Pemimpin PLO Yasser Arafat (kanan) bersalaman dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin disaksikan Presiden AS Bill Clinton pada 1993. | Gedung Putih AS

Kronik

30 Tahun, Perjanjian Oslo Hancur Berantakan

Brutalitas Israel terus meningkat dar tahun ke tahun.

Oleh DWINA AGUSTIN, FITRIYAN ZAMZAMI

30 tahun lalu, harapan membuncah untuk perdamaian di Palestina. Saat itu, tercapai kesepakatan damai secara diam-diam  antara delegasi Israel dengan Palestina di Oslo, Norwegia, yang disponsori oleh Menteri Norwegia Johan Jorgen Holst.

Perjanjian tersebut ditandatangani dalam sebuah momen bersejarah di Washington -- yang dituan-rumahi oleh Presiden AS Bill Clinton -- pada 13 September 1993. Saat itu untuk pertama kalinya Pemimpin PLO Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin berjabat tangan. Meski tampak sepele, jabat tangan ini bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Tak heran jika momen tersebut menjadi kenangan yang tak terlupakan.

Deklarasi itu sendiri dianggap sebagai langkah pertama dalam proses perdamaian yang direncanakan berlangsung kemudian. Termasuk dalam proses tersebut adalah penarikan seluruh tentara dari Jalur Gaza dan Tepi Barat, dan hak Palestina untuk menentukan dan mengatur wilayahnya sendiri.

Pada Oktober 1996, Israel menarik tentaranya dari wilayah Palestina, kecuali dari Hebron di Tepi Barat. Sementara rakyat Palestina memilih anggota parlemen dan mengangkat Arafat sebagai presiden pertama. Mereka juga mendirikan kepolisian sendiri.

photo
Penandatanganan Perjanjian Oslo pada 1993. - (Gedung Putih AS)

Perjanjian Oslo tersebut diiringi oleh "Letters of Mutual Recognition" Untuk kali pertama secara resmi Israel mengakui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai wakil bangsa Palestina yang sah. Dan untuk kali pertama pula, PLO mengakui eksistensi Israel, menentang terorisme, dan menerima prinsip "tanah untuk perdamaian."

Perjanjian Oslo memuat item yang mengakui partisipasi PLO dalam negosiasi dan janji PLO untuk menaati persyaratan dalam perjanjian. Isi dari perjanjian Oslo membuat Arafat bisa menerapkan resolusi PBB selama periode lima tahunan -- dari Mei 1994 hingga Mei 1999 -- yang menyangkut soal pemerintahan otonomi Palestina. Pada 4 Mei, dengan demikian, menjadi hari pertama PLO bisa menyatakan kemerdekaan. Arafat pernah menyebut tanggal 4 Mei sebagai hari bersejarah bagi Palestina.

Namun, nyatanya perjanjian itu di atas kertas saja. Proklamasi negara Palestina mengalami rintangan akibat kebijakan Perdana Menteri Israel Netanyahu yang membekukan proses perdamaian. Terakhir, Netanyahu menyerukan pemilu Israel dilakukan secepatnya yaitu tanggal 17 Mei. Tindakan ini tak lepas dari niatnya untuk mencegah Palestina mendeklarasikan kemerdekaannya.

Sementara itu AS, yang jadi broker perjanjian, terus menolak mengakui hak Palestina untuk merdeka dan menganggap deklarasi kemerdekaan merupakan tindakan tak bisa diterima. Bill Clinton hanya mengirimkan surat pada Arafat, menyatakan bahwa AS mengakui hak Palestina untuk menentukan masa depan mereka sebagai orang bebas di tanah airnya.

Tak lama setelah perjanjian, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, dibunuh oleh seorang sayap kanan Israel pada 1995. Sementara Yasser Arafat meninggal pada 2004.

75 Tahun Bencana Buatan Israel - (Republika)  ​

30 tahun kemudian

Kini, 30 tahun kemudian, di seberang wilayah pendudukan Tepi Barat, pos pemeriksaan beton, tembok pemisah, dan tentara terlihat jelas. Pemandangan itu menjadi pengingat akan kegagalan membangun perdamaian antara Israel dan Palestina sejak Perjanjian Oslo yang bersejarah ditandatangani 30 tahun lalu itu.

Perjanjian itu awalnya dimaksudkan sebagai langkah sementara untuk membangun kepercayaan dan menciptakan ruang bagi perjanjian perdamaian permanen. Namun, upaya ini telah lama membeku menjadi sebuah sistem untuk mengelola konflik tanpa terlihat adanya akhir.

Ketika Tepi Barat berada dalam kekacauan, pemerintahan nasionalis di Israel yang menolak segala prospek pembentukan negara Palestina. “Kita berada di akhir sebuah era baik di Palestina maupun Israel dan mungkin di kawasan secara keseluruhan,” kata Hanan Ashrawi, seorang aktivis sipil dan mantan juru bicara delegasi Palestina untuk proses perdamaian pada 1990-an.

“Seluruh generasi, era pembicaraan tentang saling pengakuan, dua negara, negosiasi penyelesaian, resolusi damai akan segera berakhir di Palestina,” katanya.

photo
Warga Palestina memertahankan Masjid al-Aqsha selepas kunjungan Ariel Sharon pada September 2000. - (Public Domains)

Hanya sedikit pihak yang percaya bahwa ada prospek realistis dari solusi dua negara, Palestina merdeka dan berdiri berdampingan dengan Israel. Ide tersebut, menurut Ashrawi, kini hanya sekedar “fiksi”.

Dengan adanya hambatan yang memisahkan kedua belah pihak di Tepi Barat, generasi muda Israel dan Palestina tumbuh dengan sedikit pengetahuan satu sama lain sejak perjanjian pertama ditandatangani pada 13 September 1993. “Oslo dan saya lahir pada tahun yang sama,” kata Mohannad Qafesha, seorang aktivis hukum di kota Hebron di selatan.

"Bagi saya, saya lahir dan ada pos pemeriksaan di sekitar saya, di sekitar rumah kami, jika saya meninggalkan rumah dan pergi ke kota untuk mengunjungi teman-teman saya, saya harus melewati pos pemeriksaan tersebut," ujarnya.

Menurut angka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sekitar 700 ribu pemukim Yahudi kini menetap di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, yang merupakan inti negara Palestina di masa depan. Pembangunan pemukiman pun berkembang pesat. Diperkirakan 3,2 juta warga Palestina tinggal di Tepi Barat dan 2,2 juta di Gaza.

photo
Polisi perbatasan Israel berjaga ketika buldoser menghancurkan sebuah rumah di kawasan Tepi Barat Masafer, dekat Yatta, 6 Agustus 2020. Masafer Yatta, kumpulan 19 dusun Palestina diklasifikasikan sebagai Area C, yang berada di bawah kendali Israel, sejalan dengan Kesepakatan Oslo II. Rumah-rumah tersebut dihancurkan setelah penyewa Palestina tidak memberikan izin yang dibutuhkan Israel untuk membangun infrastruktur di daerah tersebut. - (EPA-EFE/ABED AL HASHLAMOUN)

Kekerasan selama 18 bulan terakhir telah menyebabkan puluhan warga Israel, termasuk warga sipil dan tentara, meninggal dalam serangan yang dilakukan oleh warga Palestina di Tepi Barat dan Israel. Sedangkan serangan kurang ajar yang dilakukan oleh pemukim Yahudi di kota-kota dan desa-desa Palestina, ditambah tindakan keras oleh petugas.

Serangan yang hampir terjadi setiap hari oleh pasukan Israel telah menewaskan ratusan anggota kelompok Palestina dan sejumlah warga sipil. Sementara sejumlah kelompok militan baru bermunculan di kota-kota seperti Jenin dan Nablus yang tidak memiliki hubungan dengan generasi tua para pemimpin Palestina.

“Saya belum pernah melihat Tepi Barat seperti saat ini, saya telah masuk dan keluar dari sini selama hampir 30 tahun dan saya belum pernah melihat hal yang lebih buruk,” kata Koordinator Khusus PBB Tor Wennesland pada konferensi pekan ini.

Struktur yang diciptakan oleh Perjanjian Oslo tetap menjadi kerangka utama hubungan antara Israel dan Palestina jika tidak ada yang lebih baik. Otoritas Palestina (PA) tetap menjadi mitra yang disukai Israel, meski sering kali tidak dipercaya, meskipun mereka kehilangan kendali atas Gaza ketika Hamas memisahkan diri pada  2007.

Serangan Berulang Zionis - (republika)  ​

Tapi, karena bergantung pada dana asing, tanpa mandat pemilu dan tidak populer di kalangan rakyatnya sendiri, PA terjebak dalam peran-perannya sebagai perwakilan Palestina dan lawan bicara Israel. Begitu Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang berusia 87 tahun lengser, akan ada kekosongan yang mungkin akan membawa krisis ke puncaknya.

Para pejabat Israel juga khawatir jika Abbas mengundurkan diri, maka pintu akan terbuka bagi dorongan Hamas ke Tepi Barat, tempat Hamas semakin aktif. Bisa juga kondisi anarki muncul ketika para pesaing kepemimpinan saling bertarung.

“Ini sangat lemah, sangat buruk tetapi perjanjian ini masih ada,” kata mantan pejabat badan militer Israel yang dibentuk setelah Oslo untuk berkoordinasi antara Israel dan PA (COGAT) Michael Milshtein.

Bagi mantan menteri kehakiman dan negosiator Israel Yossi Beilin kegagalan perjanjian tersebut terjadi karena pemerintahan Israel berturut-turut lebih memilih untuk mengubah gencatan senjata yang awalnya bersifat sementara menjadi status quo permanen. Terlebih lagi masyarakat Israel terpecah oleh perselisihan mengenai upaya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mengekang kekuasaan Mahkamah Agung, prospek upaya perdamaian tampaknya semakin kecil.

photo
Teman sekelas Sadeel Naghniyeh (15 tahun) membawa jenazahnya saat pemakamannya di pengungsian Jenin, Tepi Barat, Rabu, 21 Juni 2023. Naghniyeh meninggal akibat luka yang diderita dalam serangan militer Israel pada Senin (19/6/2023). - (AP Photo/Majdi Mohammed)

“Pemerintahan Israel saat ini tidak menunjukkan tanda-tanda kesediaan untuk mencapai perjanjian permanen. Jadi, mereka yang berbicara tentang perjanjian permanen harus berbicara tentang pemerintahan di masa depan,” kata mantan politisi Partai Buruh itu.

Warga Palestina dan sejumlah organisasi hak asasi manusia internasional sudah menuduh Israel mengoperasikan sistem apartheid di Tepi Barat. Israel dan sekutu-sekutunya termasuk Amerika Serikat menolak tuduhan tersebut. 

Setelah Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menandatangani Perjanjian Oslo 30 tahun lalu, secara resmi Palestina mengakui Israel. Rakyat Palestina tampaknya semakin tidak bisa lagi menjadi negara merdeka dan pendudukan atas tanah mereka tampak semakin mengakar.

Keluhan warga

Sudut pandang warga Palestina pun seragam dalam memandang perjanjian yang dilakukan pemimpin Palestina Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, diawasi oleh Presiden AS Bill Clinton. Ola Anebtawi warga Nablus memandang topik Perjanjian Oslo selalu muncul karena sifatnya yang kontroversial. "Saya selalu merasa tersesat dan tidak mengerti bagaimana membentuk opini saya sendiri," ujar perempuan berusia 32 tahun itu dikutip dari Aljazirah.

photo
Puing-puing di jalanan setelah tentara Israel menyerbu kamp pengungsi Nur Shams di timur Tulkarem di Tepi Barat yang diduduki, 5 September 2023. Menurut sumber medis di Rumah Sakit Thabet Thabet di Tulkarem, seorang pemuda Palestina tewas, seorang lainnya terluka parah. - (EPA-EFE/ALAA BADARNEH)

Tapi, seiring berjalannya waktu, Anebtawi menyadari bahwa hal ini merupakan kemunduran besar bagi negara dan kepemimpinan Palestina. "Ketika, sebagai warga Palestina, Anda menyadari penyebabnya, Anda mulai berpikir, 'Bagaimana saya bisa berperan dalam kapasitas apa pun dalam melawan pendudukan?'" ujarnya.

Anebtawi menilai Perjanjian Oslo justru menghalangi warga Palestina mencapai misi sebagai umat. Hal itu  juga gagal mempersatukan dan gagal mengembalikan seluruh tanah yang dirampas, serta memfasilitasi kembalinya para pengungsi.

Sebuah kesalahan besar mengakui Israel sebagai negara dengan perbatasan yang jelas. Tindakn itu pun akhirnya berdampak pada kehidupan warga Palestina secara ekonomi dan sosial, hingga membatasi kebebasan bergerak karena adanya pemukiman ilegal. "Ini sungguh menyakitkan. Ketika Anda tidak memiliki kebebasan, Anda tidak punya apa-apa. Mereka merampas hal ini dari kita," ujar Anebtawi.

Penilaian serupa pun muncul di pikiran Bahaa yang tinggal di Yerusalem Timur. Dia melihat Perjanjian Oslo merupakan bencana besar.

Perjanjian ini membagi wilayah Palestina menjadi tiga bagian: A, B, dan C, dan memberikan kekuasaan dan legitimasi kepada pendudukan untuk mengatur dan mengelola wilayah tersebut. Hal ini membuat perekonomian Palestina dan Israel saling terkait, sehingga membuat warganya bergantung padanya untuk bertahan hidup.

photo
Puing-puing di jalanan setelah tentara Israel menyerbu kamp pengungsi Nur Shams di timur Tulkarem di Tepi Barat yang diduduki, 5 September 2023. Menurut sumber medis di Rumah Sakit Thabet Thabet di Tulkarem, seorang pemuda Palestina tewas, seorang lainnya terluka parah. - ( EPA-EFE/ALAA BADARNEH)

"Perjanjian tersebut juga berdampak besar pada generasi muda di Yerusalem karena pada dasarnya perjanjian tersebut memberi Israel kendali penuh atas bagian timur kota tersebut," ujar sosok berusia 26 tahun ini.

Sedangkan Tasami Ramadan memandang Perjanjian Oslo sebagai harapan dan kekecewaan. Pada awalnya, perjanjian tersebut merupakan kesempatan bagi Palestina untuk mendirikan negara merdeka dan membebaskan diri dari pendudukan. Namun kenyataan di lapangan mengubah harapan tersebut menjadi kekecewaan.

"Keadaan yang dijanjikan kepada kita tidak pernah terlaksana. Faktanya, seluruh janji yang ada dalam perjanjian tidak pernah terealisasi. Itu adalah perjanjian yang tidak adil dan tidak adil," ujar perempuan berusia 25 tahun itu.

Menurut penduduk wilayah pendudukan Tepi Barat ini, jika perjanjian itu tidak pernah ada, justru akan ada rasa persatuan Palestina yang lebih kuat. Oslo sangat membantu memunculkan perpecahan di antara faksi-faksi Palestina.

Israel Makin Ganas - (Republika)  ​

"Dampak dari pertikaian internal ini berdampak besar pada persatuan Palestina dan kita menderita akibat dampaknya hingga hari ini," kata Ramadan.

Kesepakatan-kesepakatan, menurut Ramadan, telah mengurangi pentingnya perlawanan dan memaksa masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap kekuatan perlawanan. "Jika bukan karena perjanjian ini, saya pikir kita akan memiliki kelompok perlawanan yang lebih kuat dan terorganisir, dan gagasan perlawanan akan menjadi faktor pemersatu yang utama," ujarnya.

Perjanjian tersebut juga menutup pintu bagi upaya lain yang dapat membantu mengakhiri pendudukan. "Pada dasarnya tertulis: 'Kami menandatangani perjanjian ini, dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan,'" ujarnya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Serangan Israel di Gerbang Akhir Zaman

Negara-negara Teluk kecaman serangan berlanjut Israel ke Masjid al-Aqsa.

SELENGKAPNYA

Israel Kebiri Pendidikan Anak-Anak Palestina

Buku-buku anak Palestian dirampas pasukan Israel.

SELENGKAPNYA

Hambatan Perdamaian itu Bernama Permukiman Ilegal Israel

Israel telah melakukan penghancuran dan penyitaan tanpa henti atas properti milik warga Palestina.

SELENGKAPNYA