Logo halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) terpampang dipintu masuk salah satu restoran cepat saji di Jakarta, beberapa waktu lalu. Pemerintah merasa kehadiran UU Jaminan Produk Halal sangat penting dan bermanfaat bagi pelaku ekonomi (industri dan produsen | Yasin Habibi/Republika

News

'Standar Halal Ormas Perlu Diseragamkan'

MUI melalui Komisi Fatwa selama ini adalah satu-satunya pihak yang menetapkan kehalalan suatu produk.

 

JAKARTA -- Rencana pelibatan ormas Islam dalam penetapan fatwa halal perlu dibahas secara mendalam. Salah satu hal yang mesti disepakati bersama ormas-ormas adalah standar dan kriteria kehalalan suatu produk.

Keterlibatan ormas Islam dalam proses sertifikasi halal diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau omnibus law. Sejumlah pasal dalam RUU tersebut mengatur bahwa penetapan produk halal tak hanya bisa dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) seperti dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Wakil Ketua Umum PP Persatuan Islam (Persis) KH Jeje Zaenudin menilai pelibatan ormas Islam merupakan langkah positif apabila tujuan utamanya untuk mempermudah proses sertifikasi halal. Kendati demikian, ia mengingatkan perlu adanya kesamaan standar proses dan pengujian kehalalan sebuah produk di lembaga-lembaga fatwa yang ada di ormas.

"Tanpa ada penyamaan atau keseragaman, dikhawatirkan ada perbedaan penyimpulan atas halal atau tidaknya suatu produk," kata KH Jeje, Rabu (19/2).

Menurut dia, dampak positif dan negatif wacana melibatkan ormas-ormas Islam masih perlu dikaji. Jangan sampai rencana pelibatan ormas dalam menetapkan fatwa halal menimbulkan ketidakpastian hukum. "Mungkin prosesnya bisa lebih simpel dan lebih cepat. Tapi, ketidakpastian hukum bisa membuat konsumen kebingungan," ujar dia lagi.

Ketua Dewan Syura al-Irsyad al-Islamiyyah KH Abdullah al-Djaidi mengatakan, keberadaan MUI sebenarnya sudah merupakan representasi dari ormas-ormas Islam. Selain itu, fatwa MUI merupakan wujud fatwa kebersamaan yang diputuskan bersama-sama ormas Islam.

 



Oleh karena itu, menurut dia, penghapusan peran fatwa MUI sebagai rujukan utama penetapan produk halal dan melibatkan ormas Islam dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru. Hal itu bisa memicu munculnya tarik-menarik k epentingan ekonomi dan perbedaan fikih. "Sehingga menimbulkan ketidakharmonisan kembali hubungan antara ormas Islam yang saat ini sudah semakin membaik, tertata rapi, dan solid," kata KH Abdullah.

Oleh karena itu, KH Abdullah menyarankan, MUI perlu dikokohkan sebagai satu-satunya lembaga fatwa bagi umat Islam Indonesia. "Hal ini demi tetap terjaganya persatuan dan mendorong kemajuan bangsa," kata dia menegaskan.

Perlibatan ormas Islam secara terbatas adalah saran dari cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra. Ia menilai pelibatan ormas Islam dalam penetapan fatwa halal harus dibatasi. Menurut dia, selain MUI, dua ormas Islam sudah cukup sebagai pihak lain yang digandeng dalam mengeluarkan fatwa halal.

"Harus ada semacam klasifikasi dan kualifikasi, jadi tidak semua ormas Islam, biar tidak menimbulkan kekacauan," kata Azyumardi kepada Republika di Tangerang Selatan, Rabu (19/2).

Jika semua ormas Islam berbadan hukum diberi wewenang untuk penetapan fatwa halal, menurut Azra, itu bisa menimbulkan masalah. Salah satunya terkait standardisasi penetapan fatwa halal di samping hal-hal lain yang bakal menyulitkan koordinasi.

 
Tanpa ada penyamaan atau keseragaman, dikhawatirkan ada perbedaan penyimpulan atas halal atau tidaknya suatu produk.



Azra mengatakan, MUI melalui Komisi Fatwa selama ini adalah satu-satunya pihak yang menetapkan kehalalan suatu produk. Dia pun tidak sepakat jika hanya Komisi Fatwa MUI yang dapat menetapkan fatwa halal. "Itu wujud monopoli dan segala bentuk monopoli merupakan hal yang tidak baik," kata dia.

Menurut Azra, dengan tidak adanya monopoli, masyarakat akan memiliki pilihan. "Segala sesuatu yang monopoli itu jelek. Karena itu, harus kalau bisa dua atau tiga (lembaga), tapi harus diberikan wewenang oleh pemerintah," tutur dia.

RUU Cipta Kerja mengubah sejumlah pasal dalam UU JPH. Dalam Pasal 10 ayat 1 UU JPH disebut bahwa kerja sama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan MUI meliputi sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk, dan akreditasi lembaga pemeriksa halal (LPH).

Dalam naskah RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan pemerintah ke DPR, pasal tersebut diubah. Kerja sama BPJPH nantinya tak lagi hanya dengan MUI, tetapi juga dengan ormas Islam berbadan hukum. Kemudian, kewenangan sertifikasi auditor halal dan akreditasi LPH oleh MUI juga dihapus. Hal itu berdampak pada Pasal 33 UU JPH.



Ayat pertama pasal itu berbunyi, "Penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI.” Sementara, dalam RUU Cipta Kerja, redaksional ayat itu menjadi "Penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI dan dapat dilakukan oleh ormas Islam yang berbadan hukum." Artinya, kurang lebih, sidang fatwa halal juga nantinya bisa dilakukan ormas Islam.

Dalam kasus tertentu, RUU Cipta Kerja juga mengatur bahwa BPJPH bisa langsung mengeluarkan sertifikat halal tanpa penetapan dari MUI dan ormas Islam. Misalnya, pasal tambahan 35A mengatur, "Dalam hal LPH dan/atau MUI atau ormas Islam yang berbadan hukum tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, BPJPH mempunyai wewenang mengambil alih proses sertifikasi halal."


Sikap DPR
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, DPR akan membahas usulan pemerintah dalam RUU Cipta Kerja terkait keterlibatan ormas Islam dalam penetapan fatwa halal. "Kita juga akan meminta masukan dari masyarakat dan para ulama karena ini menuai pro dan kontra," kata Dasco di gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (19/2).

Meski belum bisa berkomentar banyak, Dasco melihat ada niat baik pemerintah terkait produk halal, khususnya bagi pelaku usaha kecil yang ingin memperoleh sertifikat halal. "Pasal itu bertujuan supaya ada penghematan dan waktunya (proses pengurusan—Red) singkat," katanya.

 



Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto mengaku mendukung rencana keterlibatan ormas Islam. Menurut dia, hal tersebut dapat membuat pengusaha kecil lebih mudah mendapatkan sertifikat halal. Namun, kebijakan tersebut perlu ditopang sejumlah peraturan. Perlu ada standar ataupun kriteria bagi ormas Islam dalam menetapkan kehalalan suatu produk.

Pemerintah juga harus tetap memegang kendali atas proses sertifikasi halal. "Jangan sampai sertifikasi halal ini menjadi komoditas di mana orang tiba-tiba mengambil keuntungan komersial dari sertifikasi halal itu," ujar Yandri.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily menyuarakan hal serupa. Keterlibatan ormas Islam dianggap dapat mempermudah proses sertifikasi halal yang selama ini dinilainya sulit dan rumit. "Sertifikasi halal memang seharusnya tak dimonopoli. Hal tersebutlah yang membuat proses pengurusan sertifikasi halal selama ini dinilai berbelit-belit dan tak memiliki prosedur jelas," katanya.

Terkait adanya perbedaan pandangan dalam ormas Islam dalam mengeluarkan fatwa, menurut dia, hal itu bisa dibahas bersama oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat