Alwi Shahab | Daan Yahya/Republika

Nostalgia

Lintah Darat, Rentenir, dan Debt Collector

Islam sendiri dengan tegas mengutuk dan mengharamkan riba.

Oleh ALWI SHAHAB

Tidak diragukan lagi, lintah dikenal sebagai binatang pengisap darah. Pernah tersiar kabar bahwa di halaman muka Museum Sejarah DKI Jakarta di Jalan Fatahillah 1, Jakarta Barat, yang pada masa Belanda menjadi Balai Kota VOC, terdapat kolam berisi lintah yang tertutup. Pernah diisukan pada masa kolonial, katanya, para tahanan 'kelas berat' dimasukkan ke dalam kolam air yang tertutup besi.

Di dalamnya, terdapat ratusan lintah siap mengisap darah hingga maut mengambil nyawa mereka yang dijebloskan ke dalamnya. Tapi, sejauh ini tidak dapat dipastikan kebenarannya. Termasuk dari pengelola museum sendiri. Kecuali, adanya penjara bawah tanah dengan besi-besi lebih besar dari bola pemain sepak bola yang sampai kini dapat kita dapati.

Tapi, ada istilah 'lintah darat'. Oleh masyarakat luas, istilah ini ditujukan untuk para rentenir yang meminjamkan uangnya dengan bunga. Islam sendiri dengan tegas mengutuk dan mengharamkan riba. Sayangnya, pelakunya bukan berkurang, melainkan makin bertambah. Para korbannya adalah yang terimpit akibat beban ekonomi. Tapi, ada juga karena tergiur akibat konsumerisme di tengah kesenjangan ekonomi yang makin melebar.

 
Oleh masyarakat luas, istilah ini ditujukan untuk para rentenir yang meminjamkan uangnya dengan bunga.
   

Orang yang keadaan ekonominya tidak beruntung bisa khilaf melihat tawaran-tawaran  memperoleh kredit. Karena itulah sekarang ini semakin banyak badan yang menawarkan jasa pinjaman, tentu saja dengan bunga. Cukup dengan BPKB atau surat rumah yang menggadaikannya sudah memperoleh uang meski harus menandatangani kesiapan membayar plus bunganya. Kini, biro-biro perkreditan demikian gencar memasang iklan di surat kabar. Di samping itu, kita dapati juga di berbagai sudut jalan raya. Rupanya, bisnis demikian cukup menguntungkan.

Agar pembayaran kreditnya berjalan lancar, kini merebak profesi baru berupa penagih utang atau yang juga dikenal sebagai debt collector.  Kalau dulu dikenal istilah centeng atau jagoan yang penagih pajak (blastingt), debt collector ternyata lebih galak lagi. Salah satu kasus yang kini sedang ramai adalah kasus nasabah kartu kredit Irzen Octa (50). Ada yang bilang, dia meninggal dunia dianiaya debt collector saat negosiasi pembayaran kreditnya.

Sebuah harian Ibu Kota dalam karikaturnya menggambarkan debt collector berbadan tegak, bermuka bengis, dan tidak mengenal kasihan. Ada seorang sahabat dan masih keluarga saya, yang berutang hanya 30 juta perak, setelah batas tempo telah menjadi kejaran penagih utang. Rupanya, ketika batas waktu pembayaran, dia tidak memiliki uang. Dia pun akhirnya menjadi kejaran debt collector. Dalam menagih utang, mereka tidak mengenal ampun.

 
Sebuah harian Ibu Kota dalam karikaturnya menggambarkan debt collector berbadan tegak, bermuka bengis, dan tidak mengenal kasihan.
   

Sampai-sampai kediamannya didatangi siang dan malam dengan makian pedas terhadap keluarganya yang berada di rumah. Sampai-sampai mereka mengusulkan agar rumahnya dijual saja untuk membayar utang kredit. Ketika ditanya, "Bagaimana dengan ibu, istri, dan anak-anak saya nanti tinggal?" dengan enteng debt collector menjawab: "Memang gua pikirin."  Beban dan kejaran ini membuat dia sakit dan akhirnya meninggal dunia. Tapi utang dan bunganya harus tetap dibayar. Untung ada keluarga yang rela menanggungnya. 

Disadur dari Harian Republika edisi 9 April 2011. Alwi Shahab merupakan jurnalis Republika sepanjang zaman. Beliau wafat pada 2020 lalu.

Terjerat Pinjol demi Hedon

Sekitar 60 persen pengguna pinjol berusia antara 19 hingga 24 tahun.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya