Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Indonesia Merdeka

Sudahkah para elite negeri menghayati sepenuh jiwa raga makna kemerdekaan?

Oleh HAEDAR NASHIR

 

Indonesia menjadi negara merdeka sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. Kini, usia Republik 78 tahun. Suatu perjuangan bangsa dan negara yang tidak mudah, sarat dinamika dari fase ke fase perjalanan sejarah Indonesia.

Nama Republik ini secara konstitusional hanya satu, yaitu Indonesia. Tidak ada nama lain!

Cukupkah merayakan kemerdekaan dengan pekik “Merdeka” dan berbagai upacara? Para petinggi gegap gempita berpakaian adat simbol kedaerahan.

Pendek kata hari kemerdekaan dirayakan dengan segala kemeriahan dan kegembiraan.
Lumrah bila kita gembira dan merayakan segala ritual seremonial untuk Indonesia merdeka.

 
Lebih dari itu, terutama bagi para petinggi dan elite negeri, sungguh penting berefleksi diri. Mengapa dan untuk apa Indonesia harus merdeka?
 
 

Namun lebih dari itu, terutama bagi para petinggi dan elite negeri, sungguh penting berefleksi diri. Mengapa dan untuk apa Indonesia harus merdeka?

Sudahkah para petinggi dan elite negeri menghayati sepenuh jiwa raga tentang makna terdalam dan konsekuensi dari kemerdekaan? Apakah spirit, pemikiran, kehendak, tujuan, dan cita-cita nasional yang diletakkan fondasi dan bangunan keindonesiaannya oleh para pendiri negara benar-benar dipahami dan dijalankan dalam seluruh perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan?

Bagaimana sejatinya seluruh kebijakan, perundangan-undangan, dan arah perjalanan Republik tercinta sejalan dengan Pancasila, konstitusi, dan cita-cita luhur kemerdekaan Indonesia!

Bangunan Indonesia

Harapan seluruh pihak, Indonesia saat ini berjalan searah dengan dasar, jiwa, pikiran, dan cita-cita Indonesia merdeka! Jangan sampai terjadi distorsi, deviasi, dan kontradiksi dalam berindonesia. Agar Indonesia hari ini sama sebangun dengan kehendak para pendiri negara sebagaimana termaktub dan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.

Indonesia saat ini jangan sampai jauh panggang dari api kemerdekaan. Indonesia yang berwajah beda. Apalagi sekadar Indonesia ragad fisik tanpa sukma. Seperti sebuah bangunan yang berusia puluhan tahun, tapi karena tidak dirawat dengan baik, akhirnya rapuh dan rusak.

Sementara arah perjalanannya berada di banyak persimpangan jalan. Pada level yang inderawi, orang sering melihat bangunan dari tampilan fisiknya yang megah. Sedangkan rohani keindonesiaannya hampa nirmakna.

Sukarno dan para pendiri Indonesia sejak awal telah mewanti-wanti dengan saksama. Sebab, Negara Indonesia yang diperjuangkan kemerdekaannya dengan jiwa dan raga yang sarat pengorbanan tinggi sejatinya bukanlah sekadar ragad fisik.

Kemegahan fisik sehebat apapun dari bangunan Indonesia jika tanpa nyawa atau jiwa hanya akan menjadi Indonesia yang hampa. Menjadi Indonesia fatamorgana.

 
Kemegahan fisik sehebat apapun dari bangunan Indonesia jika tanpa nyawa atau jiwa hanya akan menjadi Indonesia yang hampa. Menjadi Indonesia fatamorgana.
 
 

Menurut Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, Indonesia yang dimerdekakan itu haruslah memiliki "Philosofische grondslag", yaitu “pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi".

Sukarno sepuluh kali menyebut fondasi dari bangunan Indonesia itu sebagai “Weltanschauung”, yakni suatu pandangan dunia. Di situlah letak jiwa utama bangunan Indonesia, yang oleh Mr Soepomo disebut “nyawa”, yaitu Indonesia yang bernyawa!

Indonesia yang dimerdekakan 78 tahun itu pun jelas kepemilikannya, yakni seluruh rakyat Indonesia. Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?

Sukarno menjawabnya sendiri, “Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu?

Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, --tetapi "semua buat semua".

Ketika sekelompok orang atau golongan menguasai negeri dan Tanah Air ini dengan nafsu hegemoni bernama oligarki. Oligarki ekonomi. Oligarki politik. Oligarki keagamaan. Juga ketika siapa pun dan kelompok manapun dengan hasrat dan orientasi kekuasaan yang tinggi ingin menguasai segala ihwal kehidupan berbangsa dan bernegara.

Maka layak dikonfirmasikan bagaimana sejatinya nasib Republik Indonesia hari ini jika diukur keberadaannya dari nilai-nilai fundamental Indonesia merdeka!

Jiwa kenegarawanan

Indonesia 78 tahun! Apapun dapat dikumandangkan dengan ringan dalam bentuk pekik merdeka, slogan, simbol-simbol, atribut, upacara-upacara, tagline, hingga segala rumusan pemikiran dan kebijakan verbal bernegara.

Namun sejalankah semuanya itu dengan jiwa, pikiran, tujuan, dan cita-cita nasional yang diletakkan fondasinya oleh para pendiri Indonesia yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi dasar fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kunci jawabannya terletak pada internalisasi, institusionalisasi, dan aktualisasi nyata kehidupan bernegara oleh para elite dan warga bangsa! Khususnya oleh para penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia di seluruh struktur pemerintahan dari pusat sampai daerah.

Apakah seluruh elite atau pejabat negara sepenuhnya berjiwa, berpikiran, dan bertindak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta denyut nadi keindonesiaan. Demikian pula warga negara dan seluruh elitenya dari berbagai golongan, kelompok, dan lingkungan di seluruh Indonesia.

 
Apakah seluruh elite atau pejabat negara sepenuhnya berjiwa, berpikiran, dan bertindak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta denyut nadi keindonesiaan.
 
 

Semoga seluruhnya sejalan sehaluan dalam berbangsa dan bernegara. Bukan dalam kata-kata dan segala ritual verbal, tetapi dalam kehidupan dan praktik nyata.

Para elite dan pejabat negara dituntut jiwa kenegarawanannya untuk menempatkan pikiran, tindakan, dan kepentingan Indonesia di atas kepentingan serta legasi diri, kroni, dinasti, dan hajat golongan sendiri.

Ingatlah kewajiban konstitusi para penyelenggara pemerintahan negara sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 yang sangat tegas dan terang benderang:

Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Diktum-diktum mendasar inilah yang penting untuk dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan kebangsaan oleh seluruh aktor penyelenggara negara.

Tatkala membangun Indonesia tercinta selalulah bertanya apakah berdiri tegak lurus di atas dasar, misi, dan visi utama keindonesiaan beserta seluruh kepentingannya. Jangan sampai kemegahan fisik dan legasi pembangunan itu lepas dari nyawa Indonesia sebagaimana diingatkan Mr Soepomo dan filosofi negara sebagaimana diletakkan oleh Sukarno 78 tahun yang lalu.

Apakah diperuntukkan bagi sebesar-besarnya hajat hidup rakyat dan negara Indonesia, bukan untuk kepentingan diri, kroni, dinasti, dan golongan sendiri!

 
Apakah para elite negeri dan seluruh tokoh komponen bangsa berpijak di atas sendi nilai kebenaran, kebajikan, etika, dan keutamaan dalam berbangsa dan membawa Indonesia?
 
 

Apakah para elite negeri dan seluruh tokoh komponen bangsa berpijak di atas sendi nilai kebenaran, kebajikan, etika, dan keutamaan dalam berbangsa dan membawa Indonesia?

Sebaliknya, tidak melibatkan diri pada ironi dan kontradiksi dengan membiarkan apalagi membenarkan yang salah, keliru, dan sesat langkah demi meraih kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat inderawi dalam berbangsa dan bernegara.

Demikian pula dalam bersikap dan melangkah tidak salah kaprah, lain di kata lain tindakan nyata, serta segala retorika yang jauh panggang dari api dalam berindonesia!

Ketika seluruh elite tengah sibuk berkompetisi untuk Pemilu 2024 dengan segala hiruk-pikuk politik yang menyita hampir seluruh energi bangsa. Apakah sekadar berpikir untuk berebut kekuasaan semata dengan segala dalih dan retorika yang memikat atas nama kepentingan rakyat dan negara, tapi praktiknya lain di dunia nyata.

Benarkah untuk negara dan bangsa Indonesia? Bukan untuk kepentingan kuasa diri, kroni, dinasti, dan golongan sendiri yang jauh dari api cita-cita Indonesia merdeka.

Semoga seluruhnya sepenuh hati, pikiran, dan tindakan berjiwa kenegarawanan Indonesia!

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Mengapa Islam Melarang Kartun Rasulullah?

Penggambaran sosok Nabi tidak boleh dilakukan dengan tujuan apa pun.

SELENGKAPNYA

Muhammadiyah Pasang Seribu Panel Surya

Panel surya tersebut akan dipasang di rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, hingga gedung di bawah naungan Muhammadiyah.

SELENGKAPNYA

Merdeka, Takwa, dan Korupsi

Merdeka artinya masing-masing tahu diri apapun jabatannya, jauhi korupsi.

SELENGKAPNYA