Tujuan Pembangunan Berkelanjutan | Bappenas

Iqtishodia

Ketimpangan Pembangunan Berkelanjutan G-20 dan Konsekuensinya Bagi Indonesia

Produktivitas SDM di negara berkembang belum mampu mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan.

OLEH Fathya Dhiya Ulhaq (mahasiswa program magister ilmu ekonomi  FEM IPB); Dr. Widyastutik, Dr. Deniey A Purwanto (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB)


Pencapaian pembangunan berkelanjutan menjadi isu yang hangat di dunia internasional, termasuk negara-negara yang tergabung dalam G-20. Lahirnya konsep pembangunan berkelanjutan sendiri sejatinya diawali dengan kepedulian yang besar terhadap keberlanjutan lingkungan.

Permasalahan terkait perubahan iklim akibat penggunaan bahan bakar fosil serta semakin memburuknya kualitas lingkungan hidup membuat konsep pembangunan berkelanjutan memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi global. Praktik-praktik pembangunan berkelanjutan memungkinkan berlangsungnya aktivitas-aktivitas ekonomi yang berorientasi pada keberlangsungan dan keberlanjutan sumber daya ekonomi, tidak saja untuk generasi saat ini, namun juga generasi yang akan datang. 

Praktik-praktik pembangunan berkelanjutan telah dilakukan oleh beberapa negara, termasuk di negara-negara G-20, baik negara maju seperti Jerman dan Italia maupun negara berkembang seperti Indonesia dan Afrika. Salah satunya adalah komitmen bersama untuk dapat mencapai Net Zero Emission.

Hal itu salah satunya diupayakan melalui kebijakan transmisi energi kepada Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti mempromosikan pembangkit listrik tenaga surya, tenaga angin, dan sebagainya. Selain itu, negara-negara G-20 memiliki komitmen bersama untuk mempromosikan transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau yang didorong oleh menumbuhkembangkan usaha yang ramah lingkungan melalui investasi yang berorientasi pada bisnis hijau. Di Indonesia, misalnya, inisiasi praktik pembangunan berkelanjutan pun dilakukan Indonesia dalam bidang pengembangan bisnis UMKM.

photo
Warga melintas menggunakan kendaraan roda dua di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Jeneponto dengan latar suasana matahari tenggelam (sunset) di Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Rabu (23/10/2019). Lokasi PLTB Jeneponto tersebut menjadi salah satu tempat favorit warga setempat untuk menikmati matahari tenggelam. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/aww. - (ABRIAWAN ABHE/ANTARA FOTO)

Praktek bisnis yang mengembangkan prinsip green process dan green output di dalamnya dapat mencapai tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Di Indonesia, potensi UMKM hijau di Indonesia cukup tinggi bahkan sudah berorientasi kepada ekspor.

Dalam konteks G-20, optimalisasi pembangunan berkelanjutan menghadapi tantangan utama yang perlu segera ditangani dan diperhatikan semua negara anggota, yaitu ketimpangan pencapaian pembangunan berkelanjutan antar negara. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan pencapaian Indeks Pembangunan Berkelanjutan di negara-negara G-20.

Di angka indeks 70 persen ke atas, terpolarisasi negara-negara maju G-20. Sementara negara-negara berkembang G-20 terpolarisasi di bawah angka indeks 70. Walaupun tak dapat dimungkiri, semua negara menunjukkan dinamika yang terus meningkat dan menuju pembangunan berkelanjutan yang lebih baik.

Di satu sisi, adanya negara maju dan negara berkembang sebagai anggota G-20 memiliki konsekuensi disparitas sumber daya yang dimiliki dalam mengupayakan pembangunan berkelanjutan. Di sisi lain, disparitas sumber daya ini juga menjadi potensi untuk optimalisasi kerja sama-kerja sama antar negara dalam mengupayakan pembangunan berkelanjutan. 

Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang krusial dalam mengupayakan percepatan dan pemerataan pembangunan berkelanjutan, terutama untuk mengatasi kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang anggota G-20. Analisis kami mengidentifikasi setidaknya ada tiga faktor penentu dalam optimalisasi pembangunan berkelanjutan.

photo
Foto udara suasana Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Pulau Kodingareng, Kecamatan Sangkarrang, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (15/12/2022). - (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Faktor pertama, pembentukan modal atau investasi. Pembentukan modal terbukti memainkan peranan penting baik bagi negara maju maupun negara berkembang, namun dalam konteks yang berbeda. Di negara-negara maju G-20 (Autralia, Kanada, Cina, Rusia, Perancis, Italia, Jerman, Jepang, Korea Selatan, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat) terbukti bahwa dalam jangka panjang, pembentukan modal telah berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.

Hal itu dapat dilihat dengan telah banyak berkembangnya investasi hijau baik dari sisi sistem maupun kelembagaan. Namun, hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi di negara-negara berkembang G-20 (Indonesia, Afrika Selatan, Argentina, Brasil, Meksiko, Saudi Arabia, dan India). Pada kelompok ini, pembentukan modal di negara berkembang masih berkontribusi negatif terhadap pembangunan berkelanjutan.

Artinya, pembentukan modal di negara berkembang belum sepenuhnya berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. Perbedaan kondisi ini bisa jadi disebabkan oleh perbedaan antara negara maju dan negara berkembang dalam hal pembiayaan maupun dalam hal kemajuan teknologi.

