ILUSTRASI Dalam penjara, Imam Hambali mendapatkan nasihat dari sesama narapidana. | DOK WIKIPEDIA

Kisah

Kala Imam Hambali Dinasihati di Penjara

Imam Hambali dipenjara oleh seorang penguasa yang zalim.

Kehidupan Ahmad bin Hanbal atau Imam Hambali penuh dengan lika-liku. Dalam kurun waktu tertentu, ulama yang juga seorang peletak satu mazhab fikih ahlus sunnah wal jama'ah itu pernah dipenjara. Sebabnya, ia membela akidah yang lurus di hadapan penguasa yang zalim.

Bahkan, banyak penulis yang menyebut, Imam Hambali telah menyelamatkan umat Nabi Muhammad SAW untuk kedua kalinya. Kali yang pertama adalah ketika Abu Bakar ash-Shiddiq mempersatukan Muslimin untuk memerangi kaum murtad.

Adapun peran yang dijalani ulama kelahiran Baghdad, Irak, itu ialah menyerukan dengan lantang akidah yang benar. Pada masanya, penguasa negeri mulai melazimkan keyakinan yang sesat, yakni khalqu Alquran. Paham tersebut meyakini bahwa Alquran adalah makhluk.

Keyakinannya kepada Allah SWT dan pemahamannya mengenai agama Islam sempat berlawanan dengan penguasa Abbasiyah saat itu, Khalifah Al-Ma'mun. Khalifah saat itu mulai gandrung pada filsafat yang abai akidah. Sehingga, raja tersebut mulai memaksakan pandangannya kepada masyarakat, termasuk perspektif tentang Alquran.

Menurut Al-Ma'mun, sebagaimana diamini para pendukungnya, Alquran adalah makhluk. Maka, para ulama yang tinggal di Baghdad dan sekitar dipaksa untuk sepaham dengan pendapatnya.

Imam Ahmad bin Hanbal pun dites oleh khalifah. Bersama sahabatnya, Muhammad bin Nuh, sang imam menolak untuk sepaham dengan penguasa.

photo
ILUSTRASI Imam Hambali pernah dipenjara oleh seorang penguasa lalim. Di dalam kurungan, ulama besar ini menerima doa dan nasihat dari seorang terpidana. - (DOK PIXABAY)

“Apa pendapat Anda tentang Alquran, wahai Ibnu Hanbal?” tanya sang sultan.

“Alquran adalah Kalamullah,” jawab Imam Hambali.

Berkali-kali ditanya. Ia tegas menjawab, Alquran adalah kalamullah, bukan makhluk. Maka, ia pun dipenjara akibat keteguhan keyakinannya itu.

Di dalam penjara, ia tetap bersabar dan tawakkal kepada Allah. Beberapa murid yang bersimpati kepadanya lantas mengunjunginya pada suatu hari. Mereka memintanya agar pura-pura mengiyakan kemauan penguasa. Dengan begitu, Imam Hambali dapat terbebas dari siksaan atau mungkin hukuman mati.

“Wahai Syekh, mengapa tidak berbohong saja agar tidak dihukum mati? Persoalannya, kalau Syekh wafat, maka umat akan kehilangan sosok panutan. Kematian Syekh kami kira lebih berbahaya bagi keberlangsungan Islam daripada dusta di hadapan penguasa,” tutur seorang dari mereka.

“Tidak. Sungguh, aku lebih memilih kematian daripada menyesatkan umat. Di wilayah ini, banyak orang yang selalu mencatat perkataanku. Kalau sampai aku menyatakan bahwa Alquran adalah makhluk, betapa banyak orang tersesat karena lisanku. Sebab, bagaimanapun pula orang-orang itu akan mengikuti pendapatku,” jawab Imam Hambali tegas.

“Kematian seorang Ahmad tidak ada artinya dibandingkan dengan kesesatan umat. Jika umat pada masa ini mencatat pendapatku, umat berikutnya pun akan sesat. Lebih baik aku saja yang mati daripada banyak lagi orang tersesat,” sambungnya.

Mengutip dari kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir, Imam Hambali memiliki kekhawatiran tersendiri kala ditahan penguasa. Beberapa hari sebelum hukuman dikenakan kepadanya, ia menuturkan kepada seorang kawan satu selnya. Ia mengaku, tidak takut akan hukuman mati atau kurungan penjara. Yang dirisaukannya adalah hukuman cambuk. Sebab, dirinya merasa takut akan tidak sabar dalam menghadapi hukuman jenis ini.

Proses yang telah dijadwalkan pun tiba. Imam Hambali digiring keluar dari selnya untuk memasuki arena eksekusi. Namun, sebelum beranjak ke tempat algojo, ia dihampiri Abu Haitsam al-Haddad.

Lelaki itu adalah tahanan yang mendekam tak jauh dari sel tempatnya berada. Berbeda dengan dirinya yang berstatus tahanan politik, Abu Haitsam dipenjara karena mencuri. Dan, pria tersebut berada di dalam penjara jauh lebih lama daripada Imam Hambali.

“Wahai Ahmad, bersabarlah! Sungguh, janji Allah itu pasti,” katanya.

 
Wahai Ahmad, bersabarlah! Sungguh, janji Allah itu pasti.
   

“Wahai Abu Haitsam, ketahuilah bahwa aku tidak takut dipenjara. Sebab, penjara dan rumahku sama saja. Aku pun tak takut dipancung. Yang kutakutkan adalah dipaksa dengan cambukan,” ujar Imam Hambali.

“Wahai Ahmad, punggung dan diriku sebagai tebusan untukmu. Dengarkanlah, aku adalah Abu Haitsam. Sebelum ditangkap, kuhabiskan setiap hari dengan membuat rusuh, mabuk-mabukan, dan mencuri. Pada hari pertama di tahanan, algojo mencambukku 100 kali. Tidak ada rasa sakit sesudah itu,” tuturnya.

“Amirul Mukminin kemudian memvonisku dengan hukuman delapan ribu cambukan secara berkala. Aku—seorang kriminal dengan masa lalu penuh dosa—bisa bertahan. Bila aku bisa bersabar dengan cambukan itu di jalan maksiat, maka engkau bersabarlah terhadapnya di jalan ar-Rahman,” sambungnya lagi.

Kata-kata itu menyalakan semangat dalam diri Imam Hambali. Ia pun tidak lagi mengkhawatirkan sabetan cemeti yang akan mendera punggungnya. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun berpamitan dengan Abu Haitsam.

Karena nasihat berharga itulah, Imam Ahmad sering mendoakan dan menyebut-nyebut nama Abu Haitsam. Akhirnya, seorang putranya yang bernama Abdullah menanyakan hal itu. Maka disampaikannya tentang kisah di atas.

Situasi berubah ketika Khalifah Al-Mutawakkil menghentikan perdebatan mengenai Alquran. Status banyak tahanan politik pun dipulihkan. Termasuk di antara mereka, Imam Ahmad bin Hanbal.

Sesudah bebas, ia sempat lima kali menunaikan ibadah haji ke Makkah. Dua kali di antaranya ditempuh dengan berjalan kaki.

Setelah sembilan hari sakit, pada Jumat tanggal 12 Rabi'ul Awal tahun 241 H, di usianya yang ke-77, sang Imam tutup usia di Kota Baghdad, Irak. Jasa dan kontribusi Imam Hambali dalam mengembangkan ilmu agama hingga saat ini tetap dikenang sepanjang zaman. 

Pemakaman Yevgeny Prigozhin yang Sunyi Pemberitaan

Saluran utama, Russia 1, mendedikasikan waktu siaran kurang dari satu menit untuk pemakaman itu di berita malamnya.

SELENGKAPNYA

Mengenal Fariduddin Attar, Sang Penyair Agung

Dalam bahasa Persia, namanya berarti peracik parfum. Ia dikenang sebagai penggubah Manthiq al-Thair.

SELENGKAPNYA

Sumbangsih Peradaban Islam untuk Pengembangan Parfum

Banyak ilmuwan Muslim sejak masa klasik yang menekuni riset tentang parfum.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya