Pesantren di Betawi | Dok Republika

Newswrap

Jihad Literasi Ala Pesantren dengan Turos

Ngaji kitab ala pesantren merupakan strategi dasar literasi

Oleh Mukti Ali Qusyairi

Alumnus Pesantren Lirboyo Kediri dan Ketua LBM PWNU DKI Jakarta

 

Di antara tradisi belajar di pesantren salaf-tradisional Lirboyo dan mungkin juga pesantren yang lain adalah menyalin teks kitab dengan menggunakan tulisan tangan para santri masing-masing dan membubuhi makna berbaris utawi-iki-iku.

Penulis pun pun menyalinnya ketika mesantren. Teks-teks kitab yang disalin kebanyakan dalam kategori kitab ilmu piranti (alat) nahwu-sharaf, seperti Jurumiyah, Qawa'id al-Sharfiyah, al-'Imrithi, Alfiyah Ibnu Malik. Selain itu, kitab ilmu mantik (logika) seperti kitab Sulam al-Munawaraq, kitab ushul fikih seperti kitab Tashil at-Thuruqat, serta ilmu hadis seperti Nadzham al-Baiquniyah.

Penulisan kitab ini menggunakan tinta Cina dicampur ares (batang pohon pisang bagian dalam berwarna putih susu setelah dikelupas lapisan-lapisan batangnya) yang sudah dikeringkan dan diurai seperti benang.

Mengapa disebut tinta Cina? Sebab, dalam bungkusnya terdapat tulisan Cina. Sebelum tahun '95, tinta Cina dalam bentuk batangan dicairkan dengan digosok-gosokkan di piring sembari diberi air secukupnya agar tinta batangan bisa lumer membaur bersama air.

Setelah '95, sudah dijual versi tinta cairnya sehingga ada dua pilihan, yakni versi batangan dan versi cair, meski batangan lebih murah. Tinta dan ares dimasukkan ke dalam boks tinta yang terbuat dari kuningan segenggam atau sekepalan tangan.

Penanya disebut pentul yang kepalanya terbuat dari besi dalam bentuk miring yang dimasukkan ke gagang terbuat dari kayu yang ringan. Cara menggunakannya adalah dicelupkan ke dalam boks tinta tersebut.

Setelah dicelupkan, baru pentul digoreskan ke atas kertas buku. Satu boks tinta bisa digunakan untuk menulis ratusan halaman.

Mengapa disebut pentul? Sebab, praktiknya pulpen itu digunakan dengan mencelupkan ujung kepalanya dengan satu colekan sedikit dan cepat ke dalam tinta yang ada di boks, yang disebut dalam bahasa Jawa ditutul atau ditul.

Pentul sebagai salah satu alat tulis yang sangat ekonomis tetapi menghasilkan goresan yang jelas, punya daya tahan yang kuat, dan bernilai seni. Berdasarkan tradisi santri Lirboyo pada masa penulis, banyak yang lebih suka menggunakan pulpen Rotring.

Jadi, teks dasar ditulis dengan pentul, sedangkan makna kata per kata atau arti berbaris plus tarkib (kedudukan kalimat dan tanda baca) ditulis dengan pulpen Rotring. Syahdan, pulpen ini umunnya digunakan seorang arsitektur. Karena itu, harganya tinggi.

Dahulu, seingat penulis, pulpen Rotring harganya mencapai Rp 40 ribu saat pulpen lain masih sekitar Rp 100 atau Rp 200. Biasanya, Rotring dibeli pada awal tahun, ketika masih ada perbekalan yang agak sedikit lumayan.

Namun, biasanya santri baru belum tahu Rotring sehingga menggunakan pulpen biasa. Setelah melihat seniornya banyak yang menggunakan Rotring, santri baru akhirnya ikut.

Kepala Rotring sangat kecil yang di dalamnya terdapat jarum kecil bagaikan rambut. sehingga menghasilkan goresan yang kecil, cocok untuk menulis makna, tidak memakan ruang yang lebar, dan memiliki kekuatan tinta yang luar biasa. Tentu, tak semua santri menggunakan Rotring. Sebagian menggunakan pulpen biasa.

Dalam bentuk penulisan atau khat terjadi dinamika. Penulis melihat, saat di ibtidaiyah jauh berbeda dengan khat di tsanawiyah. Tentu saja setiap kita banyak latihan maka kualitas khat kita mengalami kemajuan, demikian pula sebaliknya.

Di Lirboyo, ada keharusan setiap tulisan dan makna mesti komplet, tak boleh kosong. Per enam bulan menjelang ujian semester ganjil dan genap, ada pemeriksaan tulisan dan makna. Menjelang pemeriksaan, santri sibuk menambal makna dan tulisan yang kosong.

Langkah itu diistilahkan dengan nembel. Jika tidak ada yang kosong sama sekali disebut tam. Jika musim nembel tiba, santri riuh menembel bersama teman-temannya. Ada yang memilih nembel di serambi masjid, bilik, bahkan di warung serta di pematang sawah.

Jika nembel makna, biasanya ada teman yang membantu membacakan dan yang lain menuliskan di kitabnya sendiri, bergantian. Dilarang ditembelkan dengan tulisan orang lain. Harus nembel dengan tulisan asli miliknya sendiri.

Biasanya juga ada yang nembel berjamaah, berkerumun, sambil ngopi atau ngeteh bareng. Teh atau kopinya ditaruh di gayung. Santri membawa boks tinta masing-masing. Namun, jika ada yang kehabisan tinta, dia bisa menutul ke boks tinta temannya.

Sempurnanya tulisan dan makna sebagai syarat mutlak bagi santri yang ingin ikut ujian semester. Jika ada santri yang tulisan atau maknanya kosong di beberapa halama, ia tidak bisa ikut ujian semester alias ujian ulang.

Ciri kitab dan tulisan yang tam adalah ada stempel tim koreksi kitab dan buku, yang berwarna tinta merah, yang bertulis "Lajnah Taftisy al-Kutub ad-Dirasiyah".

Hawamisy

Penulis suka mencatat keterangan penting yang dikutip dari kitab-kitab lain yang ditulis di samping atas-bawah matan atau samping kanan-kiri matan, sebuah keterangan pendukung dan memperkaya wawasan yang terdapat di dalam teks matan.

Bisa juga mecatat keterangan kiai kami, menulis bagan penjelasan agar mudah untuk memahami teks atau terkadang doa-doa dan nasihat baik. Catatan pinggir ini disebut oleh kitab kuning dengan nama hawamisy.

Hawamisy ini terkadang saya tulis dalam bentuk teks Arab, tetapi terkadang dalam bentuk latin. Kebiasaan lainnya adalah mencatat keterangan-keterangan kitab yang penting, menarik, dan relevan, disebut dengan 'ibarat.

Dahulu, penulis suka membaca kitab di perpustakaan pesantren. Biasanya membaca dari pukul 24.00 sampai pukul 04.30 WIB. Sebab, koleksi kitabnya lumayan banyak, khususnya kitab-kitab yang 10 jilid ke atas.

Ketika menemukan keterangan yang menarik, penulis langsung menuliskannya di buku, lalu lanjut membacanya. Jika ada keterangan menarik lainnya, dicatat lagi. Terkadang, penulis bersama teman kelas mencari 'ibarat untuk jawaban bahtsul masail.

Tidak berlebihan, boleh dibilang ini satu gambaran kecil dari sebuah pengalaman jihad literasi dunia pesantren.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat