Petugas melakukan perawatan panel surya pada PLTS di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Rabu (21/9/2022). | ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

Liputan Khusus

Beralih ke Energi Bersih Butuh Revolusi Mental

Perlu kesadaran untuk melakukan migrasi dari penggunaan energi fosil ke energi baru dan terbarukan

Melakukan transisi energi membutuhkan dukungan dari semua pihak, tak terkecuali masyarakat. Menurut pengamat ekonomi energi Universitas Gadjad Mada Fahmy Radhi, Butuh kesadaran kolektif agar bangsa Indonesia bisa beralih ke energi bersih. Berikut petikan wawancara Republika dengannya. 

photo
Pengamat Ekonomi Energi Fahmy Radhi (kanan) . - (ANTARA FOTO)

Sejumlah target besar telah dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo terkait program transisi energi. Haruskah ini dilanjutkan?

Saya kira kalau transisi energi, siapa pun presidennya, bahkan dalam periode-periode berikutnya, dia harus melanjutkan karena ini merupakan komitmen bersama Indonesia dengan negara-negara lain. Sehingga, kalau Indonesia tidak melanjutkan program transisi energi, kita akan dikucilkan negara-negara lain karena ada satu komitmen untuk mencapai zero karbon pada 2060. Negara lain juga melakukan itu. Jadi, tidak hanya oleh presiden yang terpilih di Pemilu 2024, tapi terus sampai 2060 sebagai target net zero emission.

Hanya memang perlu penyesuaian dengan kemampuan yang dimiliki oleh indonesia. Dan yang penting juga dalam transisi energi perlu revolusi mental yang saya nilai gagal.

Ini kan perubahan suatu paradigma dari satu tujuan untuk mencapai satu tujuan tertentu. Nah, dalam transisi energi, perubahan paradigma yang sangat dibutuhkan adalah suatu kesadaran, baik itu personal maupun dalam konteks bangsa ini untuk melakukan migrasi dari penggunaan energi fosil ke energi baru-terbarukan. Saya menilai perubahan paradigma itu belum terjadi.

Apakah sudah muncul kepedulian masyarakat untuk melakukan transisi energi?

Belum peduli sama sekali. Artinya, perubahan paradigma sebagai suatu bangsa, apakah itu sebagai konsumen atau produsen, bahkan di kalangan pemerintah sendiri, itu belum semuanya peduli. Masih merasa nyaman menggunakan energi fosil.

Contohnya, kita sebelumnya sudah membuat produk BBM energi baru dan terbarukan (EBT) dengan (bahan bakar solar) B35. Tapi, dia kemudian berhenti. Kemudian, gasifikasi yang mengubah batu bara menjadi gas tabung berhenti juga. Maka, menurut saya, itu belum ada satu perubahan atau satu kesadaran untuk melakukan migrasi tadi.

Apakah program Just Energy Transition Partnership (JETP) bisa mempercepat transisi energi?

JETP itu berawal dari komitmen negara-negara maju saat Paris Agreement untuk memberikan bantuan ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Itu untuk (menghimpun) bantuan dalam bentuk dana, teknologi, hingga capacity building.

Nah, komitmen tidak pernah direalisasikan. Lalu, saat G-20 di Bali dimunculkan lagi dan ada komitmen riil dalam bentuk dana. Tetapi, saat dibentuk, JETP itu (dana, Red) tidak kunjung turun dan tampaknya itu belum bisa direalisasikan.

Tapi, transisi energi harus tetap dilanjutkan dengan alternatif pendanaan lain. Maka, pemerintah bisa mengundang investor untuk masuk, misalnya untuk kebutuhan pensiun dini PLTU batu bara karena PLN itu tidak sanggup membiayai sendiri. APBN pun tidak sanggup.

Menurut Anda, apakah program pensiun dini PLTU batu bara yang dirancang sudah tepat? 

PLN sudah membuat roadmap, jadi saat pensiun dini harus ada gantinya. Oleh karena itu, PLN dan pemerintah harus mencari investor. Bagi investor, yang penting adalah perhitungan untung dan rugi, lalu terkait return of investment (ROI) akan berapa kembalinya.

Pemerintah perlu memastikan bahwa prospek pembangkit EBT ini memang profitable dan ROI itu dapat dihitung. Selama ada kepastian itu, saya yakin Indonesia bisa, sehingga dana dari JETP itu hanya sebagai pendamping saja.

Lalu, bagaimana tanggapan Anda terkait program subsidi kendaraan listrik?  Hal apa yang harus diperbaiki?

Menurut saya, roadmap yang harus dilakukan adalah fokus membangun ekosistem. Bukan ekosistem belum terbentuk, lalu masuk di hilir. Tidak peduli siapa yang produksi, apakah Cina, Korea, kemudian diberikan subsidi. Sekarang pemerintah loncat langsung memberikan subsidi. Ini tidak tepat sama sekali.

Seharusnya ekosistem tadi dipastikan. Misal, baterai listrik itu bisa diproduksi di indonesia. Kemudian juga harus ada syarat yang ditetapkan. Pabrik harus di Indonesia, TKDN (tingkat komponen dalam negeri, Red) jangan 45 persen, tapi 85 persen agar nilai tambah itu dapat tinggi. Dan, yang ketiga, harus ada komitmen dari investor untuk melakukan transfer of technology, terutama di bidang sumber daya manusia.

Lalu, dalam lima tahun, seluruh pekerjanya dari indonesia. Dengan syarat itu maka Indonesia tidak hanya menjadi sebagai pasar, tapi produsen yang punya nilai tambah.

Melihat bakal capres saat ini, apakah mereka akan berkomitmen terhadap transisi energi?

Saya belum lihat para capres apakah punya narasi soal transisi energi. Tapi, yang saya dengar hanya melanjutkan. Yang pasti, tantangan yang dihadapi dalam lima tahun ke depan akan berbeda, jadi tidak bisa plek seperti yang dilakukan Jokowi.

Namun, kalau terkait substansi program transisi energi, ekosistem pembangunan, hilirisasi (nikel untuk baterai mobil listrik) sampai ke mobil listrik, itu narasi yang harus dibangun untuk melanjutkan program.   

Dukung Transisi Energi, BUMN Gencarkan Pemanfaatan PLTS

Pemanfaatan PLTS di jalan tol mampu menekan emisi.

SELENGKAPNYA

Transisi Energi pada Keketuaan Indonesia di ASEAN

Ada beberapa tantangan yang dihadapi ASEAN dan strategi yang dapat dilakukan untuk melakukan transisi energi.

SELENGKAPNYA

Gas Bumi dan Transisi Energi

penggunaan gas bumi perlu diakselerasi agar target emisi nol bersih bisa tercapai.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya