
Kisah Mancanegara
Warga Cina Bakal tak Bebas Berpakaian
Peraturan pakaian di Cina mengingatkan era Mao.
Oleh KAMRAN DIKARMA
Upaya Pemerintah Cina menegaskan identitas negara mereka memasuki babak baru. Beijing saat ini menyiapkan rancangan undang-undang (RUU) berisi larangan bagi masyarakat untuk berbicara dan berpakaian yang “merugikan spirit rakyat Cina” atau “melukai perasaan bangsa Cina”.
Jika RUU tersebut diratifikasi, pelaku pelanggaran dapat dihukum denda, bahkan penjara. RUU itu telah memicu perdebatan di Cina. Banyak warga menyuarakan kritik dan protes di media sosial atas RUU tersebut karena dianggap berlebihan serta tidak masuk akal. Dalam RUU dinyatakan bahwa orang yang mengenakan atau memaksa orang lain mengenakan pakaian dan simbol yang "merusak semangat atau melukai perasaan bangsa Cina" dapat ditahan hingga 15 hari serta didenda hingga 5.000 yuan.
Tak hanya masalah tata busana, RUU tersebut juga memperketat hak kebebasan berbicara warga Cina. Dalam RUU dinyatakan mereka yang membuat atau menyebarkan artikel atau pidato yang "merusak semangat atau melukai perasaan bangsa Cina" dapat ditahan hingga 15 hari serta didenda hingga 5.000 yuan.
Perubahan hukum yang diusulkan juga melarang “penghinaan, fitnah atau pelanggaran terhadap nama pahlawan dan martir setempat” serta vandalisme terhadap patung peringatan mereka. Di media sosial, masyarakat Cina mempertanyakan bagaimana aparat penegak hukum dapat secara sepihak menentukan kapan “perasaan” suatu negara “terluka”.

"Apakah mengenakan jas dan dasi akan dihitung (sebagai pelanggaran)? Marxisme berasal dari Barat. Apakah kehadirannya di Cina juga dianggap menyakiti perasaan nasional," kata salah seorang pengguna Weibo, platform media sosial mirip Twitter di Cina, dikutip laman BBC, Kamis (7/9/2023).
Sejumlah pakar hukum di Negeri Tirai Bambu juga mengkritik kalimat yang tidak jelas dalam RUU tersebut. Mereka menilai, jika disahkan, UU itu nantinya rawan disalahgunakan. “Bagaimana jika penegak hukum, biasanya petugas polisi, memiliki interpretasi pribadi atas rasa sakit hati tersebut dan memulai penilaian moral terhadap orang lain di luar cakupan hukum,” tulis Zhao Hong, seorang profesor hukum di Universitas Ilmu Politik dan Hukum Cina dalam sebuah artikel yang dirilis pada Rabu (6/9/2023) lalu.
Menurut Zhao, kurangnya kejelasan dalam RUU dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak pribadi. Dia mengutip satu kasus yang sempat menjadi berita utama di Cina tahun lalu. Kala itu seorang wanita berkimono ditahan di kota Suzhou. Dia dituduh "menimbulkan pertikaian dan memprovokasi masalah" karena mengenakan pakaian Jepang. Insiden itu memicu kemarahan di media sosial Cina.
“Mengenakan kimono berarti melukai perasaan bangsa Cina, memakan makanan Jepang berarti membahayakan semangatnya? Kapan perasaan dan semangat bangsa Cina yang telah teruji oleh waktu menjadi begitu rapuh?” tulis seorang komentator sosial online populer, yang menulis dengan nama pena Wang Wusi.
Pada Maret lalu, polisi Cina juga pernah menahan seorang wanita yang mengenakan replika seragan militer Jepang di pasar malam.