Faktor kedua adalah partisipasi angkatan kerja. Partisipasi tenaga angkatan kerja juga terbukti memainkan peranan yang penting bagi pembangunan berkelanjutan di negara maju. Namun, sektor-sektor utama di negara maju belum sepenuhnya diarahkan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, seperti misalnya sektor industri yang belum sepenuhnya mengimplementasikan proses produksi yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

Sementara itu, berbeda dengan permasalahan yang dihadapi negara berkembang bahwa partisipasi angkatan kerja belum berpengaruh secara signifikan. Artinya, produktivitas sumber daya manusia di negara berkembang belum mampu mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan. 

Faktor ketiga adalah perdagangan internasional. Kerja sama perdagangan dirasa mampu mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan di negara G-20.

Perdagangan internasional terbukti secara signifikan berpengaruh positif terhadap pembangunan berkelanjutan, baik di negara maju maupun negara berkembang G-20.  Bahkan jika diteliti lebih jauh, peranan perdagangan internasional terhadap pembangunan berkelanjutan di negara berkembang G-20 lebih besar dibandingkan di negara maju G-20. Hal ini dapat dijelaskan masih relatif besarnya porsi ekspor negara berkembang yang bersumber dari sumber daya alam, baik mineral maupun sumber daya alam lainnya. 

Untuk menjawab ketimpangan pembangunan berkelanjutan di negara-negara G-20, selain upaya-upaya yang telah dan sedang dilaksanakan di masing-masing negara, tidak lain ada kerja sama antar negara. Dalam hal disparitas pembentukan modal, sangat mungkin disebabkan oleh perbedaan ketersediaan instrumen pembiayaan maupun dalam penyerapan kemajuan teknologi yang berorientasi pembangunan berkelanjutan.

Dengan demikian, G-20 dapat meningkatkan kerja sama dan sinergi infrastruktur global serta fasilitasi perdagangan untuk meningkatkan keterkaitan antar negara anggota. Salah satu inisiasi kebijakannya yaitu mendirikan perserikatan infrastruktur global atau Global Infrastructure Connectivity Alliance(GICA).

Sementara itu, pada bidang sumber daya manusia dan ketenagakerjaan, inisiasi kebijakan kerja sama yang dapat dilakukan G-20 salah satunya yaitu mengadopsi kerangka kerja dalam promosi pekerjaan yang berkualitas serta strategi pelatihan dalam promosi tenaga kerja muda yang lebih baik. G-20 pun dapat memanfaatkan peran dari perdagangan dengan mendiskusikan berbagai isu terkait peran sistem perdagangan multilateral, rantai nilai global, serta peran perdagangan dan investasi terhadap penciptaan lapangan kerja.

Dalam implementasi Rencana Aksi Pembangunan 2030, G-20 memberikan fasilitasi melalui pendekatan aksi individu secara nasional dan pendekatan aksi kolektif secara bersama-sama. Adapun pendekatan aksi secara nasional berupa komitmen negara anggota G-20 untuk senantiasa memberikan laporan kemajuan implementasi Rencana Aksi 2030.

Sementara, pada pendekatan aksi secara kolektif, negara anggota G-20 berkomitmen untuk senantiasa memfokuskan pembentukan kelompok kerja atau working group pada isu pembangunan yang lebih mendalam, seperti terkait keberlanjutan pertanian dan keberlanjutan iklim dan lingkungan yang kemudian dinamakan sebagai Development Working Group (DWG).

DWG G-20 berupaya mengidentifikasi masalah-masalah umum yang dihadapi negara anggota G-20 berkaitan dengan implementasi pembangunan berkelanjutan dan menginisiasikan komitmen kebijakan berupa rencana aksi bersama berdasarkan kelompok sektor pembangunan berkelanjutan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi negara anggota (China’s G20 Precidency 2016). Adapun kelompok sektor tersebut adalah infrastruktur; pertanian, ketahanan pangan, dan nutrisi; pembangunan sumber daya manusia dan ketenagakerjaan; inklusi keuangan; mobilisasi sumber daya domestik; industrialisasi; inklusi bisnis; dan energi.

photo
Perkembangan inisiatif global terkait perubahan iklim. - (Bank Indonesia)

Sektor selanjutnya adalah perdagangan dan investasi; anti-korupsi; konstruksi keuangan internasional; strategi pertumbuhan ekonomi; perubahan iklim dan green finance; inovasi; kesehatan global.

Dinamika yang berkembang serta komitmen-komitmen berkelanjutan dengan fakta ketimpangan antar negara-negara G-20 membawa konsekuensi penting bagi upaya-upaya pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Salah satu kata kuncinya adalah kerja sama antar negara.

Tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana mengoptimalkan kerja sama-kerja sama dengan negara-negara G-20 lainnya, terutama dalam hal investasi, perdagangan internasional, dan tenaga kerja. Dalam hal investasi,  Indonesia bertekad mengurangi emisi karbon dengan skenario pembiayaan dengan kemampuan sendiri (unconditional) sebesar 31,8 persen dan dengan bantuan internasional (conditional) sebesar 43,2 persen pada 2030 (Nationally Determined Contribution, 2023).

G-20 dapat menjadi kendaraan bagi Indonesia untuk mencapai tekad pengurangan emisi karbon menuju pembangunan berkelanjutan. Forum G-20 pun menyepakati Rencana Aksi Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 dan mengeluarkan High-Level Principles on the Implementation of 2030 Development Agenda pada pertemuan konferensi G20 di China (2016).

Secara umum, forum G-20 bertujuan memastikan pertumbuhan yang inklusif, pembangunan yang berkelanjutan, dan pengentasan kemiskinan melalui kegiatan perdagangan internasional. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, negara-negara G-20 sadar bahwa perlunya kerja sama dan kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan tersebut. 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat