
Dunia Islam
Mengenal Sejarah dan Paham Mu'tazilah
Paham Mu'tazilah meyakini berbagai doktrin atau pemikiran.
Sejarah Muktazilah (Mu'tazilah) acap kali dikaitkan dengan kisah berikut ini. Di Basrah pada abad pertama Hijriyah, hiduplah seorang ulama yang masyhur, Hasan al-Bashri. Dalam sebuah majelis ilmu yang diadakannya, seperti biasa, ada banyak hadirin menyimak ceramahnya.
Pada saat sesi tanya-jawab, seorang jamaah bertanya kepadanya tentang bagaimana kedudukan orang yang telah berbuat dosa besar (murtakib al-kabair). Apakah seorang murtakib al-kabair secara otomatis telah kafir?
Saat Hasan al-Bashri sedang berpikir untuk menjawab pertanyaan tersebut, tiba-tiba seseorang berseru lantang. Dialah Washil bin ‘Atha’ (699-748 M). Orang itu menyatakan, seorang murtakib al-kabair bukan Mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada di antara posisi keduanya (al-manzilah baina al-manzilataini) baik di dunia maupun akhirat kelak.
Washil mengatakan, orang berdosa besar tidak dapat dikatakan Mukmin lagi karena telah menyimpang dari ajaran Islam, tetapi pada saat yang sama belum bisa pula digolongkan sebagai kafir lantaran masih memercayai Allah SWT dan Rasul-Nya. Ia menyebutnya sebagai kaum fasik.
Jika meninggal dalam keadaan belum bertobat, seorang fasik akan dicampakkan ke dalam neraka dan kekal di dalamnya. Namun, siksaan yang diberikan untuknya lebih ringan dibandingkan dengan yang dialami orang kafir di neraka.
Karena tidak setuju dengan pendapat Hasan al-Bashri, Washil berdiri dan meninggalkan majelis tersebut. Bahkan, lelaki itu kemudian membentuk majelis pengajian sendiri. Merespons peristiwa tersebut, Hasan di kemudian hari berkata, “Washil telah mengasingkan diri dari kami” (i’tazala ‘anna).
Washil dan para pengikutnya kemudian disebut sebagai Mu’tazilah, yang namanya secara kebahasaan berakar dari kata i’tazala.

Konteks zaman
Untuk diketahui, situasi umat Islam pada kurun abad pertama Hijriyah begitu sarat akan situasi prokontra, termasuk dalam soal pemikiran. Betapapun demikian, akarnya bisa ditemukan pada masalah politik.
Ketika itu, muncul dua kutub pemikiran yang cenderung ekstrem, yakni Khawarij dan Murji'ah. Kelompok Khawarij bermula dari kekalahan Ali bin Abi Thalib dalam Perang Siffin melawan pihak Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Walaupun awalnya mendukung Ali, sekelompok orang justru berbalik menentangnya karena sang khalifah memilih metode arbitrase (tahkim) untuk menyudahi perang tersebut.
Sebagai pembenaran untuk kritik terhadap tahkim, mereka mencari-cari dalil di dalam Alquran dan menafsirkan semaunya teks suci itu. Kesimpulannya, Ali dinilai telah melanggar ketentuan surah al-Maidah ayat 44 sehingga terbukti sudah berbuat dosa besar. Karena menjadi murtakib al-kabair, Ali dipandang sudah murtad dan halal darahnya untuk ditumpahkan.
Kaum Khawarij yang dipimpin Abdullah bin Wahab ar-Rasibi merencanakan pembunuhan terhadap Ali dan Muawiyah. Sang gubernur Syam lolos. Tidak demikian halnya dengan Ali. Ayahanda Hasan dan Husain itu syahid dibunuh saat sedang memimpin shalat subuh di Masjid Kufah.
Kalau menurut kaum Khawarij, perbuatan dosa besar dapat menghilangkan iman dalam hati sehingga pelakunya layak dicap sebagai orang kafir. Sementara, dalam pendapat kelompok yang kedua--dalam kutub pemikiran yang timbul di abad pertama Hijriyah--tidak demikian.
Kelompok yang dimaksud ialah kaum Murji’ah. Bagi mereka, yang penting dalam soal iman dan kufur ialah pengakuan dalam hati, bukan perbuatan empiris. Perbuatan tidak berpengaruh apa-apa atas iman.
Inilah mengapa kelompok tersebut dinamakan murji’ah karena mereka menunda masalah penghakiman hingga Hari Akhir. Kata arja’a yang menjadi asal dari murji’ah mengandung arti ‘menunda’ atau ‘memberi harapan.’
Baginya, biarlah nanti Allah yang memutuskan nasib akhir seorang atau para Muslim pendosa besar. Kalau diampuni-Nya, pendosa itu akan masuk surga. Kalau tidak diampuni, pendosa akan dihukum terlebih dahulu di neraka sesuai kadar dosa yang telah diperbuatnya. Begitu sudah selesai dengan siksa neraka, tempat kembalinya adalah surga.

Membedah Mu'tazilah
Prof Harun Nasution dalam Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (1995) mengatakan, ada sebuah riwayat lain tentang asal muasal nama Mu’tazilah. Menurut riwayat ini, nama aliran tersebut tidak berasal dari ucapan Syekh Hasan al-Bashri, melainkan istilah i’tazala.
Kata itu yang kerap dipakai sebagai sebutan untuk orang-orang yang mengasingkan diri dari pertikaian politik pada zaman khalifah Utsman bin Affan hingga Ali bin Abi Thalib. Di antara mereka ialah Abu Husain, yang dengannya Washil bin ‘Atha’ banyak berinteraksi.
Washil sendiri diriwayatkan banyak penulis sebagai sosok yang unik. Ia dikenal sebagai seorang yang cadel lantaran lidahnya tidak lancar mengucapkan huruf ra (“ر”). Akan tetapi, ketidakmampuannya itu diubahnya menjadi kelihaian berbahasa.
Dalam arti, ia mampu menyingkirkan huruf ra dari seluruh kata yang diucapkannya. Sebagai contoh, bila hendak mengatakan ‘kebaikan’ (al-birr), maka ia mengucapkan kata al-qamhu dalam bahasa Arab-Kufah yang juga sama artinya. Contoh lainnya, kalau ingin mengatakan ‘menggali’ (al-hafr), maka diucapkannya kata an-nabsy. Bahkan, dikisahkan bahwa lelaki ini pernah menyampaikan khutbah panjang tanpa sekalipun menggunakan kata yang ada huruf ra.
Menurut Harun, para pengikut Washil lebih suka menyebut diri sebagai Ahl at-Tauhid wa Ahl al-‘Adl. Bagaimanapun, mereka tidak menolak nama Mu’tazilah. Seorang pemuka Mu’tazilah al-Qadhi Abdul Jabbar, sebutan mu’tazilah merupakan pujian karena mereka dianggap mengasingkan diri (i’tazala) dari yang salah dan tidak benar. Bahkan, seorang tokoh Mu’tazilah lainnya, Ibnu al-Murtadha, mengeklaim orang-orang Mu’tazilah sendirilah yang menciptakan nama itu.
Kaum Mu’tazilah menamakan diri sebagai Ahl at-Tauhid wa Ahl al-‘Adl karena dua inti ajaran Washil bin ‘Atha’. Pertama, Washil mengajarkan tentang peniadaan sifat-sifat Allah. Bagi mereka, sifat-sifat Mahamengetahui, Mahapengasih, Mahapenyayang, dan sebagainya—yang dapat diketahui manusia dari 99 Asmaul Husna—bukanlah sifat Allah, tetapi aspek dari Zat Allah.
Tuhan Mahamengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan Allah adalah Zat-Nya.Al-Huzhail
Bagi mereka, bahwa Allah mengetahui bukan dari sifat pengetahuan, tetapi melalui Zat-Nya. Dalam kata-kata al-Huzhail, seorang pemuka Mu’tazilah, “Tuhan Mahamengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan Allah adalah Zat-Nya.” Demikian seterusnya. Allah Mahakuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan Allah adalah Zat-Nya; Allah Mahapengasih dengan kasih dan kasih Allah adalah Zat-Nya.
Menurut Harun, yang dituju kaum Mu’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat Allah ialah pengesaan diri Allah. Mereka memberi gambaran esa kepada diri Allah, diri yang tidak disusun dari lapisan-lapisan sifat, tetapi dari suatu zat yang mempunyai berbagai aspek. Karena itulah, mereka merasa absah mengeklaim sebagai ahl at-Tauhid.
Adapun atribut Allah yang dijunjung kaum Mu’tazilah ialah kemaha-adilan-Nya. Allah, menurut mereka, bersikap adil dan bijaksana sehingga tidak dapat berbuat zalim. Paham kemaha-adilan Allah menghendaki agar manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan melalui daya yang diciptakan Allah dalam dirinya.
Dengan demikian, konsekuensinya adalah bahwa manusia bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Jika mereka ingkar dan berbuat dosa, ancamannya adalah neraka. Bila mereka beriman dan berbuat baik, surga ganjarannya.
Kaum Mu’tazilah meniadakan sifat-sifat Allah selain Maha Esa dan Maha Adil. Dalam pandangan mereka, kalau Allah dikatakan mempunyai banyak sifat (selain Maha Esa dan Maha Adil), maka dalam diri Allah terdapat unsur yang banyak; yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat yang melekat pada zat.
Ambil contoh, kalau Allah dikatakan memiliki 20 sifat, maka—menurut Mu’tazilah—Allah akan “terdiri atas 21 unsur.” Kalau ada 40 sifat, maka ada 41 "unsur Allah" (karena 40 sifat ditambah dengan satu sifat yang wajib ada, yakni Allah Maha Esa). Kalau 99 sifat, maka ada 100 "unsur Allah"; dan seterusnya. Padahal, lanjutnya, Allah Maha Esa. Zat Yang Maha Esa itu bersifat Maha Adil.
Konsekuensi dari argumen-argumen Mu’tazilah itu bermuara pada beberapa doktrin atau keyakinan.
Konsekuensi dari argumen-argumen Mu’tazilah itu bermuara pada beberapa doktrin atau keyakinan. Mereka meyakini, Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala ketika manusia sudah berada di surga-Nya kelak. Sebab, menurutnya, Allah tidak bisa dipersamakan dengan makhluk-Nya, yakni sifat “bisa dilihat.” Menurut kaum Mu’tazilah, ayat-ayat tajasum dalam Alquran yakni ayat-ayat yang seolah menggambarkan Allah mempunyai bentuk fisik harus ditakwilkan sedemikian rupa.
Prinsip lainnya yang digaungkan mereka ialah Al-Amr bi al-ma'ruf wa an-nahy'an al-munkar. Setiap Muslim, menurut Muktazilah, wajib melakukan perbuatan yang makruf serta menjauhi perbuatan yang mungkar. Berpegang pada hal itu, sejarah mencatat, kelompok tersebut justru kemudian jatuh pada ekstremisme—yang pelaksanaannya didukung penguasa-penguasa zalim.
Dalam suatu rentang periode peradaban Islam, kaum Mu’tazilah pernah memaksakan pendapat bahwa Alquran adalah makhluk. Siapapun yang menentang pendapat itu, lantas dihukum raja yang pro-Mu’tazilah. Masa yang penuh kekacauan itu dikenal sebagai Era Mihnah (zaman persekusi).