Upaya standardisasi pakaian ini bukannya tak punya preseden di Cina. Encyclopedia.com melansir, pengikut partai komunis yang berkuasa di Cina pada 1949 bangga mengenakan seragam standar yang tidak menunjukkan perbedaan pangkat atau jenis kelamin. Foto-foto para pemimpin Komunis dari awal tahun 1940-an menunjukkan mereka mengenakan kemeja sederhana, celana panjang, dan topi berbahan kain bergaya militer.
Revolusi Cina yang dipimpin Mao Zedong pada tahun 1949 merupakan pergolakan sosial dan politik yang meluas. Hampir dalam semalam, hal ini mengubah gaya hidup dan pakaian masyarakat bahkan di desa-desa paling terpencil di Cina. Begitu pasukan Komunis didirikan di kota-kota, mereka mengirimkan administrator untuk menerbitkan seragam bagi para pekerja di berbagai industri.
Pekerja pabrik dan teknisi diberikan seragam kain katun biru tua yang hampir identik dengan seragam standar militer Komunis berwarna hijau. Pekerja administrasi dan administrasi mengenakan pakaian yang sama dalam versi abu-abu. Pria dan wanita mengenakan pakaian yang persis sama. Tak lama kemudian, cengkeraman Partai Komunis terhadap negara dan fesyennya sudah aman.
Pakaian Cina dengan cepat menjadi standar. Meskipun tidak ada perintah langsung yang dikeluarkan, secara umum dipahami bahwa berpakaian modis bukanlah tindakan patriotik. Orang-orang yang mengenakan pakaian katun biru atau abu-abu, dengan bantalan untuk pakaian musim dingin, dan pakaian yang terbuat dari kain mahal tidak disarankan.

Setelan gaya Barat menghilang hampir dalam semalam, digantikan oleh setelan tunik Cina berwarna abu-abu. Para wanita menanggalkan stoking sutra dan sepatu hak tinggi mereka yang bergaya dan malah mengenakan pakaian paling lusuh. Kosmetik dan perhiasan menghilang dari pandangan. Mereka yang menolak untuk mematuhi gaya baru ini akan mendapat teguran publik atau ceramah dari salah satu pejabat Partai Komunis setempat.
Pakaian Cina juga dipengaruhi oleh negara Komunis besar lainnya, Uni Soviet. Wanita mengenakan setelan Lenin modis yang dikenakan oleh pemimpin Soviet Vladimir Lenin (1870–1924), kombinasi jaket dan celana panjang dengan kerah besar yang diturunkan, kancing samping, dan saku samping.
Namun, orang yang paling berpengaruh terhadap pakaian di Tiongkok Komunis adalah ketua Partai Komunis dan pemimpin tertinggi Mao Zedong (1893–1976). Sejak awal masa kekuasaannya, ia menyadari kekuatan pakaian dalam menampilkan identitas nasional bersama. Jaket pekerja tak berbentuk dengan empat saku yang disukainya menjadi pakaian dominan pria dan wanita Tiongkok dari 1950-an hingga 1970-an. Dijuluki "setelan Mao" di Barat, namun sempat mendapat dukungan di kalangan radikal politik di Eropa dan Amerika Serikat.

Pemberontakan terhadap standar berpakaian klasik ini disebut salah satu yang jadi pendorong anak-anak muda menuntut demokrasi dan keleluasaan melalui aksi di Lapangan Tiananmen, Beijing, pada Juni 1989 silam. Kala itu, militer menindak para pengunjuk rasa dengan brutal dengan jumlah korban tewas simpang siur. Namun, selepas unjuk rasa itu, pimpinan Partai Komunis menyadari perlunya keterbukaan di Cina.
Hal ini memicu insutrialisasi Cina yang membuat negara itu jadi salah satu dengan ekonomi terkuat di dunia. Perekonomian Cina ditopang industri-industri di segala bidang, tetapi salah satu yang paling utama adalah tekstil. Akan menjadi ironis saat warga Cina yang memroduksi berbagai jenis pakaian dan mengekspornya ke seluruh dunia diatur-atur cara berpakaiannya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Peta Cina Serobot Wilayah RI, Bagaimana Sikap Negara?
India, Taiwan, Malaysia, dan Filipina mengecam peta baru Cina.
SELENGKAPNYAKorea dan Cina Ogah Makan Boga Bahari dari Jepang
Jepang memulai pembuangan air radioaktif kemarin.
SELENGKAPNYACina Diamuk Hujan Terlebat Abad Ini
Sedikitnya 20 orang meninggal akibat badai di Cina.
SELENGKAPNYA