KH Ali Yafie | dok rep

Mujadid

Biografi KH Ali Yafie

Sosok yang pernah memimpin Majelis Ulama Indonesia selama 10 tahun ini dikenang sebagai pribadi yang alim dan zuhud.

Prof KH Ali Yafie merupakan seorang tokoh Muslim yang berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Melalui Muktamar NU pada 1971 di Surabaya, Jawa Timur, ia terpilih menjadi rais syuriah. Posisi yang sama terus melekat padanya hingga Muktamar NU di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1979 dan di Situbondo, Jatim, 1984.

Sejak 1989, sosok kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, itu terpilih menjadi wakil rais aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kemudian, sesudah wafatnya KH Achmad Siddiq pada 1991, ia mendapatkan amanat untuk menjadi pejabat rais aam PBNU. Dinamika internal di tubuh organisasi itu lalu membuatnya mengundurkan diri sejak tahun 1992.

Mantan rektor IAIN Makassar itu juga sempat memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat 10 tahun lamanya. Memang, ketokohannya telah melintasi ranah organisasi. Pribadinya diterima di mana saja, lapis masyarakat Muslim manapun.

KH Ali Yafie dikenal luas sebagai ulama Nusantara yang pakar ilmu fikih. Oleh karena luas cakrawala ilmunya, para tokoh dari lintas kalangan Muslim begitu menghormatinya. Bukan hanya dunia dakwah, dirinya pun pernah terjun di dunia politik. Ia bekerja sebagai wakil rakyat sejak era 1970-an hingga tahun 1987.

Lingkup ketokohannya juga tampak jelas di dunia akademis. Sejak berusia 23 tahun, KH Ali Yafie sudah mengajar di kampus tempatnya belajar. Sampai menginjak usia kepala tujuh, kiai yang pernah duduk di dewan penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) itu masih rutin mengajar di sejumlah universitas, baik dalam maupun luar negeri.

Sebut saja, Universitas asy-Syafiiyah, Institut Ilmu Alquran, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain pendidikan formal, KH Ali Yafie juga konsen pada dunia pesantren. Sampai di usia senjanya, dia merupakan pengasuh Pondok Pesantren Darul Dakwah al-Irsyad, Pare-Pare, Sulawesi Selatan.

Agaknya, perjalanan KH Ali Yafie di dunia pendidikan Islam bermula dari pengaruh orang tuanya. Ayahandanya bernama KH Mohammad Yafie. Sang ayah selalu mendidiknya dengan penuh disiplin.

Atas saran bapaknya pula, Ali Yafie masuk ke pesantren untuk menempuh pendidikan dasar. Salah seorang gurunya ketika itu berasal dari Makkah, yakni Syekh Muhammad Firdaus. Pesantren yang menjadi tempatnya paling berpengaruh menuntut ilmu adalah Darul Dakwah al-Irsyad. Kelak, di sana pula dia berperan sebagai pengasuh.

Dari pola pendidikan di lingkungan keluarga dan pesantren, KH Ali Yafie mantap menapaki pendidikan tinggi. Pada saat itu, pelbagai institut keilmuan agama Islam berdiri di seantero Indonesia.

photo
KH Ali Yafie (berkaca mata hitam) di antara para sahabat. - (dok rep)

KH Ali Yafie sempat menjadi dekan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauiddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Peran ini dijalaninya sejak tahun 1966 hingga 1972. Banyak di antara murid-muridnya, baik di lingkup institut maupun pesantren, yang di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh penting. Untuk menyebut sekadar dua contoh: Prof KH Quraish Shihab (mufasir) dan Alwi Shihab (mantan menteri luar negeri).

Dalam sebuah wawancara dengan Harian Republika, 22 November 2016, KH Quraish Shihab mengibaratkan sosok KH Ali Yafie sebagai “api di atas gunung.” Maknanya, sang guru telah menjadi panutan yang menuntun dirinya serta para murid pada umumnya kepada pemahaman Islam dan sikap zuhud. Menurut penulis kitab Tafsir al-Mishbah itu, Kiai Ali Yafie telah menunjukkan teladan jalan hidup sufistik yang mencintai ilmu pengetahuan dan kearifan.

Sebagai seorang pemuka umat, KH Ali Yafie selalu mengutamakan tema persatuan umat (ukhuwah Islamiyyah) di atas perbedaan-perbedaan. Sikapnya yang terbuka, mengayomi, dan tidak membeda-bedakan asal golongan membuat suami daripada Hj Aisyah ini diterima banyak pihak. Bapak empat orang anak ini juga menjadi pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia.

Sosok yang lahir dengan nama Muhammad Ali ini sudah akrab dengan kitab-kitab klasik sejak masih berusia anak-anak. Menurut Anwar Sadat dalam artikelnya untuk Jurnal al-’Adl (2013), keluarga KH Ali Yafie termasuk kalangan alim ulama (anre gurutta) sehingga berkedudukan tinggi di tengah masyarakat Sulawesi Tengah.

Dari segi nasab, ia merupakan keturunan Syekh Abdul Hafidz Bugis, satu dari tiga ulama Nusantara yang mengajar di Masjid al-Haram, Makkah. Di samping itu, keluarga KH Ali Yafie kebanyakan berprofesi sebagai saudagar yang sukses sehingga mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan pendidikan.

KH Ali Yafie merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara. Sejak berusia lima tahun, dia telah akrab dengan pelbagai bacaan, termasuk kitab-kitab kuning. Pengaruh dari ayahnya, Muhammad Yafie, membuatnya tertarik menekuni disiplin ilmu fiqih. Dia sempat menimba ilmu kepada ulama-ulama termasyhur di Sulawesi, termasuk KH Ali Mathar, yang juga paman Kiai Quraish Shihab.

 
KH Ali Yafie ikut mengembangkan gagasan fikih sosial.

Di ranah keilmuan fikih, KH Ali Yafie ikut mengembangkan gagasan fikih sosial. Ia menegaskan, sumber pokok hukum Islam adalah Wahyu, baik yang tertulis (Alquran) maupun yang tak tertulis (Sunnah Rasulullah SAW). Kemudian, materi-materi hukum yang ada dalam sumber pokok itu terbatas secara kuantitatif. Oleh karena itu, perlu adanya penalaran dalam upaya menerapkan hukum-hukum.

Dalam konteks inilah, ijtihad memegang peran penting. Ini merupakan upaya penalaran untuk mengembangkan metode-metode pengolahan hukum Islam. Bagaimanapun, sumbernya tetap Alquran dan Sunnah.

KH Ali Yafie menyatakan, adanya batas kewenangan akal dalam melakukan ijtihad. Untuk itu, seperti dikutip dari Sadat (2013), ia secara cermat telah membuat klasifikasi ayat-ayat hukum dalam Alquran dan Sunnah Nabi SAW.

Dengan demikian, menjadi jelas pada hal-hal mana saja seorang mujtahid harus melakukan ijtihad dan menerima seadanya. Dengan perkataan lain, ada aturan-aturan hukum yang tetap atau wajib ditaati sebagaimana adanya. Namun, ada pula aturan-aturan hukum yang bersifat dinamis lantaran berkembang mengikuti dinamika zaman.

Pada 25 Feburari 2023, Muslimin Indonesia berduka. Hari itu, Prof KH Ali Yafie berpulang ke rahmatullah dalam usia 96 tahun.

 

Akhir Status Jakarta Sebagai Ibu Kota

RUU tersebut akan mencabut status ibu kota negara dari Jakarta.

SELENGKAPNYA

Menstabilkan (Lagi) Harga Beras

Menjaga jumlah stok yang cukup harus dilakukan sedini mungkin.

SELENGKAPNYA

Kebakaran TPA Sarimukti Hingga Kini Masih Berlang

Pemprov Jabar mengambilalih penanganan kebakaran di TPA Sarimukti yang telah berlangsung sejak 23 haru lalu.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya