni tasawuf, Prof Ali melanjutkan pembahasan pada sosok KH Saleh Darat. Seperti umumnya teks biografi, akademikus itu menuturkan riwayat hidup sang tokoh, mulai dari kelahiran, masa muda, perjalanan mencari ilmu, hingga perannya sebagai mubaligh di tengah masyarakat.

Penulis memaparkan, antara lain, adanya darah pejuang dalam diri Kiai Saleh Darat. Ayah mursyid tersebut bernama Kiai Umar, yang pada abad ke-19 pernah terlibat aktif dalam Perang Jawa (1825-1830). Kiai Umar merupakan salah satu sosok yang dipercaya Pangeran Diponegoro, khususnya dalam mengonsolidasi kekuatan Muslimin di Semarang dan Jawa bagian utara pada umumnya.

Menurut Ali, KH Saleh Darat hidup antara tahun 1820 dan 1903. Artinya, sang alim masih berada dalam konteks masa yang lebih luas, di mana perkembangan intelektual Muslim Nusantara sedang pesat-pesatnya. Ada banyak pelajar Nusantara yang menuntut ilmu di Tanah Suci. Mereka lantas membentuk jaringan ulama yang menyambung diskursus di pusat dunia Islam dengan dunia Melayu atau Jawa. Terlebih lagi, Ali mengatakan, mereka juga sangat produktif dalam menghasilkan karya.

Kiai Saleh Darat menghabiskan nyaris separuh hidupnya untuk mengembara, dari satu daerah ke daerah lain, guna menuntut ilmu-ilmu agama. Guru pertamanya ialah ayah sendiri. Dari Jepara, ia lalu berguru pada Kiai Sahid di Pati. Selanjutnya, dirinya berangkat ke Kudus untuk belajar pada KH M Salih bin Asnawi.

Selain kedua alim tersebut, guru-guru Kiai Saleh ialah KH Ishak Damaran (Semarang), KH Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni (Semarang), dan KH Ahmad Bafaqih Ba’alawi (Semarang). Dari guru yang tersebut akhir itu, dirinya mengaji kitab Jauhar at-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqqani dan Minhaj al-Abidin karya Imam Ghazali.

Selanjutnya, Kiai Saleh juga berguru pada Syekh Abdul Ghani Bima (Semarang) serta Mbah Ahmad Alim (Purworejo). Dari ulama yang akrab disapa Kiai Muhammad itu, dirinya mempelajari ilmu-ilmu yang berkenaan dengan tasawuf.

photo
Makam KH Saleh Darat di Semarang, Jawa Tengah. - (dok nu)

Tahapan sufi

Ali mengatakan, KH Saleh Darat menguasai beragam disiplin ilmu agama. Bagaimanapun, tasawuf agaknya mendapatkan perhatian terbesarnya. Sebab, karya-karya sang kiai dalam bidang tasawuf justru lebih banyak dan komprehensif dibanding, umpamanya, fikih atau teologi. Sekurang-kurangnya, ada tiga buku tulisannya mengenai tasawuf, yaitu Matan Hikam, Minhaj al-Atqiya fii Sharhi Ma’rifah al-Adhkiya ilaa Thariq al-Awliya, serta Al-Munjiyat.

Tasawuf dalam pemikiran Kiai Saleh Darat haruslah tetap dalam kerangka syariat. Dalam sebuah kitabnya, sang mursyid menegaskan, “Ilmu tasawuf itu ilmu moralitas” yang bertujuan meraih ridha Allah. Dan untuk mendapatkan hal itu, ada sembilan tahapan sufistik yang mesti dilalui seorang hamba-Nya: tobat, kanaah (qana’ah), zuhud, menuntut ilmu, memelihara perbuatan sunnah, tawakal, ikhlas, uzlah, serta memelihara waktu.

Salah satu keistimewaan buku Pemikiran Tasawuf KH Saleh Darat al-Samarani ialah penjabarannya yang sangat detail mengenai kesembilan fase tersebut. Bukan hanya penjelasan mengenai definisi, tetapi juga rujukannya langsung pada kitab-kitab karya Kiai Saleh Darat. Pembaca seolah diajak untuk ikut menyelami seluruh kitab sufistik sang kiai—yang dikutip baik dalam bahasa aslinya (Jawa) maupun terjemahan.

Sebagai contoh ialah pemaparan tentang fase tawakal. Beberapa pemikir tasawuf mengutip janji Allah dalam Alquran, yakni melapangkan rezeki bagi hamba yang tawakal kepada-Nya. Menurut Kiai Saleh Darat, ada pendapat yang unggul (qawl ar-rajih), yakni janji Allah itu tidaklah mesti diterjemahkan sebagai “jangan bekerja.”

 
Janji Allah itu tidaklah mesti diterjemahkan sebagai (manusia agar) “jangan bekerja.”

Kiai Saleh menasihati, “Setuhune kasab iku ora dadi ngrusakaken nama tawakkal kerono Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq lan para shahabat iku kabeh podo nyambut gawe kelawan kasab lan selak ora lamuno para shahabat kok ora tawakal, semunu ugo ba’dh al-anbiya’, kaya Sayyidina Dawud ‘alaihi al-salam iku iyo kasab lan temtune iyo tawakkal.”

Artinya, “Sesungguhnya bekerja itu tidak merusak tawakal karena Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq dan para sahabat itu semua bekerja dan tidak mungkin para sahabat Nabi tidak tawakal. Begitu juga dengan sebagian para nabi, seperti Nabi Dawud AS, itu bekerja dan tentunya juga bertawakal.”

Dalam menjelaskan fase ikhlas, Kiai Saleh mewanti-wanti bahayanya riya. Tulisnya, “Setuhune den bendone menungso mungguh ing Allah iku wong kang ngadhahiraken kapale bathuke sangking labete sujud supoyo den arani wong shalih, maka wong kang mengkono iku saben-saben lungguhan mesti riya’ lan rumongso awake min al-shalihin mungguh ing Allah.”

Artinya, “Sesungguhnya dibencinya manusia oleh Allah itu adalah orang yang menampakkan noda hitam di jidatnya karena bekas sujud supaya disebut sebagai orang saleh. Maka orang yang seperti itu, di setiap duduknya pasti riya’ dan merasa dirinya tergolong orang-orang saleh di hadapan Allah.”

Pesona Istana Alhambra

Kompleks istana ini menjadi salah satu saksi kejayaan peradaban Islam di Andalusia atau Spanyol.

SELENGKAPNYA

Kejakgung: Proyek Tol MBZ Rugikan Negara Rp 1,5 Triliun

Proyek Tol MBZ senilai Rp 13,5 triliun sepanjang 2017-2020.

SELENGKAPNYA

Demokrat Mendekat, PPP Wanti-Wanti

Isyarat Demokrat akan bergabung mendukung Ganjar makin kuat.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya