Para pekerja asal Cina di Batavia. Pajak judi mulanya diterapkan kolonial untuk warga Tionghoa. | geheugen.delpher.nl

Kronik

Sejarah Pajak Judi Warisan Kumpeni

Pajak tak pernah berhasil menghambat penyebaran judi di masyarakat.

Pajak judi kembali jadi perbincangan belakangan. Hal ini terkait dengan maraknya judi online belakangan membuat pemerintah pusing kepala. Ratusan ribu situs dan aplikasi diklaim telah diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), namun penyakit masyarakat itu tak juga sirna.

"Saya berdiskusi dengan banyak pihak bilang 'ya sudah dipajakin aja', misalnya, dibuat terang dipajakin. Kalau nggak, kita juga kacau," kata Menkominfo Budi Arie Setiadi. Benarkah pajak judi bisa menetralisir maraknya kejahatan itu? 

Wartawan senior Republika Alwi Shahab mencatat, kewajiban membayar pajak sudah diterapkan sejak VOC menancapkan kukunya di bumi Nusantara pada abad ke-17. Tidak tanggung-tanggung, banyak masyarakat yang disodorkan berbagai bentuk pajak dengan sanksi-sanksi berat, khususnya terhadap keturunan Tionghoa, yang kala itu merupakan penduduk mayoritas di luar pribumi.

Gubernur Jenderal JP Coen kala itu menugaskan Souw Beng Koeng sebagai kapiten Cina. Ia pun  mengeluarkan peraturan pada 9 Oktober 1619. Tiap warga Tionghoa yang berumur 16 sampai 60 tahun wajib membayar pajak 1,5 real per kepala. Tidak main-main, pajak yang memberatkan itu berlaku selama 200 tahun sampai pada 1900.

photo
Pekerja tempatan dan yang berasal dari Cina di pabrik arak Goan Soen di Jembatan Senti, Batavia, 1904. - (KITLV)

Di antara pajak itu adalah pajak kepala. Pajak itu dikenakan untuk warga Tionghoa yang menjalankan tradisi rambut tocang yang pada masa itu merupakan keharusan. Rambut bagian atas dicukur sampai licin, bagian belakang dipanjangkan, kemudian dikepang atau dikuncir. Bila kita melihat buku abad ke-19, kita akan mendapati rambut pria mereka saat itu.

Bukan hanya pajak kepala, Belanda menyadari kebiasaan mereka akan berjudi, termasuk para wanitanya. Menurut buku Hikayat Jakarta, ada seorang ibu penjudi. Agar dia tidak terganggu suaminya, dia memberikan suaminya seorang gundik agar dia tidak lagi 'diganggu' suaminya. Hingga dia bebas berjudi. Judi dilakukan mereka dalam berbagai acara, termasuk saat acara kematian.

Dalam masalah berjudi, mereka menyebutnya main ceki dengan kartunya berwarna kuning bertulisan Cina di tengahnya. Kartu ceki sedikit lebih ramping dari kartu domino. Sampai sekarang, ceki masih merupakan permainan para baba dan encim, yakni orang Tionghoa yang telah berusia lanjut. Berjudi dengan kartu ceki bukan hanya dikenal di Indonesia, tapi juga kalangan Tionghoa di Singapura dan Malaysia.

Drg Oei Hong Kiam, dokter gigi Bung Karno dalam bukunya menyebutkan, “Banyak wanita Tionghoa yang senang berjudi. Mereka membentuk kelompok judi. Di lokasi judi pada masa Ali Sadikin, tidak sedikit para ibu berjudi. Bukan hanya encim-encim, tapi para ibu pribumi.”

photo
Suasana Jakarta pada 1950-an. - (Twitter)

Diceritakannya juga, waktu itu, lokalisasi judi terletak di kawasan Ancol dan di samping Sarinah, di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, yang kini menjadi Jakarta Theatre. “Setelah masa Bang Ali (Gubernur DKI Ali Sadikin) dan lokalisasi judi dilarang, banyak orang berduit yang ingin membuka kembali lokalisasi judi. Tapi, tidak pernah mendapat izin. Karena merasakan bagaimana pengaruh perjudian yang pernah melanda Indonesia, termasuk masyarakat kelompok bawah,” demikian tulisnya. 

Budaya berjudi memang dimanfaatkan Ali Sadikin ketika jadi gubernur DKI Jakarta dari 1966-1977. Sambil menegaskan hanya diperbolehkan untuk orang Tionghoa, Bang Ali membuka berbagai lokalisasi perjudian di Ibu Kota. Dana dari hasil judi itu digunakan untuk membangun jalan, sekolah, puskesmas dan berbagai fasilitas lainnya.

Terhadap mereka yang tidak setuju, dengan berkelar ia berkata: ''Bapak-bapak kalau masih mau tinggal di Jakarta, sebaiknya beli helikopter. Karena jalan-jalan di Jakarta dibangun dengan pajak judi.'' (Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977). Bandar judi terkenal kala itu bernama A Piang Jinggo. Saat itu, tidak terhitung banyaknya orang yang kaya raya menjadi melarat karena judi.

Lebih-lebih ketika dibukanya hwa-hwee, yang pecandunya sampai ke kampung-kampung, jauh lebih hebat dari judi buntut. Karuan saja hal ini mendapat reaksi keras dari berbagai ormas Islam, termasuk para alim ulama.

photo
Suasana kota Jakarta di masa Gubernur Ali Sadikin. - (Repro buku Sejarah Transportasi Angkutan Bus )

Setelah Bang Ali mengakhiri jabatan sebagai gubernur DKI, Tjokropranolo oleh Pak Suharto ditunjuk sebagai penggantinya. Sebelas tahun Bang Ali menjadi gubernur, Jakarta telah berubah sangat dahsyat. Putra kelahiran Sumedang, Jawa Barat ini, telah mengubah wajah Jakarta dari julukan sebuah 'kampung besar' menjadi 'Kota Metropolitan'. Tidak heran kalau segala gerak geriknya selalu dibandingkan dengan Bang Ali.

Tjokropranolo (1924-2001) menjabat gubernur DKI Jakarta pada masa 1977-1982. Ia adalah mantan Aspri (asisten pribadi) Presiden Soeharto dan pada masa revolusi fisik pernah menjadi ajudan Panglima Besar Jenderal Sudirman. 

Falsafah kepemimpinan Bang Nolly, julukan Tjokropranolo ''small is beautiful' (kecil itu indah). Kalimat ini membawa makna bahwa, pedagang kecil itu harus diutamakan. Selama lima tahun sebagai gubernur, Bang Nolly telah melakukan pembinaan terhadap 88.497 pedagang PKL tersebar di 12 lokasi. 

Bang Nolly menyadari bahwa sekalipun kehidupan masyarakat di Kota Metropolitan Jakarta penuh kesibukan untuk mempersiapkan hidup, tapi masih cukup kuat semangat untuk memegang agama. Menunjukkan identitas sebagai bangsa yang religius ternyata tidak harus luntur di kota yang besar. Hingga pembentukan masyarakat religius sosialistis di perkotaan pun, yang dihangatkan 1977 akan dapat dilaksanakan dengan baik.

photo
Penyerahan jabatan gubernur DKI Jakarta dari Ali Sadikin (kanan) kepada Tjokropranolo pada 1977, - (Perpusnas)

Praktisnya, pajak judi yang diberlakukan Ali Sadikin, dirasakan merupakan ganjalan bagi Pemda DKI. Meskipun merupakan pendapatan yang cukup potensial daerah (mencakup porsi 22 persen), secara bertahap pajak judi dihapuskan. Hal ini karena faktanya, meski pajak judi dimaksudkan agar terjadi lokalisasi perjudian, berbagai jenis judi tetap meluas sampai ke pelosok-pelosok kampung. Dengan penghapusan ini Pemda DKI kehilangan pajak Rp 3 miliar. Angka itu tak kecil karena jumlahnya setara Rp 96 miliar jika menghitung inflasi.

Judi jackpot suatu permainan dengan alat elektronik dengan memasukkan uang ke dalamnya, juga dihapuskan. Apalagi judi ini banyak melibatkan anak-anak sekolah. Usaha Bang Nolly ini mendapat tanggapan dari Presiden Soeharto yang pada 1 April 1980 menghapus segala bentuk perjudian.

Meski kemudian, pemerintah juga menjalankan kebijakan judi olahraga yang dinamai Pekan Olahraga dan Ketangkasan (Porkas) pada 1985. Melalui program ini, warga membeli kupon untuk menerka hasil seri-menang-kalah pertandingan liga sepakbola divisi utama, Mereka yang tebakannya benar akan diundi untuk mendapatkan hadiah.

Porkas kemudian berevolusi menjadi Sumbangan Olahraga Berhadiah (SOB) pada 1986. Bedanya dengan Porkas, SOB mempertaruhkan skor pertandingan. Judi yang disponsori pemerintah ini kemudian menjadi Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) yang lebih dekat ke jenis lotere karena pembeli kupon harus menebak angka yang dikeluarkan bandar. 

photo
Ikatan Pemuda Islam se Indonesia, Solidaritas Mahasiswa Anti SDSB, Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta Demonstasi Anti SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) di Departemen Sosial Jakarta (10/11/1993). - (Republika/Bakhtiar Phada)

Daya rusak judi-judi ala pemerintah itu tak kalah dengan jenis judi lainnya. Masyarakat mencandu dan berbagai klenik bertebaran di masyarakat soal bagaimana menebak nomor. Setelah melalui aksi unjuk rasa oleh umat Islam selama berhari-hari, SDSB akhirnya dihapuskan pada 1993.

Sepanjang sejarah Tanah Air, tak pernah ada cerita judi berhasil dikendalikan melalui pajak ataupun legalisasi. Upaya pemajakan ataupun legalisasi pada akhirnya tak mampu menahan judi pada lokasi atau kalangan tertentu saja. Ia tetap merasuki masyarakat kebanyakan dan merusak kehidupan banyak orang,

Darurat Judi Online Makin Gawat

Perputaran uang judi 2023 sebesar Rp 81 triliun.

SELENGKAPNYA

Mewaspadai Jerat Judi

Seorang bermain judi, tapi tidak merasa sedang berjudi.

SELENGKAPNYA

Wulan Guritno dan Gurita Judi Online

Akun Youtube DPR dihiasi promosi judi online.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya