Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Adab Menyewakan Rumah

Bagaimana adab saat kita menyewakan rumah?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Saya mendapatkan warisan berupa rumah dari orang tua saya. Rumah tersebut rencananya ingin saya sewakan jika ada yang mau sewa. Saya ingin mengetahui terkait adab saat menyewakan rumah. Mohon penjelasan Ustaz. --Ramli, Sukabumi

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Jika merujuk kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI No 112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah dan juga Standar AAOIFI No 9 dan No 34 tentang Ijarah, buku Nazhariyatu al-Aqd fi al-Fiqh al-Islami karya Izzudin Muhammad Khujah (Dallah al –Baraka, 1993), serta kelaziman yang terjadi di masyarakat Indonesia, maka bisa disimpulkan adab-adab saat menyewakan rumah sebagai berikut.

Pertama, kriteria penyewa dan pemilik rumah. Di antaranya adalah (a) Cakap hukum. Cakap hukum itu bahasa yang digunakan dalam regulasi pada umumnya. Sedangkan dalam bahasa fikih maksudnya adalah sehat fikirannya, sudah mencapai usia baligh, dan bisa membedakan mana yang menguntungkan atau merugikan (mumayyiz).

Saat pemilik rumah bertransaksi dengan penyewa yang diwakili oleh anaknya yang belum cakap hukum, itu tidak diperbolehkan, sebagaimana merujuk pada pandangan mayoritas ulama (selain ulama Syafi’iyah) untuk memberikan perlindungan hak para pihak termasuk pemberi sewa atau pemilik rumah.

(b) Sebagai pemilik atau yang diberikan kuasa. Yang melakukan penyewaan itu tidak harus pemilik rumah, tetapi boleh dikuasakan kepada pihak lain. Agar ada dasar dan terhindar dari penyimpangan, maka kuasa tersebut harus disampaikan kepada penyewa.

Misalkan pemilik rumah menyampaikan kepada tetangganya, “Mohon menandatangani perjanjian sewa dengan penyewa”, kemudian si pemilik rumah juga menyampaikan perihal kuasa tersebut kepada si penyewa.

Kedua, kriteria penyewa. Di antaranya adalah: (a) Memilih penyewa yang amanah (berkomitmen memenuhi perjanjian). Sebagaimana testimoni para sahabat mitra non Muslim Rasulullah SAW, “Engkau adalah temanku di masa jahiliyah, dan engkau adalah sebaik-baik teman yang tidak memperdayaiku dan mendebatku.” (HR Ibnu Majah).

(b) Berkomitmen untuk memenuhi ketentuan atau syarat yang disepakati bersama pemilik rumah dan aturan (seperti aturan yang berlaku di perumahan atau kompleks atau lingkungan sekitar). Maksudnya, penyewa berkomitmen untuk memenuhi atau menunaikan seluruh persyaratan dalam perjanjian sewa rumah dengan pemilik rumah.

Misalkan, jika pemilik rumah mensyaratkan, “Nanti rumah ini kalau dibalikin dan sudah selesai masa sewa, nanti dicat ulang ya!”, maka penyewa berkewajiban untuk menunaikan syarat tersebut.

Begitu pula jika rumahnya berada di lingkungan masyarakat dan memiliki aturan yang telah disepakati antarwarga, maka menjadi kewajiban pemilik rumah juga untuk menyampaikan bahwa, misalnya: “Jika menyewa rumah saya, maka tentu ikut aturan perumahan atau lingkungan RT” agar sebagai pemilik rumah ia ikut berkewajiban menghadirkan penghuni baru yang memberikan kenyamanan kepada tetangganya dan bukan sebaliknya.

Ketiga, kriteria rumah atau manfaat. Di antaranya adalah: (a) Dimiliki sempurna dan legal (bukan gadai atau piutang dan sejenisnya), serta bisa diserahterimakan. Dipastikan rumah yang akan disewakan itu dimiliki secara sempurna.

Maksudnya, rumah tersebut tidak ada sangkut paut dengan pihak lain. Contohnya, rumah yang statusnya masih digadaikan kepada pihak lain itu tidak boleh disewakan oleh pemiliknya, karena dengan digadaikan rumah tersebut masih dalam penguasaan kreditur atau penerima gadai.

Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR al-Khamsah dari Hakim bin Hizam).

(b) Penyewa tidak menyewakan kepada pihak lain, kecuali atas izin pemiliknya. Maksudnya, saat seseorang menempati suatu rumah sebagai penyewa, maka ia tidak boleh menyewakan rumah tersebut kepada pihak lain karena yang ia miliki adalah manfaat mendiami bukan menjadikan rumah tersebut aset komersial disewakan kepada pihak lain, kecuali pemilik rumah mengizinkan. Dalam fikih ini dikenal dengan “at-ta’jir min al-bathin”.

(c) Penyewa tidak menanggung risiko atau kerugian, kecuali karena lalai atau wanprestasi. Selanjutnya, perlu disepakati detail mana risiko atau kerugian yang dimaksud.

Misalnya, kesepakatan bahwa jika rumah yang ditempati itu rusak dengan kategori a, b, dan c itu menjadi kewajiban penghuni atau penyewa untuk memperbaiki. Tetapi jika kerusakan itu terjadi pada d, e, dan f maka itu menjadi kewajiban pemilik rumah untuk memperbaikinya.

Pembagian kewajiban dan risiko harus didetailkan untuk memitigasi miskomunikasi dan misinterpretasi atau salah paham dan potensi konflik.

(d) Tujuan pemanfaatan rumah (muqtada al-‘aqd). Pemilik rumah berkewajiban untuk memastikan kepada penyewa rumah digunakan untuk apa. Pertanyaan ini guna mengetahui dan memastikan agar rumahnya digunakan untuk kebutuhan yang halal.

Jika diketahui rumahnya akan digunakan untuk yang tidak halal, seperti tempat usaha judi online atau yang tidak halal lainnya, maka tidak boleh menyewakan kepadanya. Tetapi jika penggunaannya untuk yang halal, seperti tempat tinggal dan lainnya, kemudian dalam perjalanannya digunakan oleh penyewa untuk yang tidak halal, maka itu dianggap sebagai wanprestasi sehingga pemilik rumah dapat menghentikan kontrak sewa, dan penyimpangan serta dosa itu ada di pundak penyewa.

Keempat, kriteria biaya sewa. Di antaranya adalah: (a) Biaya sewa berupa nominal, dapat dibayar tunai atau cicil (sesuai kesepakatan). Maksudnya, karena yang disepakati adalah penyewaan manfaat rumah, maka berlaku ketentuan perjanjian ijarah. Di antaranya biaya sewa itu harus ditentukan pada saat perjanjian sewa. Mudahnya, biaya sewa ditentukan dalam bentuk nominal.

Misalnya, biaya sewa rumah dalam satu tahun itu Rp 20 juta atau biaya kos-kosan dalam satu bulan itu Rp 1 juta. Biaya sewa tersebut bisa dibayar sekaligus untuk satu periode (satu tahun) ataupun diangsur bayar per bulan.

Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.” (HR ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri).

(b) Biaya sewa rumah yang disewakan merujuk pada kesepakatan, karena tidak ada ketentuan dalam syariat maksimum biaya sewa yang menjadi hak pemilik rumah. Akan tetapi semuanya merujuk kepada kesepakatan dan juga adab pemilik rumah untuk mempertimbangkan biaya sewa di daerah tersebut dengan kriteria rumah sejenis.

Kelima, kriteria ijab qabul. Di antaranya adalah: (a) Tertulis dan dipahami para pihak. Walaupun menuangkan penyewaan rumah dalam dokumen tertulis itu tidak wajib (merujuk pada perbedaan pendapat ahli fikih), tetapi saat ini tidak ada pilihan kecuali menuangkannya dalam bentuk perjanjian tertulis untuk memberikan perlindungan kepada pemilik rumah dan penyewa.

Karena penyewaan itu terkait dengan kewajiban utang piutang atau kewajiban yang ada di pundak para pihak yang menurut sebagian ahli fikih, seperti Imam Ghazali itu wajib dicatat.

(b) Menghadirkan saksi jika memungkinkan. Begitu pula dengan kehadiran saksi, walaupun kehadirannya tidak wajib (merujuk pada perbedaan pendapat ahli fikih terkait kehadiran saksi dalam prosesi sewa), tetapi jika ada kepentingan atau maslahat dihadirkan saksi dalam transaksi, maka itu menjadi pilihan.

Terkait dengan saksi dihadirkan atau tidak, itu bergantung keinginan para pihak sejauh mana maslahat kehadiran saksi. Umumnya kehadiran saksi itu terkait dengan keinginan para pihak atau peraturan regulasi.

Ketentuan tersebut untuk memastikan pemilik rumah dan penyewa itu setuju dan ridha dengan perjanjian sewa. Agar semua pihak ridha, maka klausul dalam perjanjian itu dibaca bersama, dipastikan semua yang hadir pada saat transaksi itu mengetahui atau mendengar dan memahaminya.

Kemudian diulangi kembali apakah ada masukan dan apakah setuju dengan seluruh klausul, sehingga dengan penegasan tersebut penyewa setuju dengan klausul dan setelah itu ditandatangani.

Urgensi tentang ridha kedua belah pihak sebagaimana hadis Rasulullah SAW, "Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka'.” (HR al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai sahih oleh Ibnu Hibban).

Wallahu a’lam.

Menentukan Wali Nikah dan Hak Waris Bayi yang Tertukar

Jika ternyata diketahui bayinya tertukar, pastikan atau cari dulu tertukar dengan siapa.

SELENGKAPNYA

Sosok dan Perjuangan Pak Syaf

Syafruddin Prawiranegara adalah seorang pahlawan nasional yang berperan penting pada masa revolusi.

SELENGKAPNYA

Benarkah Islam Melarang Muslimah Jadi Juru Bicara?

Pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar ketika Umar sedang berpidato di atas mimbar.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya