
Refleksi
Islam Periferi?
Tegasnya, orang-orang Muslim yang baik ada di mana-mana.
Oleh AZYUMARDI AZRA
Secara konvensional Dunia Islam, atau Dunia Muslim, dibagi banyak orientalis --kini sering disebut sebagai Islamis-- menjadi 'Islam pusat' (center) dan 'Islam pinggiran' (periphery). Dalam kategorisasi ini, Islam pusat adalah Timur Tengah, atau tepatnya Dunia Arab, yang secara historis memang merupakan tempat Islam diwahyukan dan pertama kali berkembang.
Dalam istilah lain, wilayah ini juga disebut sebagai 'Arab core' (wilayah inti Arab), yang jika dipersempit lagi adalah Makkah dan Madinah. Di kedua kota inilah Nabi Muhammad Saw menerima wahyu dan membina Islam. Dalam perkembangan lebih lanjut 'Islam pusat' tersebut, tidak hanya mengacu kepada Makkah dan Madinah, tetapi juga kepada Baghdad, dan Kairo, misalnya.
Dari kategorisasi inilah muncul anggapan yang keliru, bahwa Islam identik dengan Arab. Memang Islam tidak bisa dipisahkan dengan Arab, tetapi banyak aspek sosial-budaya, adat, dan politik Arab tidak selalu terkait dengan Islam. Karena itulah identifikasi dan persepsi yang keliru seperti ini tidak selalu menguntungkan dan bahkan bisa menyesatkan.
Dari kategorisasi inilah muncul anggapan yang keliru, bahwa Islam identik dengan Arab.
Hal ini terlihat jelas dalam perkembangan internasional yang penuh gejolak sejak perempatan terakhir abad ke 20 yang terus berlanjut pada awal milenium ketiga. Berbagai gejala sosial-budaya dan politik serta gejolak dan peristiwa yang terjadi di kawasan Arab sepanjang kurun ini diidentikkan dengan Islam dan kaum Muslimin secara keseluruhan.
Pada pihak lain, 'Islam periferi' adalah Islam yang berada di luar wilayah pusat atau Arab tersebut. Dengan mengecualikan wilayah Persia (Iran) dan Turki, istilah 'Islam periferi' mengacu ke wilayah-wilayah Muslim lain, yang ke arah Timur membentang dari Asia Selatan (khususnya Anak Benua India), sampai Dunia Melayu-Indonesia, dan ke arah barat daya mencakup kawasan sub-Sahara Afrika, yang juga biasa disebut sebagai 'Sudanic Africa' (Afrika Hitam).
Pembagian Dunia Muslim menjadi dua bagian seperti itu secara geografis mungkin benar. Tetapi sayangnya, kategorisasi itu sering atau bahkan biasanya juga dikaitkan dengan dua bentuk besar Islam.
Islam pusat adalah Islam Arab, yang dianggap sebagai Islam yang sebenarnya, Islam yang murni, Islam yang harus menjadi rujukan tunggal bagi Islam di tempat-tempat lain, khususnya di wilayah-wilayah yang disebut sebagai periferi. Dengan demikian, dalam anggapan ini Islam yang sebenarnya hanya ada di wilayah pusat ini.
Pada pihak lain, Islam periferal bisanya dikonotasikan sebagai tidak benar-benar Islam, untuk tidak menyebut 'quasi-Islam'.
Pada pihak lain, Islam periferal bisanya dikonotasikan sebagai tidak benar-benar Islam, untuk tidak menyebut 'quasi-Islam'; yakni Islam yang tidak murni, Islam yang sudah bercampurbaur dengan kepercayaan dan praktek keagamaan lokal. Sebagai konsekuensinya, kaum Muslimin di wilayah periferi ini dianggap sebagai 'bad Muslim", bukan Muslim sesungguhnya.
Konsekuensi lebih jauh, orang-orang Muslim di wilayah ini selalu menjadi sasaran 'pemurnian' --dari orang-orang yang berasal wilayah pusat, atau punya pretensi seperti itu-- bahkan kalau perlu dengan cara-cara yang tidak toleran, yang tidak bil-hikmah wal-mauzhatil hasanah.
Sejak waktu yang cukup lama saya menolak kedua kategorisasi Islam tersebut. Alasannya sederhana; dalam perjalanan historis yang begitu panjang, Islam telah sama-sama berakar kuat, tidak hanya di wilayah Arab core, tetapi juga di kawasan yang sering disebut sebagai 'periferi'.
Soal warna lokal, itu ada di mana-mana; tidak hanya di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan atau Afrika sub-Sahara, tetapi juga di wilayah-wilayah Arab. Ekspresi adat dan tradisi budaya lokal, yang beramalgamasi dengan pandangan dunia dan doktrin Islam tidak bisa dielakkan; hal ini seolah merupakan keniscayaan, jika Islam tidak hanya sekedar survive, tapi juga embedded dalam masyarakat lokal tertentu.
Tegasnya, orang-orang Muslim yang baik ada di mana-mana.
Lebih jauh, jika orang berbicara tentang 'good Muslims', maka mereka terdapat tidak hanya di Makkah, Madinah, atau Kairo; mereka juga ada di Jakarta, Kuala Lumpur, Karachi, Nairobi atau Timbuktu. Tegasnya, orang-orang Muslim yang baik ada di mana-mana.
Begitu juga sebaliknya, orang juga bisa menemukan 'bad Muslims' di semua kota tersebut; orang-orang Islam yang bukan merupakan Muslim yang taat dan saleh, yang tidak setia menjalankan ajaran-ajaran Islam, juga ada di mana-mana.
Makanya, percakapan tentang 'Islam in Southeast Asia and sub-Saharan Africa: Recentering the Periphery', di Rockefeller Center, Bellagio, Italia (12-14 Nopember 2005) merupakan kesempatan yang baik bagi saya untuk menegaskan sekali lagi tentang tidak relevannya kategorisasi 'center' dan 'periferi' tersebut.
Apalagi dengan globalisasi yang terus meningkat, arus transmisi dan pertukaran gagasan, wacana keagamaan dan bahkan sosial-budaya di antara berbagai bagian dunia --termasuk Dunia Muslim-- juga kian intens. Dengan begitu, yang semakin tercipta adalah Islam trans-nasional, yang melintasi batas-batas geografis, adat, tradisi sosial-budaya, mazhab, aliran dan semacamnya.
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 24 November 2005. Prof Azyumardi Azra (1955-2022) adalah cendekiawan Muslim terkemuka dan mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
El Nino Mengancam, Cadangan Beras Masih Tipis
Pemerintah berupaya keras mengamankan ketersediaan beras dari dalam negeri maupun impor.
SELENGKAPNYABersyukur Itu Kaya
Hakikat kekayaan adalah puasnya hati atas nikmat yang Allah SWT berikan.
SELENGKAPNYA