
Fikih Muslimah
Perselisihan Ulama Empat Mazhab Soal Muslimah Menjadi Imam Shalat
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum fikih wanita yang mengimami shalat berjamaah bagi kaum wanita lainnya.
Shalat menjadi kewajiban bagi setiap Muslim dan Muslimah saat sudah mencapai usia baligh. Bagi Muslim laki-laki, shalat berjamaah amat dianjurkan, bahkan beberapa ulama mewajibkan. Lantas, bagaimana shalat berjamaah bagi Muslimah?
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum fikih wanita yang mengimami shalat berjamaah bagi kaum wanita lainnya. Ada ulama yang memandang sunah, makruh, bahkan tidak membolehkannya. Persoalan juga berlanjut pada pelaksanaannya. Jika memang boleh sekelompok wanita ingin melaksanakan shalat berjamaah, lantas bagaimana tata cara pelaksanaannya? Apakah shalat mereka sebagaimana layaknya shalat yang diimami laki-laki?

Mazhab Hanafiyah berpendapat, hukum shalat berjamaah bagi wanita adalah makruh. Pendapat itu diyakini ulama mazhab Hanafiyah, seperti az-Zaila’i dan Badruddin al-Aini. “Makruh hukumnya jika seorang wanita mengimami jamaah wanita. Begitu juga shalat berjamaah bagi para wanita, makruh hukumnya,” ujar al-Aini dalam kitabnya, al-Binayah Syarah al-Hidayah (2/336).
Makruh hukumnya jika seorang wanita mengimami jamaah wanita. Begitu juga shalat berjamaah bagi para wanita, makruh hukumnyaBADRUDDIN AL-AINI
Ulama mazhab Hanafiyah lainnya, Ibnu Abdin, dalam kitab Radd al-Muhtar ala ad-Dur al-Mukhtar mengatakan, wanita yang ingin shalat berjamaah sesama wanita dihukumi makruh. Mereka boleh melakukan shalat berjamaah dengan sebab-sebab tertentu. Menurut Abdin, jika kaum wanita tetap ingin shalat berjamaah, posisi imam harus berada di tengah-tengah (tidak maju sendiri di depan).
Sedangkan, mazhab Malikiyah memahami, shalat yang diimami wanita tidak sah walaupun seluruh makmumnya adalah wanita. Hal itu diyakini para ulama mazhab tersebut, seperti Abu at-Thahir at-Tanwikhi al-Mahdawi. Dalam kitabnya, at-Tanbih ’ala Mabadi Taujih, ia menyebutkan, pendapat yang masyhur dalam persoalan fikih ini adalah pendapat yang tidak membolehkannya.

Pendapat ulama Maliki lainnya, Ibnu Aiman, yang meriwayatkan dari Malik mengatakan, larangan wanita menjadi imam adalah jika makmumnya laki-laki. Hal itu berdalil dari sabda Rasulullah SAW, “Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki” (HR Ibnu Maajah). Namun, jika jamaah shalat tersebut semuanya wanita, tak menjadi persoalan bagi salah seorang wanita di antara mereka untuk mengimami shalat berjamaah.
Namun, pendapat itu dibantah al-Mahdawi, ulama dari kalangan Maliki sendiri. Menurut dia, menjadi imam tidak boleh dilakukan oleh wanita secara mutlak. Demikian juga dengan shalat. Sama halnya mengimami shalat fardhu atau shalat sunah. Sama juga halnya mengimami makmum yang wanita saja, apalagi mengimami makmum laki-laki. Ia berdalil, suara wanita adalah aurat, sedangkan imam harus membaca takbir setiap perpindahan gerakan shalat. Demikian juga untuk shalat jahar (Subuh, Maghrib, dan Isya). Imam harus membaca surah al-Fatihah dan ayat-ayat Alquran. Demikian ia terangkan dalam kitabnya, at-Tanbih ‘ala Mabadi at-Taujih (1/441).
Al-Qarafi, ulama mazhab Maliki, dalam kitabnya, Mudawwanah (2/241), menambahkan, larangan bagi wanita menjadi imam shalat bersifat umum dan mutlak. Sebagaimana syarat sahnya shalat, imam haruslah laki-laki. Ia merujuk kepada pendapat Imam Malik sendiri, shalat berjamaah kaum wanita tidak sah dan harus diulang kembali.
Adapun kalangan mazhab Syafi'iyah lebih dekat dengan pendapat Ibnu Aiman dari mazhab Maliki. Kaum Syafi'iyah meyakini, larangan wanita mengimami shalat berjamaah adalah ketika ada laki-laki di antara makmumnya. Jika semua mereka adalah wanita, shalatnya dipandang sah.
Sebagaimana diterangkan Ibnu Maajah dalam al-Minhaj al-Qawim karya Ibnu Hajar al-Haitami, ia hanya melarang wanita mengimami laki-laki. Demikian pula pendapat al-Khatib asy-Syirbini, salah seorang ulama Syafi'iyah. Menurut dia, shalat berjamaahnya kaum wanita adalah sah sebagaimana sahnya shalat laki-laki sesama laki-laki.
Asy-Syirbini mengategorikan lima bentuk shalat berjamaah yang dipandang sah, yaitu laki-laki bermakmum kepada laki-laki, khuntsa (kelamin ganda) bermakmum kepada laki-laki, wanita bermakmum kepada laki-laki, wanita bermakmum kepada khuntsa, dan wanita bermakmum kepada wanita. Itu diterangkan dalam kitabnya, Mughni al-Muhtaj (1/482).
Bagi mazhab Syafi’i, disunahkan bagi wanita mengimami jamaah wanita dalam shalat wajib dan shalat sunahIMAM AL-MAWARDI
Jadi, ringkasnya, mazhab Syafi'iyah memandang sah shalat berjamaah kaum wanita, bahkan memandangnya sebagai sunah (dianjurkan). “Bagi mazhab Syafi’i, disunahkan bagi wanita mengimami jamaah wanita dalam shalat wajib dan shalat sunah,” demikian diterangkan Imam al-Mawardi, ulama mazhab Syafi'iyah dalam kitabnya, al-Hawi al-Kabir (2/356)
Pendapat yang sama dengan Syafi'iyah juga didukung mazhab Hanabilah. Ulama dari kalangan Hanbali, Ibnu Qudamah, menyetujui wanita menjadi imam bagi kaum wanita lainnya, baik dalam shalat sunah maupun wajib. Imam Ahmad sendiri tak mempersoalkan jika kaum wanita ingin menegakkan shalat berjamaah dengan sesama mereka.

Pendapat ini juga didukung mazhab Zahiriyah. Mereka memandang shalat berjamaah yang dilakukan sekelompok wanita adalah hasan (amal baik). Tokoh mazhab tersebut, Ibnu Hazm, mengatakan, pembolehan shalat berjamaah wanita tersebut karena tidak ditemui dalil spesifik yang melarangnya. Demikian ia terangkan dalam kitabnya, al-Muhalla bil Atsar (2/167).
Lantas bagi mazhab yang membolehkan, bagaimanakah tata cara pelaksanaan shalat berjamaah tersebut? Mazhab Hanafiyah mengatakan, imam wanita harus berdiri di tengah dan sejajar dengan wanita lainnya. Kalaupun agak maju sedikit ke depan, diperbolehkan, tapi tidak seperti imam laki-laki yang berdiri sendiri di depan. Ia hanya maju sedikit sebagai penanda bahwa dia adalah imam. Demikian diterangkan ulama mazhab Hanafi, seperti as-Sarakhsi, al-Kasani, dan Ibnu Humam.
Pendapat yang sama juga diyakini mazhab Syafi'iyah. Imam harus berdiri di tengah dan posisinya sejajar dengan shaf pertama. Menurut as-Syairazi, Aisyah RA dan Ummu Salamah RA pernah mengimami shalat para sahabiyah dengan berdiri sejajar dengan mereka (HR Baihaqi).
Ibnu Hazm dalam al-Muhalla bil Atsar (2/168) menambahkan, boleh bagi imam wanita untuk mengeraskan bacaannya. Hal itu dapat dilakukan jika lokasi shalat berjamaah ada di rumah dan terhindar dari fitnah.
Disadur dari Harian Republika Edisi 14 Agustus 2015
Soal Pembatasan Shalat, ITB: Tidak Cukup Waktu
Panitia masih kesulitan untuk mengatur waktu dan mobilitas sekitar 5.000 mahasiswa baru.
SELENGKAPNYATata Cara Wudhu dan Shalat di Pesawat
Dalam pesawat, arah kiblat mungkin berbeda tergantung pada rute penerbangan.
SELENGKAPNYAImam Shalat Perempuan, Bolehkah Suaranya Dikeraskan Saat Pimpin Shalat?
Ada perbedaan pendapat ulama bagaimana membaca ayat Alquran saat imam wanita memimpin shalat jahriyah
SELENGKAPNYA