ILUSTRASI Bagian dalam kubah Masjid Suleiman di Turki. Dahulu, pendiri Turki Utsmaniyah dikisahkan bermimpi memiliki kerajaan yang menaungi dunia. | DOK WIKIPEDIA

Dunia Islam

Kemunduran Turki Utsmaniyah Hingga Munculnya 'Era Tulip'

Berbagai tanda-tanda kemunduran di Turki Utsmaniyah sesudah sultan Suleiman I wafat menjadi awal datangnya Era Tulip.

Jatuhnya Konstantinopel pada 1453 menyadarkan seluruh Eropa tentang kekuatan Turki Utsmaniyah. Apalagi, kerajaan Islam itu pun terus meluaskan wilayahnya hingga ke Semenanjung Balkan. Di bawah pemerintahan sultan Suleiman I (1494-1566), kekhalifahan ini mencapai titik kejayaannya. Area kekuasaannya mencakup tiga benua sekaligus: Asia, Eropa, dan Afrika.

Namun, sebagaimana pepatah "roda selalu berputar," dinasti yang didirikan Osman Ghazi itu pun menemui bayang-bayang senja kala. Terutama sejak medio abad ke-16 M, Turki Utsmaniyah kian menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Dalam artikelnya, “Some Reflections on the Decline of the Ottoman Empire” (1958), sejarawan Princeton University Bernard Lewis mengatakan, Utsmaniyah melemah sesudah kematian Suleiman I.

Sebaliknya, bangsa-bangsa Eropa (Barat) mulai menjadi lawan yang tangguh bagi kerajaan Islam itu. Terlebih lagi, mereka sudah mahir mencapai Samudra Hindia, yakni jalur langsung menuju perdagangan "emas hitam"--rempah-rempah--tanpa harus melalui Laut Tengah, yang dikuasai Turki. Perlahan namun pasti, sejumlah kekuatan Barat, semisal Portugis dan Spanyol, memiliki koloni di berbagai wilayah pesisir samudra tersebut.

Keadaan semakin menguntungkan bagi Eropa sejak "penemuan" Amerika. Dari benua tersebut, mereka memperoleh (baca: menjarah) banyak emas dan perak. Dengan fondasi ekonomi yang kuat, negeri-negeri Barat membangun kekuatan militer yang cakap. Tidak jarang Utsmaniyah kalah saing saat menghadapi mereka di berbagai pertempuran.

Pada 12 September 1683, Perang Wina (the Battle of Vienna) pecah. Hasilnya, Turki Utsmaniyah kalah, sedangkan Romawi Barat (Holy Roman Empire) dan koalisi kerajaan-kerajaan Kristen Eropa lainnya untuk pertama kalinya memetik kemenangan besar. Para sarjana Kristen abad itu percaya, pertempuran tersebut menandakan titik balik penting dalam sejarah, di mana “Turki Utsmaniyah tidak lagi menjadi ancaman bagi dunia Kristen.”

photo
Lukisan yang menggambarkan situasi Perang Wina. - (DOK WIKIPEDIA)

Fakta itu diakui pula oleh para sejarawan Turki. Misalnya, Silahdar Findiklili Mehmed Agha (1658-1723) yang menggambarkan perang tersebut sebagai “kekalahan telak bagi Kekhalifahan sejak terbentuk pada 1299.” Perang Vienna diketahui merenggut nyawa lebih banyak prajurit Turki (sekitar 20 ribu orang) daripada pasukan Sobieski (15 ribu orang). Koalisi Kristen mendapatkan harta rampasan perang yang melimpah ruah.

Beberapa tahun kemudian, Perang Mohacs berlangsung. Utsmaniyah dikomandoi Perdana Menteri Sari Suleyman Pasha, sedangkan koalisi Kristen oleh Raja Charles V. Pada 12 Agustus 1687, balatentara Charles V yang telah bersekutu dengan Dinasti Habsburg dari Austria akhirnya memenangkan pertempuran.

Krisis melanda

Setelah itu, krisis terjadi di internal pasukan Utsmaniyah. Suleyman Pasha ketakutan akan pemberontakan para prajuritnya sendiri. Ia pun kabur ke Belgrade dan lalu Istanbul. Di Ibu Kota, Sultan Mehmed IV menghukum mati bekas jenderalnya itu. Namun, eksekusi itu tidak lantas mengubah keadaan. Sebab, militer Utsmaniyah terlanjur mengalami perpecahan.

Puncaknya, persekongkolan terjadi untuk menjatuhkan sang sultan. Saudara lelaki Mehmed IV, Suleiman II, kemudian menggantikannya sebagai raja. Mehmed IV sendiri sempat berstatus tahanan di Istana Topkapi sebelum diizinkan mengasingkan diri ke Edirne. Di sanalah bangsawan berjulukan Avci (‘Sang Pemburu’) itu menghembuskan nafas terakhir.

Sepanjang zaman Sultan Suleiman II (1642-1691) hingga Mustafa II (1644-1703), Turki terus menerus mengalami stagnansi. Mau tak mau, para petinggi Kesultanan mengakui keunggulan bangsa Eropa dalam berbagai bidang, terutama militer dan politik.

Pengganti Sultan Mustafa II ialah Ahmed III (1673-1736), yang juga salah seorang putra Sultan Mehmed IV. Ia meneruskan kebijakan pendahulunya terkait ekspansi militer di Semenanjung Balkan. Pada permulaan abad ke-17, Utsmaniyah terlibat konfrontasi dengan Republik Venesia dalam memperebutkan kendali atas Yunani. Walaupun sempat unggul, kesultanan akhirnya kalah di medan tempur Petrovaradin (1716). Sebab, Venesia bertambah kuat sejak berkoalisi dengan Dinasti Habsburg.

Barat menjadi kiblat

Pada awal pemerintahannya, Sultan Ahmed III mesti menghadapi tiga ajang pertempuran secara gradual, yakni Perang Venesia, Perang Austria-Turki, dan Perang Rusia-Turki. Kekuatan militer Utsmaniyah pun kian tergerus dan bahkan acapkali kalah. Sang sultan memiliki seorang penasihat bernama Damat Ibrahim Pasha (1662-1730). Ia telah mengenal Ibrahim Pasha sebelum dirinya naik tahta. Sosok kelahiran Nevşehir itu terkenal cerdas dan piawai dalam berdiplomasi. Begitu Ahmed III duduk sebagai raja, ia pun diberi jabatan sebagai perdana menteri (PM).

Ibrahim Pasha meyakini, angkatan bersenjata Utsmaniyah harus dilatih dengan cara-cara Barat. Oleh karena itu, ia mendukung inisiatif damai antara kekhalifahan dan negeri-negeri Eropa Kristen. Dalam membendung kekuatan Austria dan Rusia, misalnya, ia menyarankan agar Turki menjalin kerja sama dengan Prancis. Dalam suratnya kepada duta besar Prancis, sang perdana menteri berkata, “Dua imperium ini (Prancis dan Utsmaniyah) bila bersatu dapat menentukan arah sejarah dunia.”

Terkait urusan luar negeri, PM Ibrahim Pasha selalu tertarik untuk mengamati bangsa-bangsa Eropa dari dekat. Dalam arti, ia sering bertemu dan berdiskusi dengan para duta besar Inggris, Belanda, dan Prancis di Istanbul. Demikian pula, ia kerap meminta para duta besar Turki di luar negeri untuk memantau seksama perkembangan negara setempat. Inilah yang membedakannya daripada para pendahulunya. Sebab, mereka cenderung bersikap masa bodoh terhadap Barat.

photo
Ibrahim Pasha - (DOK WIKIPEDIA)

Sebelum era Sultan Ahmed III, pekerjaan para duta besar di negeri-negeri asing cenderung seremonial belaka: menerima dan mengirimkan surat kerajaan, menghadiri upacara kenegaraan setempat, atau mengonfirmasi berita perjanjian. Kini, Ibrahim Pasha dengan restu Sultan Ahmed III mendorong mereka agar bekerja lebih detail lagi—terutama para duta besar di Paris dan Vienna. Tujuannya supaya situasi dan kondisi setempat dapat terus terpantau. Dengan demikian, hubungan diplomatik antara Istanbul dan masing-masing negara Barat dapat terjalin saling menguntungkan.

Ibrahim Pasha merancang berbagai kebijakan politik dalam dan luar negeri Turki untuk sultan selama 13 tahun. Sultan Ahmed III sendiri selalu mempercayakan urusan pemerintahan kepada sang perdana menteri. Untuk menjaga stabilitas politik, sang grand vezir menunjuk sanak familinya untuk mengisi pos-pos penting. Sejarawan Turki Ahmet Refik (1881-1937) menamakan periode kepemimpinan Sultan Ahmed III—dengan pengaruh langsung perdana menterinya itu—sebagai Era Tulip.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Menemukan Kedamaian Dalam Islam

Pengalaman shalat menyentuh hati Melanie Georgiades untuk mengenal Islam lebih dekat.

SELENGKAPNYA

AR Rahman, Terkenang Janji di Masjid

Komposer musik, AR Rahman, masuk Islam saat berusia 23 tahun.

SELENGKAPNYA

Langkah Mewujudkan Merdeka Finansial untuk para Generasi Sandwich

Sebelum investasi penting untuk pelajari setiap jenis risikonya.

SELENGKAPNYA