Huru Hara di Rumah Datuk | Daan Yahya/Republika

Sastra

Huru-hara di Rumah Datuk

Cerpen Rusyda Savira

Oleh RUSYDA SAVIRA

Maka kebanyakan orang pun mengganti bajunya dengan warna hitam. Datuk Singgih meninggal. Lalu kampungku tiba-tiba jadi lain, terasa ada kesedihan yang mendalam. Seorang baik budi itu meninggalkan banyak kebaikan yang akan dikenang orang.

Berbeda dengan kesedihan warga di luar sana, di dalam rumah Datuk Singgih malah timbul sebuah ketegangan. Ketegangan itu kini semakin tampak menggejala dengan merosotnya jumlah senyum antarsanak saudara, berganti menjadi wajah-wajah kaku dan khawatir. Saling curiga tentang siapakah yang akan mendapat warisan paling besar.

Perihal rebutan warisan, sebenarnya tidak lagi menjadi isu yang baru di kampungku. Sudah kerap terjadi ustaz dari luar kampung diundang datang ke rumah-rumah yang baru saja kehilangan tetuanya. Tidak lain lagi tugas ustaz itu adalah mengatasi pertengkaran antara sanak saudara yang berebut warisan, seperti melerai kucing yang bertengkar.

Tetapi keteganganku pada kasus rebutan warisan kali ini memang tak ada duanya. Ayahku sudah lain air mukanya sejak tadi. Selama Datuk dimandikan, disholatkan, lalu dikuburkan, semakin suram pula suasana ku amati. Aku hanya tak menyangka mungkin hari inilah aku akan menyaksikan sendiri dengan mataku sebuah pertengkaran populer di kampung ini yang biasanya hanya kudengar gelegarnya dari dalam kamar sambil menutup telinga.

 

 
Perihal rebutan warisan, sebenarnya tidak lagi menjadi isu yang baru di kampungku.
 
 

 

Semua rangkaian pemakaman sudah selesai. Semua warga menyampaikan bela sungkawa pada keluarga besarku, lalu mereka pulang. Di ruang keluarga rumah Datuk sudah berkumpul tiga lelaki bersaudara, yang salah satunya adalah ayahku.

Kulihat sepupuku berdecap-decap sambil mengusap dada, “Gusti Pangeran, ustaz manakah yang akan jadi penyelamat kami hari ini?” bisiknya terdengar di kepalaku.

Para menantu Datuk hanya cengar-cengir. Tanpa seorang pun terkecuali, mereka bergabung bersama suaminya saling berbisik-bisik. Sampai saudara tertua mulai membuka suara, “Siapakah ustaz yang akan menengahi kita hari ini?” Lalu, semuanya menjadi serius, sudah tahu ke mana arah pembicaraan itu akan berlangsung.

“Terserah, yang penting jangan Ustaz Mukhlas dari kampung sebelah” jawab Paman Udin, saudara termuda.

Lha, memang kenapa?” ayahku pun mulai buka suara.

“Kemarin aku diceritani, katanya Ustaz Mukhlas itu selalu nurut sama pendapat saudara yang paling tua saja.”

“Bagaimana jika Ustaz Siddiq? Sepertinya beliau sudah bolak-balik datang ke kampung ini dalam urusan warisan,” ayahku pun mencoba memberi saran.

“Jangan!” sela Budhe Dewi mengagetkan semua orang, “Dari desas-desus di kalangan ibu-ibu, ustaz itu katanya menerima sogokan, ya takutnya dari kita semua ini sudah ada yang mempersiapkan sogokan. Saya kan juga tidak tahu. Bagaimana kalau Ustaz Farid saja?” Jawabnya sambil bolak-balik melirik pada ayah dan ibuku.

Ibuku pun tersinggung merasa ayahku dicurigai, “Saya juga tidak tahu barangkali ada juga yang sudah mempersiapkan kandidat ustaz lain yang juga sudah didikte.”

Ketegangan pun mulai naik, aku dan sepupuku saling bergandengan tangan, “Ya Gusti, kasihanilah kami, dua cucu yang malang ini,” bisik sepupuku lagi.

Setelah percakapan pembuka yang agak panjang, semua pun sepakat untuk memanggil ustaz yang tidak biasanya dipanggil dalam urusan warisan, tak lain adalah ustaz kampungku sendiri. Tak lama, hanya sepuluh menit sejak keputusan itu dibuat, Ustaz Ghozali sudah datang. Begitu rapi dengan baju koko putih, sarung, dan kopiahnya.

Kedatangannya disambut senyum dan dipersilakan duduk di kursi, tak lupa diberi hidangan juga. Seperti yang kuduga, kehangatan dan senyuman-senyuman sambutan palsu itu tidak lama umurnya. Ketegangan pun meliputi kami kembali.

 
Maka Ustaz Ghozali mempersilakan setiap putra Datuk Singgih mengemukakan pendapatnya.
 
 

Maka Ustaz Ghozali mempersilahkan setiap putra Datuk Singgih mengemukakan pendapatnya. Saudara tertua, ayahku, dan Paman Udin berbicara satu per satu bergantian. Saudara tertua, Pakdhe Jalil mulai mengeluarkan hasil pemikirannya, menurutnya dialah yang harus menerima warisan paling besar karena saudara yang paling tua kebutuhan hidupnya paling banyak, dia yang lebih memerlukan uang dibanding yang lain.

Sepupuku satu-satunya, anak Pakdhe Jalil itu senyum-senyum saja mendengar pendapat ayahnya, merasa bangga. Aku pun terkesima, tak terpikir sama sekali di otakku ide pendapat seperti itu. Tepat setelah Pakdhe Jalil bicara, Paman Udin berdiri dari tempat duduknya, ingin protes. Tetapi, Ustaz Ghozali menghentikannya, mengemukakan pendapat haruslah sesuai urutan dahulu.

Kemudian Ustaz Ghozali meminta ayahku berbicara. Ayahku yang cerdas itu pun mulai buka suara. Menurutnya, dialah yang harus menerima warisan paling besar karena selama hidupnya berbeda dengan yang lain, ayahku sekeluarga tinggal di rumah Datuk. Otomatis hal tersebut membuat ayahku bekerja lebih banyak untuk Datuk.

Ibuku yang selalu membersihkan rumah, aku yang sering kali memijat pundak Datuk, dan terakhir kali ketika Datuk sakit parah, ayahkulah yang paling banyak merawat Datuk sampai ke ajalnya. Aku membatin, “Masuk akal juga pendapat ayahku ini,” bahkan aku tidak tahu kapan ayahku mempersiapkan pidatonya itu. Mungkin tadi malam atau tadi pagi ketika kulihat keningnya berkerut-kerut.

Ternyata Paman Udin memiliki pendapat yang tak kalah cerdasnya, “Bagaimana bisa bukan saudara termuda yang mendapat warisan terbesar?” kalimat pembukanya saja sudah sangat persuasif.

Lalu, paman melanjutkan bicaranya, menurutnya saudara termuda adalah anak yang paling sedikit mendapatkan nafkah dari Datuk karena usianya yang masih pendek. Sehingga sebagai balasannya supaya adil dan sepadan dengan yang pernah Datuk nafkahkan pada kedua kakaknya, dialah yang harus mendapatkan warisan paling besar.

 
Ayahku yang cerdas itu pun mulai buka suara.
 
 

“Menurut saya, pendapat Kang Anam itu salah,” ucapnya mengomentari ayahku, “Bagaimana bisa Akang merasa yang paling berkorban untuk Datuk daripada yang lain, sedangkan Akang saja tinggal gratis di rumah Datuk, sementara saya membiayai rumah sendiri. Kang Jalil juga, bagaimana bisa berpendapat begitu, bukan kebutuhan akang saja yang banyak! Saya pun suatu saat juga akan punya anak dan banyak kebutuhan, masa depan mestilah kita pandang juga!” nada suaranya semakin meninggi.

Tanganku yang awal mulanya digenggam saja kini sepupuku sudah meremas-remasnya. Kulihat di sudut sana, Ustaz Ghozali dengan muka teduhnya tetap bertenang diri. 

“Heh, Udin! Jangan ngomong masa depan, apa kamu gak sadar pendapatmu tadi isinya hanya membahas masa lalu, membahas umurmu yang masih pendek itu dan masih kurang nafkah, apa itu bukan masa lalu?” Budhe Dewi seakan melahap ucapan Paman Udin dan langsung memuntahkannya kembali.

Kulihat, sepertinya mata sepupuku mulai panas melihat suara bersahut-sahutan yang semakin meninggi, apalagi menyaksikan sendiri ibunya bertegang muka dan menyangkal setiap pendapat dengan ketus. “Duh Gusti, baru kali ini kulihat model muka ibuku yang begitu” suara bisikannya sudah mulai bergetar.

“Anam! kamu juga jangan merasa paling berjasa merawat Datuk. Semua obat dan biaya rumah sakit Datuk itu kan suami saya yang nanggung! Kamu tinggal merawat saja banyak bangganya,” Budhe Dewi masih melanjutkan. 

Lha, dikira merawat orang sakit itu gampang? Lebih sulit mbak daripada memberikan uang saja lalu pergi, kalau sampeyan ndak pernah ikut merawat Datuk ya memang ndak akan tahu rasanya, tho?” ibuku bersikeras membela pendapat ayah.

“Iya, memang Kang Jalil dan Mbak Dewi sama sekali ndak pernah ikut merawat. Begitu apa merasa pantas dapat warisan paling besar?” Paman Udin bersuara lagi.

 
Berbeda dengan sepupuku yang panas matanya, yang terjadi dalam tubuhku adalah otakku yang panas.
 
 

Berbeda dengan sepupuku yang panas matanya, yang terjadi dalam tubuhku adalah otakku yang panas. Aku merasa menikmati adu pendapat ini. Perdebatan semakin seru, otakku bekerja keras mencerna semua isi debat. Setelah dibikin ‘wah’ oleh pendapat yang satu, aku lebih ‘wah’ lagi dengan pendapat yang setelahnya.

Lalu aku mendengar bisikan lagi, “Gusti Pangeran, sungguh aku ikhlas jika tidak menerima warisan. Sudahilah bencana ini.” Aku hanya tersenyum mendengarnya. Saat sepupuku yang cengeng itu mulai mewek, bertambah lebar bibirku tersenyum menyaksikan keseruan ini. Ternyata berebut warisan tak semengerikan yang biasa ku bayangkan saat mendengar huru-haranya dari dalam kamarku.

Namun, sesungguhnya aku terheran-heran dengan ketiga putra datuk yang setahuku semuanya pandai mengaji, ternyata dapat menjadi gila ketika memperebutkan harta duniawi.

Sepanjang perdebatan yang terus berlanjut, kerap kali kulirik ustadz Ghozali. Tenang-tenang disedekapkannya tangan didepan dada sambil menyimak yang sedang terjadi, sesekali sambil menyeruput teh panas yang dihidangkan, seakan membiarkan dahulu yang berdebat itu hingga puas. 

“Sebentar, dari tadi kok kita berdebat sendiri. Lalu, apa gunanya orang yang kita undang ini?” Pakdhe Jalil pun mulai menatap Ustaz Ghozali.

“Oh, sudah tibakah waktunya saya bicara?” sahut ustaz tenang.

Nggih, ustaz. Bagaimana pendapat njenengan terkait masalah ini?” Ayahku bertanya dengan pelan dan sedikit membungkukkan badan. Sepertinya mulai sedikit kembali ingatannya tentang sopan santun.

Ngapunten, saya tidak punya pendapat,” jawabnya.

Ternganga mulutku dibuatnya. Jawabannya itu membuatku ‘wah’ bukan lagi karena takjub, tetapi heran. Tak mungkin! Jika para kerabatku saja selalu memiliki jawaban yang membuatku ‘wah’, apalah lagi ustadz yang banyak ilmunya.

Aku yakin akan ada kalimat berikutnya, kulekatkan semua pandanganku pada ustaz itu dengan penuh rasa ingin tahu dan rupanya sepupuku tengah terheran juga. Aku terus menunggu dengan penasaran hingga Ustaz Ghozali mulai membuka lagi mulutnya.

“Daripada bertanya apa pendapat saya, sudahkah njenengan semuanya bertanya-tanya apa kiranya pendapat Tuhan?” katanya sungguh tanpa emosi. Semua terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

“Aturan yang pasti benar dan adil, hanyalah punya Tuhan. Untungnya, aturan itu sudah siap sedia dalam kitab. Mengapa kita tidak membuka saja kitab itu sekarang?”

Keluargaku tergagap, tak terkecuali sepupu cengengku, sedetik setelah mendengar ucapan ustadz Ghozali. Mereka beraut wajah baur dan buram. Otakku panas dingin, aku merasakan bunyi ‘deg’ yang keras di jantungku. Entah mengapa hatiku pun ngilu, merasa kerdil di hadapan Tuhan.

Mungkin begitu pula dengan yang lain, sebab dalam beberapa waktu tak kudengar satu sanggahan pun selagi Ustaz Ghozali membacakan isi kitab itu. Benar juga, siapalah pula yang lebih tahu aturan paling adil untuk kami, jika bukan pencipta kami sendiri? Oh, Ustaz Ghozali, argumenmu lah yang paling ‘wah’ hari ini! 

Rusyda Savira atau yang akrab dipanggil ‘Rus’ adalah penulis lepas berlatar belakang pendidikan sains. Selain menulis, Rus juga mengajar dan menjalankan beberapa bisnis.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Haji Indonesia dari Masa ke Masa

Penyelenggaraan haji yang diikuti jamaah Nusantara telah ada sejak berabad-abad silam.

SELENGKAPNYA

Ana' Burane

Puisi Jeremy Novandi Sarnio

SELENGKAPNYA