
Mujadid
Inyiak Abbas, Mubaligh Islam dari Bukittinggi
Abbas Qadi Ladang Lawas merupakan eksponen Kaum Tua di Minangkabau pada awal abad ke-20.
Sumatra Barat pada awal abad ke-20 M menghasilkan cukup banyak tokoh pembaru Islam. Seorang di antaranya adalah Abbas Qadi Ladang Lawas. Pendiri Pesantren Ladang Lawas ini lahir di Banuhampu, Agam, pada medio abad ke-19 M. Inyiak Abbas--demikian panggilan akrabnya--mengawali pendidikan dengan belajar Alquran pada Tuanku Mudo, seorang alim setempat.
Selanjutnya, ia keluar dari kampungnya untuk belajar ke Biaro, Bukittinggi, di bawah bimbingan seorang ulama. Kemudian, Abbas pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmu-ilmu agama.
Begitu kembali ke Tanah Air, ia berupaya menyebarkan dakwah Islam kepada penduduk ranah Minangkabau. Untuk itu, Abbas mendirikan Pesantren Ladang Lawas yang juga menerapkan sistem pendidikan modern. Hal itu tidak mengherankan karena dirinya merupakan murid dari Syekh Abbas Abdullah (1883-1957), seorang pencetus ide pembaruan Islam yang mengubah metode halaqah tradisional menjadi sistem klasikal, yang biasa dijumpai di sekolah-sekolah bentukan Eropa.
Bagaimanapun, Pesantren Ladang Lawas tidak mengadakan pengajaran ilmu-ilmu umum, sebagaimana yang dilakukan Syekh Abbas Abdullah di Padang Japang (Payakumbuh), Syekh Muhammad Thaib Umar (1874–1920) di Sungayang (Batusangkar), dan Syekh H Abdul Karim Amrullah (1879–1945) di Jambatan Besi (Padangpanjang). Lembaga ini tetap menggunakan kurikulum lama yang mementingkan kitab-kitab kuning, semisal Matan al-Jurumiyah, Matan Taqrib, atau Alfiyah. Dalam bidang fikih, sekolah yang didirikan Abbas Qadi itu juga mengajarkan kitab I’anatut Tholibin.
Di ponpes yang didirikannya itu, Inyiak Abbas mengajarkan ilmu fikih, tata bahasa Arab, balaghah, tauhid, tafsir Alquran, dan tasawuf. Mengenai pelajaran yang tersebut akhir itu, ia dikenal luas sebagai seorang ahli tarekat di Minangkabau pada masanya.

Menurut Ensiklopedi Islam, Pesantren Ladang Lawas termasuk dalam kelompok pesantren tarbiyah islamiyah, yang mulai populer di Bukittinggi pada akhir dekade 1920-an. Pemikiran yang berkembang di sana pun berbeda jauh dari kelompok muda yang diusung, antara lain, Haji Abdul Karim Amrullah—ayahanda Buya Hamka.
Kelompok Tarbiyah Islamiyah dikenal dengan julukan “Kaum Tua”, penganut Ahlusunah waljamaah dan bermazhab Syafi‘. Adapun lawannya, yakni “Kaum Muda”, cenderung berpandangan progresif dan membuka diri pada ijtihad. Pada akhirnya, golongan yang terakhir itu merintis perkembangan Persyarikatan Muhammadiyah di Sumatra Barat.
Murid-murid Inyiak Abbas Qadi Ladang Lawas cukup banyak dan sebagian menjadi tokoh atau agamawan terkenal. Salah seorang di antaranya adalah putranya sendiri, KH Siradjuddin Abbas. Ulama yang lalu menjadi menteri di pemerintahan RI tahun 1950-an itu ikut mendirikan Liga Muslimin Indonesia pada 30 Agustus 1952.
Murid-murid Inyiak Abbas Qadi Ladang Lawas cukup banyak dan sebagian menjadi tokoh atau agamawan terkenal.
Setelah diangkat menjadi kadi pada 1923, Inyiak Abbas tidak dapat melanjutkan kegiatannya sebagai pembina sekaligus guru di Pesantren Ladang Lawas. Sebab, jauhnya jarak antara sekolah itu dan tempatnya bekerja. Bagaimanapun, tidak sedikit muridnya yang tetap mendatanginya untuk belajar agama langsung kepadanya. Akhirnya, Abbas mendirikan Islamic College di Aur Tajungkang, Bukittinggi, dekat rumahnya pada 1924.
Walaupun menjabat kadi, Inyiak Abbas memiliki profil ulama pejuang. Pada akhir abad ke-19 M, Belanda memberlakukan kebijakan pungutan pajak dengan persentase yang tinggi atas rakyat. Puncaknya, pada 1908 pecahlah berbagai pemberontakan terhadap penguasa kolonial di Bukittinggi, Batusangkar, dan Agam. Abbas ikut bersama rakyat untuk berjuang melawan Belanda. Rezim lalu menangkap dan memenjarakannya selama delapan bulan.
Di bidang organisasi keislaman, nama Inyiak Abbas tercatat sebagai pendiri cabang Sarekat Islam di Agam pada 1912. Kira-kira enam tahun berikutnya, ia merintis cabang SI untuk seluruh Sumatra. Dalam masa itu, orang-orang menjulukinya “Inyiak Presiden” karena ketokohannya sebagai aktivis SI di ranah Minang. Pada 1922, dai ini diangkat menjadi ketua Persatuan Ulama Sumatra.
Di saat Syekh Abbas menjabat presiden Sarekat Islam Sumatera dan ketua Persatuan Ulama Sumatera, situasi daerah dalam keadaan gawat dan masyarakat selalu mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Dalam menjalankan kebijaksanaan politik untuk mengatasi pertumbuhan organisasi di Sumatera Barat, pemerintah kolonial mencoba mendekati ulama dan pemuka masyarakat. Dalam kaitan inilah Syekh Abbas Ladang Lawas diangkat menjadi kadi. Syekh Abbas menerima jabatan ini dengan tujuan agar ajaran agama Islam lebih dapat berperan pada tingkat peradilan.
Namun, penerimaan jabatan kadi tersebut menuai kontroversi di tengah umat. Mereka yang setuju memandang bahwa jabatan yang diemban Inyiak Abbas itu akan memudahkan para pemuka agama dalam berhubungan dengan pemerintah kolonial. Termasuk di antara kalangan yang mendukung dirinya itu adalah Syekh Sulaiman ar-Rasuli (1871–1970), pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Adapun kelompok yang tidak menyetujui sikap Inyiak Abbas berpendapat, sikap kompromistis dengan Belanda hanya akan merugikan umat Islam. Apalagi, dalam jabatannya sebagai kadi itu, Abbas dinilai akan “berjarak” dengan rakyat yang terus ditekan pemerintah kolonial dalam berbagai bidang kehidupan. Di antara mereka yang bersikap demikian adalah Syekh Cangking dan Syekh Sungai Landai, pengasuh Pesantren Sungai Landai.
Bagi Syekh Abbas sendiri, menerima jabatan kadi itu tidak berarti mendukung pemerintah kolonial.
Bagi Syekh Abbas sendiri, menerima jabatan kadi itu tidak berarti mendukung pemerintah kolonial. Sebaliknya, ia berikhtiar mempengaruhi peradilan Belanda dengan unsur agama Islam. Sekalipun demikian, banyak kawan seperjuangan yang lantas meninggalkannya, mencari jalan sendiri untuk berjuang melawan penjajah.
Selaku “Kaum Tua”, Inyiak Abbas Qadi Ladang Lawas sering berbeda pendapat dan terlibat polemik dengan “Kaum Muda”, termasuk muridnya sendiri, Syekh Ibrahim bin Musa Parabek. Hingga akhir hayatnya, ia terus berpegang pada pandangan ahlus sunnah wal jama’ah dengan bermazhab Syafi’iyah.
Percantik Ruangan Namun Berpotensi Menyimpan Penyakit
Karpet dapat memerangkap debu, kotoran, bulu hewan peliharaan, dan alergen.
SELENGKAPNYAAntisipasi Ancaman Krisis Air Bersih
Kemarau panjang yang terjadi di Tanah Air mulai berdampak terhadap ketersediaan air bersih.
SELENGKAPNYABelajar dari Kisah Hindun
Sosok Hindun bin Utbah me miliki peran besar dalam perkembangan Islam setelah menjadi se orang Muslimah.
SELENGKAPNYA