
Safari
Pacitan Kota Purba ‘Metropolitan’
Manusia purbakala Pacitan mampu melewati ragam masa kehidupan.
Siapa yang menyangka, daerah tandus di selatan Provinsi Jawa Timur (Jatim) ini pada zaman dahulu pernah menjadi sentra pusat peradaban manusia? Tepatnya mulai 250 ribu tahun lalu bahkan ada dugaan lebih jauh dari itu.
Manusia-manusia purba Pacitan yang hidup pada era Paleolitikum atau zaman batu tua itu mampu bertahan melewati ragam masa kehidupan. Mulai dari Paleolitikum, lanjut ke Mesolitikum atau zaman batu tengah, hingga ke Neolitikum alias era batu muda pada tahun 2000 sebelum masehi (SM).
“Spesies manusia purba yang hidup pada masa itu tergolong dalam Homo Erectus, dengan nama Pithecanthropus Erectus,” kata Rudiansyah, staf kebudayaan Geopark Pacitan.
Rudi, demikian ia disapa, berujar, pada masa bebatuan tersebut, ditemukan kecocokan ciri-ciri setiap era yang ada dengan jenis batu perkakas penunjang kehidupan manusia purba di Pacitan. Seperti batu serpih dan kapak perimbas dari era Paleolitikum. Kedua alat ini diyakini sebagai alat potong pertama yang dibuat manusia dari bebatuan. Bentuknya pipih sederhana dengan gerigi di salah satu sisinya.

Bagian yang tak bergerigi digunakan sebagai pegangan. Ukurannya bermacam-macam, mulai dari sekepalan jari bayi hingga sebesar telapak tangan orang dewasa. Kapak perimbas sesuai namanya berbentuk besar dengan fungsi sebagai pemotong benda lebih alot, seperti kulit binatang.
Manusia purba Pacitan juga mampu maju ke masa selanjutnya, Mesolitikum, dengan bukti pembuatan kapak genggam hingga anak panah. Memasuki era Neolitikum, kehidupan manusia purba di Pacitan kian maju dengan mampu membuat alat pemotong lonjong runcing yang semakin berbentuk sempurna layaknya kapak modern tanpa pegangan. Namun, tentunya semua terbuat bukan dari logam, melainkan dari bebatuan yang juga tidak melalui proses pengasahan.
Umumnya manusia purbakala di Pacitan sudah tergolong cerdas dengan volume otak mencapai 1350 cc. Mereka hidup berburu dan mengambil makanan dari tumbuhan, tapi belum bercocok tanam. Hasil buruan dan kumpulan tumbuhan yang didapat lantas dibersihkan di gua-gua lain di luar “rumah” mereka. Ini dibuktikan, kata Rudi, dengan penemuan bengkel peralatan perkakas manusia purba yang terpisah dari gua tempat tinggal. Seperti di Gua Tabuhan yang diduga menjadi bengkel tempat menaruh peralatan hidup mereka.
“Pithecanthropus erectus hidup berkoloni dengan anggota puluhan orang, mereka hidup nomaden berpindah dari satu hutan ke hutan lain, gua ke gua lain membawa alat-alat penunjang hidup ini,” kata Rudi.

Rudi mengatakan, wajar kiranya manusia purba di daratan Jawa bagian selatan banyak memilih tinggal di Pacitan. Selain ditunjang dengan hutan yang penuh makanan, diketahui, deretan bukit bagian dari Gunung Sewu yang membentang dari Gunung Kidul, Kebumen, Wonogiri, hingga Pacitan juga menyediakan “rumah” bagi mereka.
Rumah-rumah tersebut adalah gua yang sampai saat ini tercatat ada 400 jumlahnya di bentang Gunung Sewu sepanjang 1.400 meter itu. Sejumlah gua dengan stalaktit dan stalagmit yang tak terlalu padat menjadi favorit koloni manusia purba bermukim.
Seperti yang paling mencuri perhatian adalah Song (gua) Terus. Gua yang letaknya hanya satu kilometer dari Gua Tabuhan ini menyimpan puluhan hingga ratusan fosil manusia purba beserta perkakas-perkakas penunjang hidupnya.
Sayang, ketika saya berburu fakta sejarah purba ke Song Terus, lokasi tersebut wajib steril dari sentuhan pihak luar. Diingatkan, hanya para peneliti berizin yang boleh memasuki gua yang didalamnya tertanam lebih dari 70 ribu penemuan prasejarah ini. Alasannya, keamanan menjadi faktor utama yang perlu diperhatikan.

Tak tanggung-tanggung, eksklusivitas Song Terus ini terbangun atas kerja sama Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional dengan Museum National d'Histoire NaturÃlle Paris, Prancis. Menurut Rudi, ia yang menggilai dunia arkeologi dan geologi ini sudah tak tahan untuk menunggu Song Terus dibuka untuk umum. Dia mengaku sempat menggali informasi di gua berbahaya yang kini dipenuhi lubang penelitian sedalam belasan meter itu.
Setidaknya, disinyalir telah ada peradaban di Pacitan sejak 300 ribu tahun lalu. Hal itu dapat terlihat dari hasil penelitian awal yang menyebut Lapisan Terus tempat fosil tertanam di sana sudah berumur 300.000 SM sampai 80 SM.
Beberapa fosil yang dipamerkan di gedung Geopark Pacitan ini pun menyimpan koleksi hasil penemuan dari Song Terus. Satu di antaranya yang paling harum di kalangan arkeolog dan geolog adalah kerangka manusia purba berumur 10 ribu tahun.
Sosok manusia purba yang berasal dari era praneolitikum itu ditemukan pada 1999 silam. Warga sekitar serta para arkeolog dan geolog menamai kerangka utuh tersebut dengan panggilan Mbah Sayem. “Gua-gua di Pacitan belum tereksplorasi semua, dengan dugaan ‘Purba Metropolitan’, tampaknya tidak salah kalau di sini banyak ditemukan sisa-sisa peradaban yang sangat purba,” katanya.

Pacitanian...
Dengan ragam fakta dan informasi majunya kehidupan purba di Pacitan, dikenallah istilah Pacitanian di dunia pencinta sejarah purbakala. Pacitanian berarti kebudayaan Pacitan telah diakui dunia sebagai peradaban purba yang maju dan penuh dengan penemuan rupa-rupa perkakas penunjang hidup.
Dibanding peradaban lainnya di Indonesia bahkan Asia Tenggara, para peneliti sepakat bahwa Pacitan selain menyimpan keindahan di bentangan karst dan gua-guanya, juga pernah muncul kehidupan maju melampaui zamannya.
“Atas semua kekayaan ini, kami sedang ajukan Pacitan sebagai kawasan geopark dunia ke UNESCO, tapi belum gol-gol. Akses menuju Pacitanlah yang menjadi kendala paling utama,” kata Kepala Dinas Pariwisata Kuningan Wasi Paryitno.
Menyantap Kuliner Purba
Ada satu penganan asal Pacitan yang cocok dengan nuansa jelajah purba kali ini, namanya kalakan. Kuliner khas asli Pacitan yang menggugah selera itu saya temukan di Warung Makan Bu Gandos. Lokasinya di sebelah kiri, satu kilometer sebelum pintu masuk Pacitan.

Pada pagi hari, kedai lesehan dengan belasan meja ini masih sepi. Saya dan tiga orang rekan langsung memesan kalakan. Sekitar 10 menit semangkuk kalakan panas hadir bersama dengan nasi sebagai makanan utama.
Kuliner berkuah kuning kental ini sejatinya adalah sop ikan dengan dua keunikan. Pertama, ikan yang dijadikan daging sopnya terlebih dulu dibakar hingga matang sebelum disajikan di dalam kuah. Kedua, daging fauna laut yang diceburkan dalam kuah itu bukanlah daging ikan sembarangan.
Ikan hiu dipilih warga Pacitan dalam memasak kalakan yang telah menjelma sebagai penganan rumahan ini. Ikan hiu adalah jenis fauna yang sudah ada sejak masa nirleka. Sejarah mengatakan, Hiu bahkan pernah hidup bersama dengan dinosaurus saat dunia memasuki masa Jura.
Daging hiu pada kalakan berasal dari jenis pari yang tidak dilindungi negara. Penggunaan daging hewan purba ini membuat Pacitan semakin meneguhkan posisinya sebagai tempat wisata purbakala dengan menyediakan kuliner yang juga berbahan baku utama berasal dari masa lampau.

Tampilan kuliner kalakan membuat liur di lidah meleleh saat menatapnya. Kentalnya kuah terlihat dari gundukan lemak ikan yang mengapung. Irisan-irisan daging ikan hiu bakar sebesar dadu terlihat kering di luar namun lembut di dalam. Taburan bawang goreng semakin membuat tangan ingin cepat mengambil sendok dan garpu.
Tak tercium aroma amis atau anyir dari ikan yang berwarna putih serat cokelat kehitaman di dalam kalakan ini. Di seruputan kuah pertama, saya mendapatkan sensasi hampir sama dengan gulai ikan pada umumnya. Akan tetapi, saat menggigit daging hiu yang padat berisi ini, terasa gigitan yang kenyal tapi lembut di gigi. Disatukan dengan sepiring nasi, saya terus melahap sambil menambahkan sambal beberapa sendok untuk semakin meningkatkan selera.
Bu Gandos mengaku sudah menjual kalakan sejak 2000. Ia belajar membuat kalakan dari orang tuanya yang sudah turun temurun menyajikan kuliner ini di rumah. Dengan banderol harga Rp 15 ribu, wanita 41 tahun ini mengaku bisa menghabiskan 1 kuintal daging hiu dalam satu minggu.
“Ini enak karena hiu dagingnya padat pak, dibakar juga tidak terlalu lama dan diberi bumbu rahasia, hasil gurih bakarannya disiram kuah jadinya lezat,” ujar wanita berkerudung ini ramah.
Disadur dari Harian Republika edisi 25 Januari 2015 dengan reportase oleh Gilang Akbar Prambadi dan foto-foto oleh Prayogi.
Biting Sejarah Majapahit yang Terlupakan di Lumajang
Situs Biting diyakini merupakan awal keberadaan Kerajaan Lamajang Tigang Juru.
SELENGKAPNYADesa Elok Cikal Bakal Lumajang
Desa Kloposawit tempat cantik yang paling mengesankan kami di Lumajang.
SELENGKAPNYAMelestarikan Keris di Lumajang
Ada beberapa model keris yang merupakan peninggalan leluhur dari para penghuni Majapahit.
SELENGKAPNYA