Penprof : Ada Modifikasi Di Revitalisasi Monas | Republika

Nasional

RUU Cipta Kerja Ancam PAD

PAD dinilai sebagai salah satu indikator keberhasilan otonomi daerah.

 

JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng memprediksi draf Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menurunkan pendapatan asli daerah (PAD). Sebab, urusan pemerintahan yang bertujuan untuk percepatan pelayanan dan perizinan berusaha diambil alih pemerintah pusat. 

"Pastinya (PAD) berpotensi turun. Kalau kemudian izin-izin itu dikeluarkan oleh pusat semua, apakah mungkin kabupaten/kota mau mengawasi. Belum kalau kita bicara soal pendapatan karena pajak retribusi selama ini dikenakan atas layanan, pengenaan layanan itu ya berbasis perizinan itu," tutur Robert di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (20/2).

Ia mengatakan, ketika perizinan menjadi kewenangan pemerintah pusat dan hanya menyuruh pemerintah daerah (pemda) mengawasi, pemda tidak mendapatkan retribusi dari pelayanan dan perizinan berusaha. PAD adalah pendapatan yang bersumber dan dipungut sendiri oleh pemda. Sumber PAD terdiri dari pajak daerah, restribusi daerah, laba dari badan usaha milik daerah (BUMD), dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. KPPOD mengkhawatirkan, pemda tak melakukan pengawasan ketika tak menerima PAD.

 
 Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang berdasarkan Undang-Undang dilaksanakan oleh menteri atau kepala lembaga dan Pemerintah Daerah.

          Pasal 162 Ayat (2) RUU Cipta Kerja

 

"Kalau perizinan diberikan ke pusat, disuruh pemda mengawasi, enggak ada namanya retribusi pengawasan tanpa perizinan. Mau //enggak// dia ikut repot dalam mengawasi, ikut membiayai cara kerja pemerintah kita, yang suka //enggak// suka beginilah sistem dan aturannya," kata Robert menegaskan.

Peneliti KPPOD Herman Nurcahyadi Suparman menambahkan, dasar hukum pajak dan retribusi daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. UU itu mengatur pajak dan retribusi daerah mana saja yang dapat ditarik masing-masing pemda tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan begitu, pemda tak bisa mengambil pajak dan retribusi daerah yang sudah ditentukan dalam UU tersebut. Namun, persoalan muncul ketika pajak dan retribusi daerah diatur pemerintah pusat. Yakni, ketika pemerintah pusat memberikan insentif kepada wajib pajak berupa pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah. 

"Ketika diresentralisasi, persoalannya yang jadi ruh otonomi adalah PAD-nya, yang menjadi indikator otonomi berhasil adalah PAD. Nah, ketika itu ditarik ke pusat bagaimana bagi hasil ke daerah," kata dia. Akibatnya, sangat mungkin terjadi pengurangan PAD. Sebab, selama ini sumber PAD terbesar berasal dari pajak dan retribusi daerah.

"Ketika itu pajak ditarik pusat, pasti pendapatan berkurang. Daerah selama ini, misalnya, dari pajak bumi bangunan. Atau di beberapa tempat, pajak penerangan jalan cukup tinggi dan jadi sumber utama PAD. Dan, ketika itu ditarik ke pusat, dengan sendirinya PAD menurun," ujar Herman.

Cari solusi

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, seluruh kritikan terkait Omnibus Law Cipta Kerja akan dibahas saat sinkronisasi antara DPR dan pemerintah. "Sebelum dibahas itu ada inventarisasi masalah. Ketika itu masuk daftar inventarisasi masalah, berarti itu //kan// ada masalah," kata Dasco. Ia menjanjikan, DPR akan mencari solusi bersama ketika ada pasal yang menyinggung soal otonomi daerah dan masuk ke dalam inventarisasi masalah.

Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengeklaim RUU Cipta Kerja telah mempertimbangkan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Ia menuturkan, pemerintah pusat hanya ingin mengatur layanan perizinan sesuai standar layanan yang sudah ditetapkan pemerintah pusat. Pemerintah pusat akan segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) pelaksanaan RUU Cipta Kerja yang mengatur mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK).

Tujuannya, penerbitan PP agar terdapat standardisasi pelayanan penerbitan perizinan usaha oleh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Kendati kewenangan penerbitan perizinan berusaha juga ada di tangan pemerintah daerah, NSPK ditetapkan presiden. “Jadi, kewenangan penerbitan perizinan berusaha pada prinsipnya ada di pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang pelaksanaannya berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh presiden,” kata Susiwijono.

Ia menjelaskan, konsepsi RUU Ciptaker ini berkaitan dengan semua penerbitan perizinan berusaha yang akan dilakukan melalui Sistem Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau sistem Online Single Submission (OSS). Penyederhanaan perizinan berusaha melalui sistem elektronik dilakukan untuk menyesuaikan dengan era digital secara terintegrasi.

Ia mengaku, perizinan berbasis elektronik ini telah direkomendasikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu langkah pencegahan korupsi sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat