Sepeda Tua | Daan Yahya/Republika

Sastra

Sepeda Tua yang Melintas di Depan Rumah

Cerpen Pandu WS

Oleh PANDU WS

Selama ini aku pikir dia sudah mati. Suatu hari saat duduk di teras, aku melihat seseorang mengendarai sepeda tua di jalan. Aku terkejut setengah mati melihat orang tersebut adalah Rustam. Awalnya, aku tidak mempercayai mataku. Tapi beberapa kali dia lewat depan rumah, dan itu memang dia.

Anakku tidak percaya padaku. Dia bilang itu adalah Pak Wira, lain waktu dia bilang itu Mbah Dariem, lalu Supri. Nama-nama orang yang aku tidak kenal. Tapi aku yakin bahwa orang yang sering lewat dengan sepeda itu adalah Rustam. Jadi, aku selalu menunggunya.

Sejak saat itu, anakku selalu mengawasi dan melarangku menghampiri Rustam setiap dia lewat. Jika anakku tidak di rumah, anaknya yang belum genap enam tahun lah yang diberi tugas mengawasiku.

Cucuku sebenarnya tidak terlalu memperhatikanku. Dia lebih banyak bermain di dalam rumah atau di halaman samping. Dia tidak akan menyadari jika aku menuju ke jalan. Masalahnya, jarak teras rumah dan jalan terpaut hampir setengah lapangan bola. Dengan usiaku ini, berlari pun aku merasa seperti kura-kura. Baru setengah jalan menuju jalanan, cucuku biasanya sadar dan akan berhasil menggagalkan niatku. Anak itu berlari sangat cepat.

Aku juga selalu terlambat sadar saat Rustam lewat. Tidak seperti dulu, saat sekitar rumah hanya berisi hamparan sawah, sekarang aku tak bisa mendengar derit rantai sepedanya di kejauhan. Dulu aku bisa mendengar meski jaraknya sejauh lapangan bola. Tapi sekarang kampung ini sangat bising. 

 

 
Sejak saat itu, anakku selalu mengawasi dan melarangku menghampiri Rustam setiap dia lewat.
 
 

 

***

Rustam adalah sahabat lamaku. Dulu setiap dia lewat depan rumah, aku akan mengejarnya. Kami akan bersepeda keliling desa, membawa sekarung bubuk kunyit yang telah diolah emaknya ke pasar, atau bersama menggoda kembang-kembang desa yang kain mereka akan tersingkap saat mencuci di kali sehingga menampakkan paha-paha putihnya. Salah satu yang tercantik dari kembang-kembang itu kemudian aku kawini. Rustam lah yang berjasa memperkenalkan kami.

Aku sangat ingin melepas rindu dan bercakap-cakap dengan Rustam. Banyak hal penting yang ingin aku bicarakan. Aku juga penasaran kemana dia selama ini. Terakhir aku melihat Rustam sekitar enam puluh lima  tahun lalu. Pertemuan terakhir kami saat itu terjadi di kantor desa. Sore itu, aku menemani Rustam membereskan perlengkapan setelah digunakan untuk rapat warga siang harinya. 

Aku yakin pak lurah senang dengan Rustam. Dia tak hanya memperoleh orang cakap untuk membantu bendahara desa, tapi juga tenaga untuk mengurus keamanan kantornya. Untuk tugas terakhir kusebut, aku hampir selalu diajak oleh Rustam. 

Dalam perjalanan pulang, kami membicarakan acara perkawinanku yang akan berlangsung bulan depan. Dia tak bisa menutupi kegembiraannya seolah dia yang akan kawin. Rustam memang kawanku yang benar-benar baik dan tulus.  Aku tak mampu mengatakan bahwa perkawinanku terancam batal karena masalah keuangan keluargaku. Modal kawinku adalah hasil panen sawah keluarga. Di luar dugaan, kampung kami sedang mengalami paceklik panjang dan serangan wereng batang yang selalu menggagalkan panen. Panen keluargaku pun tanpa hasil.

 

 
Dia tak bisa menutupi kegembiraannya seolah dia yang akan kawin.
 
 

 

Beberapa hari kemudian, kantor desa mendadak heboh. Uang kas desa raib. Para pegawai kelurahan bingung dan panik. Berita menyebar. Rustam, orang yang tahu dimana kas disimpan selain bendahara dan lurah, sekaligus yang bertanggung jawab pada keamanan kantor, menjadi sasaran kecurigaan. Beberapa warga tersulut emosinya. Para "musuh" lurah menemukan momentumnya. Mereka pun menegakkan mahkamahnya sendiri. Suatu malam, Rustam diseret ke tengah hutan. 

Setelah itu, Rustam tak pernah ada kabar lagi. Ada yang bilang dia sudah mati dan dikubur di hutan, ada yang bilang dibakar hidup-hidup, ada juga yang bilang dia masih hidup namun kemudian mati sendiri di hutan. 

Selama beberapa waktu aku tidak bisa tidur tenang. Tak ada satu orang pun yang sadar bahwa aku tahu dimana penyimpanan uang kas desa. Tidak ada yang mencurigaiku. Tiga pekan setelah Rustam hilang, aku melangsungkan perkawinan. 

Meski sudah puluhan tahun lalu, namun peristiwa itu seolah baru beberapa hari terjadi. Saat Rustam muncul bersepeda lewat depan rumah, aku sangat senang. Sesuatu dalam diriku seolah lepas. Aku harus menemui Rustam. Aku akan menunggu dan menghadangnya lagi. 

 

 
Meski sudah puluhan tahun lalu, namun peristiwa itu seolah baru beberapa hari terjadi.
 
 

 

***

Pelan-pelan aku melangkah ke pohon tanjung di tengah halaman. Aku pikir lebih baik duduk bersandar di pohon ini dulu selama beberapa waktu. Cucuku tak akan curiga dan aku bisa memangkas setengah jarak untuk sampai ke jalan. Jadi, begitu Rustam lewat, aku akan bisa menghadang sepedanya. 

Punggungku tersandar di tubuh pohon yang ku tanam puluhan tahun lalu ini. Kurentangkan kaki yang masih terasa ngilu setelah berjalan. Sungguh nyaman. Kupandang dedaunannya yang rimbun di atas. " Oh, Tuhan. Kenapa Kau jadikan manusia kian lapuk saat lanjut usia, sementara Kau jadikan pohon ini semakin kokoh dan gagah saat tua ?" Lalu aku lihat sang anak sedang bermain di sudut halaman. Dia menyendoki tanah dan memasukkannya ke bak truk mainannya.

Tak berapa lama, tampak sebuah sepeda tua datang. Sepeda itu melaju agak lambat. Itu Rustam. Aku segera bangun. Di usiaku sekarang, bangkit dari posisi duduk seperti ini adalah derita yang sempurna, sendi-sendi di lutut dan pinggang terasa mau lepas. Akhirnya, aku berhasil  berdiri.  Aku melihat ke arah cucuku. Dia masih asyik bermain. Lalu dengan segenap tenaga yang disisakan Tuhan aku melangkah ke jalan.

Tapi sungguh sial, nasib baik belum berjodoh denganku. Dia sudah lewat sementara aku belum juga sampai ke jalan. Kalau saja suaraku masih bertenaga seperti dulu, aku bisa saja berteriak memanggilnya. 

Aku masih terus melangkah dan sekarang sudah tepat berada di pinggir jalan. Tapi aku hanya bisa lihat sepeda Rustam yang terus menjauh.  Lalu aku memandang ke arah rumah. Aku melihat cucuku masuk ke rumah. Dia tak memperhatikanku. 

Aku melihat lagi ke arah Rustam yang melaju jauh. Aku harus bertemu dengannya. Aku harus menyusul. Ada keraguan di dalam diri, tapi ini adalah satu-satunya  kesempatanku untuk bisa bertemu dengannya. Belum tentu ada kesempatan lain. Aku pun melangkah menuju arah Rustam melaju. Aku berjalan, terus berjalan. Aku tak akan berhenti sebelum bertemu Rustam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Dusta

Puisi Novita Sari Gunawan

SELENGKAPNYA

Haji dan Keberkahan Wakaf

Habib Bugak Asyi menjadi contoh, betapa wakaf mengalirkan keberkahan bagi jamaah haji.

SELENGKAPNYA

Harga Kebahagiaan

Rupa-rupa cara untuk menukar uang dengan kebahagiaan.

SELENGKAPNYA