
Liputan Khusus
Filantropi Hijau demi Masa Depan Umat
Permasalahan lingkungan menjadi isu yang tidak bisa ditinggal, bahkan menjadi bagian dari filantropi Islam.
Oleh A SYALABY ICHSAN
Belasan titik cokelat tampak di pucuk perbukitan di Desa Cibunian, Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Titik-titik tersebut merupakan jejak longsor yang hampir terjadi setiap tahun.
Terakhir kali, bencana yang memakan korban jiwa di desa yang termasuk dalam zona merah bencana tersebut terjadi pada 22 Juni 2022. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat tiga korban tewas, sedangkan satu lainnya hilang.
Cibunian menjadi salah satu titik bencana hidrometeorologi pada 2022. BNPB mencatat setidaknya ada 3.544 bencana sepanjang tahun lalu. Ribuan peristiwa tersebut didominasi oleh bencana hidrometeorologi, seperti tanah longsor dan banjir yang terjadi akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
Lihat postingan ini di Instagram
Upaya pencegahan dilakukan oleh para pegiat filantropi, salah satunya dengan skema hutan wakaf. Khalifah Muhammad Ali, pendiri Yayasan Hutan Wakaf Bogor, mengungkapkan, hutan wakaf adalah hutan yang dibangun di atas tanah wakaf. Hutan yang sebelumnya dimiliki individu atau lembaga, dibeli dengan dana wakaf untuk kemudian diwakafkan. Kepemilikannya pun berpindah dari milik pribadi (wakif) menjadi kepunyaan Allah SWT.
Aset itu lantas dikelola demi kepentingan mauquf alaih, penerima manfaat atas pengelolaan wakaf. Dalam konteks hutan wakaf, penerima manfaat ini didefinisikan sebagai kepentingan umum.
Khalifah menegaskan, wakaf tidak boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan. Wakaf yang telah ditentukan peruntukannya juga tidak dapat diubah fungsinya. Jika sebuah lahan diikrarkan untuk dijadikan hutan maka selamanya harus dikelola sebagai hutan. Hanya saja, Khalifah mengungkapkan, pihak wakif seyogianya bisa menambahkan kebermanfaatan lahan tersebut di dalam ikrar wakaf selain untuk hutan, seperti untuk pendidikan atau sarana sosial.

Hingga kini, ada tiga zona dan lima bidang lahan yang sudah berhasil dibebaskan dan dikelola menjadi hutan. Jika ditotal, ujar dia, luas lima hutan wakaf di Desa Cibunian mencapai sekitar 1 hektare. Keberadaan hutan wakaf diharapkan Khalifah bisa menjaga agar hutan tidak berpindah tangan. Dengan adanya hutan wakaf, dia berharap Cibunian bisa menjadi daerah bebas longsor. Apa yang kita lakukan mudah-mudahan bisa menjadi contoh di mana saja.
Selain di Bogor, hutan wakaf juga sudah berdiri lebih dahulu di Aceh. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga baru-baru ini membangun hutan wakaf di Sukabumi.
Pembangunan hutan dengan konsep wakaf sesuai dengan wakaf hijau yang dikampanyekan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) BWI Prof Nurul Huda menjelaskan, wakaf hijau bisa berbentuk wakaf hutan, wakaf pertanian, hingga wakaf energi terbarukan. " Itu area-area yang pernah kita masukkan yang sifatnya green wakaf itu dikembangkan melalui BWI melalui pendekatan nazir-nazir yang ada di bawah binaan BWI," ujar dia.
Menurut Nurul, BWI mengundang para wakif untuk ikut berwakaf dalam program wakaf hijau. Selain berwakaf, masyarakat juga bisa berdonasi untuk membangun infrastruktur di hutan wakaf sehingga bisa menjadi objek wisata berbasis wakaf.
BWI juga mengundang masyarakat sekitar yang memiliki usaha untuk membuka usaha di situ sehingga membuat perekonomian berputar di sekitar wakaf hutan. "Dari sisi tourism ada, menggerakkan ekonomi masyarakat sekitar ada, dan membantu mereka yang tidak mampu juga ada. Karena manfaat wakafnya harus disalurkan," ujar dia.
Tidak hanya itu, dia menegaskan, wakaf hutan ini juga berkontribusi besar untuk melestarikan lingkungan. Hutan yang lestari diharapkan mampu memproduksi oksigen dari pepohonan yang tumbuh di dalamnya.
Yang pertama menjadi korban adalah mustahik yang notabene fakir miskin. Mereka tidak punya safety net sama sekaliCITRA WIDURI Ketua Bidang Inovasi FoZ
Isu seputar lingkungan juga tak luput dari perhatian lembaga amil zakat (LAZ). Ketua Bidang Inovasi Forum Zakat (FoZ) Citra Widuri menyebutkan, golongan pertama yang akan mendapatkan kesulitan dari dampak perubahan iklim adalah mustahik. Ketika temperatur bumi naik 0,2 derajat sehingga terjadi perubahan iklim, manusia akan gagal panen, gagal melaut, hingga kesulitan karena penyerbukan pohon buah-buahan terganggu.
"Yang pertama menjadi korban adalah mustahik yang notabene fakir miskin. Mereka tidak punya safety net sama sekali," ujar dia saat dihubungi Republika, Senin (7/8/2023).

Jika program LAZ dahulu sebatas dakwah, kemanusiaan, pendidikan, ekonomi, dan kesehatan, kini permasalahan lingkungan adalah isu yang tidak bisa ditinggalkan, bahkan menjadi bagian dari maqashid syariah (tujuan syariah) dari filantropi Islam. "Semua aktivitas manusia tidak akan berarti apa-apa ketika lingkungan ini rusak. Mengutip quote, ketika pohon terakhir sudah ditebang dan ikan terakhir sudah ditangkap, manusia baru akan sadar mereka tidak bisa makan uang," kata Citra.

Dia mengeklaim hampir semua anggota FoZ punya program lingkungan. Namun, pendekatan tiap lembaga berbeda. Ada yang langsung bergerak di bidang konservasi hingga membangun hutan produktif.
Pendekatan pembangunan komunitas diambil demi prinsip keberlangsungan. LAZ menggunakan akad pengelolaan yang memperhatikan kesetaraan dan kesamaan akses dengan skema bagi hasil demi prinsip pemberdayaan. Lembaga lainnya bergerak langsung di perbaikan lingkungan dan terlibat di agenda-agenda mikro yang berkaitan dengan penanaman mangrove di pesisir. Hasilnya dimanfaatkan untuk sektor ekonomi, menyejahterakan ekonomi masyarakat sekitar.
Salah satu tantangan pemanfaatan dana zakat untuk lingkungan karena lingkungan tak termasuk dalam delapan asnaf (golongan yang bisa menerima dana zakat). Padahal, perlindungan lingkungan hidup saat ini merupakan salah satu prioritas terpenting umat."Saya mengusulkan agar salah satu kriteria mustahik adalah mereka yang terdampak perubahan iklim dan pemanasan global, yaitu masuk ke asnaf fakir miskin. Mereka yang berjuang melawan perubahan iklim dan pemanasan global yaitu masuk ke asnaf fisabilillah," kata pakar zakat Yusuf Wibisono.
Dunia sudah berada dalam kondisi darurat perubahan iklim dan pemanasan global. Dia menjelaskan, dunia kini terancam menghadapi salah satu bencana terbesar yang mempertaruhkan kelangsungan hidup manusia, yaitu kegagalan mencegah kenaikan suhu bumi hingga 1,5 derajat celsius pada 2050. Dalam skenario 1,5 derajat celsius saja, dunia akan mengalami penurunan produksi pangan yang signifikan karena kekeringan rata-rata akan mencapai dua bulan setiap tahunnya."Maka ancaman kepunahan tanaman, hewan, dan juga manusia adalah nyata dan tidak jauh di depan kita," ujar Yusuf.
Yusuf menyarankan agar arah program lingkungan para lembaga filantropi Islam difokuskan pada upaya pencegahan dan mitigasi perubahan iklim. Lembaga terkait juga diminta untuk memperkuat sinergi dengan pemangku kepentingan lainnya. Dia mengungkapkan, lembaga filantropi masih terfokus pada upaya jangka pendek, seperti penyediaan air bersih di daerah yang kekeringan.
Wakaf Hijau Sedang Berkembang
Konsepsi wakaf ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk menjamin pelestarian hutan
SELENGKAPNYAKembali ke Alam Lewat Wakaf
GWF menyajikan bagaimana model bisnis yang tepat untuk penerapan wakaf hijau di lapangan.
SELENGKAPNYARasulullah dan Tradisi Wakaf
Perbuatan yang semakna dengan wakaf telah dilakukan oleh orang-orang yang terdahulu sebelum Islam datang.
SELENGKAPNYA