Deradikalisasi anak eks isis | Republika

News

Deradikalisasi Anak Eks ISIS Disiapkan

Kalau anak-anak itu bukan deradikalisasi karena belum terpapar.


JAKARTA Pemerintah masih mempertimbangkan untuk memulangkan anak-anak WNI mantan teroris lintas batas di bawah usia 10 tahun. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, pemerintah akan melakukan program kontraradikalisasi terhadap anak-anak WNI eks ISIS jika dipulangkan ke Tanah Air nanti.

"Kalau anak-anak itu bukan deradikalisasi karena belum terpapar. Kalau umur 10 tahun, belum ngerti, tapi istilah UU dikontraradikalisasi. Kalau sudah terpapar atau terpidana, itu deradikalisasi. Kalau anak-anak, itu kontra (radikalisasi)," ujar Mahfud di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (12/2).

Menurut Mahfud, sebanyak 689 WNI teridentifikasi menjadi teroris lintas batas (foreign terrorist fighters/FTF) di Timur Tengah. Data tersebut berasal baik dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelijen Negara (BIN), dan juga Dinas Rahasia Amerika Serikat (CIA). "Jadi, bukan data tunggal, sehingga yang terkonfirmasi itu 689. Kita punya, ada yang 1.300, ada yang 1.400. Kita punya itu yang terkonfirmasi. Kemarin angka yang bisa dipertanggungjawabkan 689," ucap Menko Polhukam.

Mahfud mempersilakan anak-anak WNI itu untuk melapor ke pemerintah. Sejauh ini, laporan terkait hal itu belum diterima oleh pemerintah. "Ya, kalau ada (anak-anak). Ini silakan saja lapor. Ini enggak ada. Hanya ada laporan dari pihak luar, bukan dari Indonesia. Indonesia sendiri sudah mencari ke sana. Sumbernya juga tidak pernah langsung ketemu orangnya," kata Mahfud.

Mahfud juga mengeklaim, pemerintah tidak pernah menerima permintaan pulang dari para FTF. Pemerintah hanya mendapatkan laporan dari otoritas maupun organisasi internasional terkait tentang keberadaan mereka.

Mahfud juga menjelaskan, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah mencoba untuk menjemput bola. Namun, pemerintah tidak dapat bertemu dan mendata mereka lebih lanjut karena mereka sendiri yang menghindar. "BNPT sudah ke sana, kita sudah ke sana. Hanya ketemu sumber-sumber otoritas resmi aja. Di situ ada ini katanya, tapi orangnya ndak pernah menampakkan juga," kata dia.

Mahfud pun menuturkan, orang-orang yang menjadi teroris tidak akan dipulangkan oleh pemerintah. Keberadaan mereka dinilai dapat membahayakan masyarakat. Terlebih, mereka sudah membakar paspor dan tidak mengakui diri sebagai WNI lagi. "Kalau teroris, pasti tidaklah. Yang sudah gabung dengan teroris, mau dipulangkan untuk apa? Malah kamu nanti yang berbahaya di sini," kata dia menegaskan.


Sikap berbeda akan dilakukan pemerintah terhadap orang-orang yang telantar di luar negeri dan bukan teroris. Mereka dapat melapor kepada kedutaan Indonesia di negara mereka berada untuk kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah. "Kalau memang ada orang telantar dan itu bukan teroris, pasti dilindungi oleh negara," ujarnya.

Lawan radikalisme
Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir ikut menanggapi polemik terkait warga Indonesia yang sempat bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Menurut Haedar, penolakan atau penerimaan mereka harus ditimbang secara saksama.

"Kami satu pandangan, ISIS adalah ideologi dan organisasi yang ekstrem, dan kita termasuk Muhammadiyah tidak mendukung dan menolak kehadiran ISIS di mana pun, baik di Timur Tengah apalagi sampai masuk Indonesia," kata Haedar seusai menerima kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi di kantor PP Muhammadiyah, Rabu (12/2).

Menurut Haedar, mereka yang terlibat ISIS dan sudah masuk kategori gerakan teroris internasional maka terkena hukum internasional. Dalam konteks lain, gerakan memoderasi pandangan ideologis yang ekstrem harus menyeluruh. Haedar menekankan, Muhammadiyah menyampaikan bahwa Indonesia harus bebas dari kecenderungan radikal ekstrem dalam bentuk apa pun.

Soal pemulangan anak-anak WNI eks ISIS, ia menerangkan, Muhammadiyah membaginya dalam dua pandangan. "Satu, yang kombatan dan memang mereka sudah tidak lagi WNI, ya, pemerintah sudah mengambil jalan pas untuk tidak memulangkan mereka," ujar Haedar.

Namun, bagi anak-anak yang kecil, telantar, dan perempuan yang menjadi korban dan mau kembali tapi sadar ideologinya salah, Haedar menilai mereka perlu diberi pilihan. Soal kapan waktunya, ia meminta pemerintah menentukannya dengan saksama.

"Itu pun, kalau dibuka opsi pulang, harus melalui proses karantina ideologis. Untuk apa kita punya BNPT dan program-program pembinaan mereka yang radikal ekstrem kalau tidak difungsikan untuk membina, baik yang ada di dalam maupun yang dari luar negeri?" kata Haedar.

Haedar menegaskan, semua harus berdasarkan verifikasi data dan seleksi yang tentu juga dilakukan saksama. Muhammadiyah, kata Haedar, siap membantu memoderasi, melawan yang radikal dengan cara moderat, tidak melawan radikal dengan cara radikal.



"Kita ingin semua saksama dan istilahnya itu blocking area. Kasus kecil tidak usah dibesar-besarkan. Berdasarkan kasus itu, kalau ada isu eks ISIS yang 660 atau apa pun, itu perlu diverifikasi, sebenarnya yang mau pulang berapa sih?" ujar Haedar.

Kemudian, ia melanjutkan, mereka yang ingin pulang itu perlu dilihat dalam kategori seperti apa saja. Misalnya, apakah ada anak-anak atau perempuan? Apa betul ada para kombatan yang ingin pulang dan lain-lain? Dengan begitu, isu ini tidak mengalami generalisasi dan dapat terverifikasi.

Melalui verifikasi, ia merasa semua dapat menjadi jelas dan mereka yang pulang bisa dikarantina. Apalagi, ini manusia yang secara fisik jelas adanya sehingga bisa betul-betul dibina, bukan virus yang sulit untuk dideteksi.

Terkait penolakan terhadap pemulangan, masyarakat perlu diberi pengertian bahwa dalam berbangsa dan bernegara selalu ada kesulitan. Pihak yang radikal pun ada di mana-mana. Tidak cuma pihak yang bermasalah secara ideologis, karantina WNI yang belum lama ini dari Wuhan saja juga memunculkan respons negatif.

Haedar menekankan, tugas pemerintah dan para tokoh-tokoh bangsa untuk memberikan pengertian seberapa jauh bahayanya atau tidak. Ketika betul-betul berbahaya, pemerintah harus mengambil keputusan. "Yang penting jangan ditularkan alam pikiran yang terlalu ketakutan berlebihan, atau sebaliknya, tidak punya kewaspadaan sehingga salah dalam mengambil langkah," kata Haedar.

Seusai pertemuan, Menlu Retno tidak banyak bicara terkait itu. Menurut Retno, masalah pemulangan anak-anak WNI eks ISIS sudah diserahkan kepada Menko Polhukam Mahfud MD. "Sudah disampaikan Pak Menko karena yang menjadi juru bicara untuk itu Pak Menko. Aku harus taat asas," ujar Retno.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat