
Kitab
Belajar dari Kebijaksanaan Ulama-Umara
Buku ini berupaya membedah contoh-contoh kecerdasan kaum alim dan kepiawaian pemimpin.
Buku Dzaka-u al-Fuqaha wa Daha-u al-Khulafa merangkum pelbagai kisah kecerdasan umara dan ulama dalam peradaban Islam. Karya Syekh Muhammad Khubairi itu menunjukkan, kolaborasi yang apik antara kaum pemimpin dan ahli ilmu dapat menghasilkan keuntungan bagi kaum Muslimin seluruhnya. Yang satu dapat menegakkan keadilan dengan kekuasaan, sedangkan yang lain membela kebenaran dengan ilmunya.
Buku ini terdiri atas 10 bab. Masing-masing bagian itu membicarakan topik firasat serta jawaban-jawaban cerdas dan bermakna ganda. Di dalamnya, terdapat pembahasan mengenai kecerdasan sejumlah tokoh, semisal Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan para imam besar. Tidak hanya mengulas kehebatan kaum umara dan ulama, kitab tersebut juga menampilkan dialog dan debat yang dilakukan para cerdik cendekia.
Dalam membahas perkara firasat, Syekh Muhammad Khubairi menukil pendapat Abdullah bin Mas’ud yang menyatakan, ada tiga orang yang memiliki firasat tertajam. Mereka adalah istri Firaun, seorang pembesar Mesir al-Aziz, dan Abu Bakar ash-Shiddiq. Yang pertama itu merupakan seorang wanita yang menyelamatkan Nabi Musa AS dengan meyakinkan suaminya bahwa bayi laki-laki itu adalah penyejuk mata (qurrata a’yun).
“Dan berkatalah istri Firaun, ‘(Dia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak,’ sedangkan mereka tiada menyadari” (QS al-Qashash: 9).
Adapun al-Aziz menyelamatkan Nabi Yusuf AS yang masih remaja sesudah putra Nabi Ya’qub AS itu mengalami pembuangan oleh saudara-saudaranya. “Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya, ‘Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi ia bermanfaat bagi kita atau kita pungut ia sebagai anak’” (QS Yusuf: 21). Sementara itu, Abu Bakar menunjukkan kuat firasatnya tatkala mengangkat Umar bin Khattab sebagai amirul mukminin sesudah dirinya.
Syekh Khubairi menambahkan, ada berbagai kisah dalam Alquran yang memperlihatkan kekuatan firasat. Misalnya, sewaktu Nabi Yusuf difitnah telah berbuat keji terhadap istri pembesar Mesir. Seorang penasihat kerajaan lalu memberi tahu bahwa apabila baju Nabi Yusuf robek di bagian belakang, maka pernyataan pemuda Bani Israil itu benar adanya.
“Maka ketika ia (suami perempuan itu) melihat baju gamisnya (Yusuf) koyak di bagian belakang, ia berkata, ‘Sesungguhnya ini adalah tipu dayamu (wahai perempuan). Tipu dayamu benar-benar hebat’” (QS Yusuf: 28).
Firasat adalah kecakapan untuk mengetahui sesuatu dengan melihat suatu keadaan atau gelagat.
Secara kebahasaan, firasat adalah kecakapan untuk mengetahui sesuatu dengan melihat suatu keadaan atau gelagat. Dalam Alquran, Allah memuji orang-orang yang berfirasat tajam. Kemampuan mereka itu adalah salah satu tanda kekuasaan-Nya. Rasulullah SAW bersabda, “Takutlah kamu terhadap firasat orang yang beriman. Sungguh, ia melihat dengan cahaya Allah.”
Syekh Khubairi menyebutkan Utsman bin Affan sebagai seorang sahabat Nabi SAW yang berfirasat kuat. Sebagai seorang pemimpin dan sekaligus alim, kekuatan firasat itu pun didayagunakannya.
Dikisahkan, pada suatu ketika sang Dzan Nurain (Pemilik Dua Cahaya) kedatangan beberapa tamu. Sesudah menerima salam mereka, ia berkata, “Ada salah seorang dari kalian yang datang kepadaku di mana pada kedua matanya terdapat dosa zina.”
Kemudian, seseorang dari mereka mengaku. Sebelum tiba di rumah sang amirul mukminin, ia menatap lama seorang wanita. Orang itu pun berkata, “Apakah wahyu turun sesudah Rasulullah SAW wafat?” Utsman menjawab, “Tidak. Hanya ini adalah suatu firasat yang benar.”
Dengan firasatnya pula, Utsman memilih untuk tetap berada di dalam kediamannya ketika huru-hara terjadi. Ia menahan diri agar tidak terjadi peperangan di antara sesama Muslimin. Menantu Nabi SAW itu lebih suka dirinya yang terbunuh, dan jangan sampai ada seorang Mukmin yang darahnya tertumpah.
Bukan kebohongan
Islam melarang perkataan dusta kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu, semisal melindungi seorang yang tidak bersalah dari kejaran orang jahat. Bagaimanapun, ada suatu tindakan yang lebih memerlukan ketajaman akal ketimbang berbohong, yakni bersiasat. Taktik itu dilakukan hanya melalui kata-kata, yang dapat membuat lawan bicara memahami sesuatu secara berbeda.
Dalam buku ini, Syekh Khubairi mengisahkan kepandaian Abu Bakar dalam membuat siasat. Ketika itu, ayahanda Ummul Mu`minin ‘Aisyah tersebut sedang menemani Nabi Muhammad SAW berhijrah. Perjalanan dari Makkah ke Madinah—dahulu bernama Yastrib—sangat berisiko. Orang-orang yang mengetahui bahwa Quraisy mengincar Rasulullah SAW berupaya memantau atau memata-matai beliau.
Saat sedang beristirahat, Abu Bakar tiba-tiba didatangi seorang pria. Laki-laki itu tanpa basa-basi bertanya kepadanya sembari menunjuk Nabi SAW, “Siapakah dia?”
Dengan tenang, Abu Bakar menjawab, “Dia adalah al-hadi yang menunjukkan jalan kepadaku.” Mendengar jawaban itu, pria tersebut kembali menaiki kudanya dan beranjak pergi.
Sahabat Rasul SAW itu tidak berbohong, melainkan bersiasat. Yang dimaksudkannya adalah, Nabi SAW adalah pemberi petunjuk (al-hadi) menuju jalan kebenaran dan istiqamah. Sementara itu, yang dipahami mata-mata tersebut adalah bahwa lelaki yang membersamai Abu Bakar adalah sekadar penunjuk jalan.

Syekh Khubairi menuturkan cerita lainnya, yakni mengenai Imam Syafii. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, periode Mihnah pernah terjadi. Kata mihnah berakar dari mahana, yumhinu. Artinya, ‘cobaan’, ‘ujian’, atau ‘bala.’
Dalam fase tersebut, kalangan penguasa yang fanatik terhadap pemikiran Mu’tazilah melakukan berbagai persekusi. Sasarannya adalah kaum ulama yang tidak sejalan dengan aliran tersebut. Salah satu pokok pembeda kala itu adalah dukungan atau penolakan terhadap status “makhluk” pada Alquran.
Suatu hari, Khalifah memanggil Imam Syafii. Penguasa langsung menginterogasinya, “Menurut Tuan, apakah Alquran adalah makhluk?” Sang fakih menjawabnya sambil menunjukkan jari telunjuk, “Ia adalah makhluk.” Maka selamatlah ulama itu dari siksaan.
Ketika pulang, orang-orang bertanya dengan nada kecewa, “Mengapa engkau menyatakan bahwa Alquran adalah makhluk? Padahal kami menyangka engkau akan menegaskan bahwa Alquran adalah Kalamullah.”
“Aku tidak mengatakan kepada Khalifah bahwa Alquran adalah makhluk. Aku mengacungkan jari telunjuk, lalu aku berkata, ia (jari) adalah makhluk,” terang Imam Syafii.
Rupanya, ada seseorang yang dengki terhadapnya sehingga melaporkan keterangan itu kepada Khalifah. Sang alim pun kembali dipanggil ke Istana. “Bagaimana pendapatmu, apakah Alquran makhluk atau bukan?” tanya sang raja.
Imam Syafii pun menyebutkan satu persatu empat kitab suci yang pernah diturunkan Allah sembari berisyarat dengan keempat jarinya. “Zabur, Taurat, Injil, dan Alquran. Empat ini adalah makhluk,” katanya. Mendengar itu, Khalifah merasa puas sehingga membiarkannya pulang. Padahal, yang dimaksudkan sang imam dengan “empat ini” adalah empat jarinya sendiri.
Karya Syekh Khubairi ini dengan bernas merangkum kisah-kisah yang menarik perihal kebolehan para umara dan ulama dalam mengatasi persoalan. Dengan membacanya, insya Allah Anda semakin mengagumi kolaborasi keduanya demi kemaslahatan umat.
DATA BUKU
Judul: Dzaka-u al-Fuqaha wa Daha-u al-Khulafa (terjemahan bahasa Indonesia: Kecerdasan Fuqaha & Kecerdikan Khulafa)
Penulis: Syekh Muhammad Khubairi
Penerjemah: Nabhani Idris
Penerbit: Pustaka al-Kautsar
Tebal: xix + 252 halaman
Al-Biruni, Sang Perintis Indologi
Indologi, studi mengenai India, dirintis oleh ilmuwan Muslim bernama al-Biruni.
SELENGKAPNYAKisah di Balik Peta Tabula Rogeriana
Tabula Rogeriana merupakan sebuah peta dunia karya al-Idrisi, ilmuwan Muslim abad ke-12.
SELENGKAPNYAMengenal Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah
Syekh Bahauddin al-Bukhari an-Naqsyaband mengalami berbagai kejadian luar biasa sebelum menjadi pendiri sebuah tarekat.
SELENGKAPNYA