
Refleksi
Warisan Ibrahim dan Ismail
Begitulah hidup. Ada penerima dan ada pemberi. Ada yang miskin dan ada yang berkecukupan.
Oleh KH HASYIM MUZADI
Gerbang memori religi monoteistik kita nyaris setahun sekali berderit-derit, yakni hanya ketika hari sudah menjelang datangnya Hari Raya Idul Adha/Idul Qurban.
Seperti biasa, sebagian kita lantas mengidentifikasi diri sebagai figur-figur Nabi Ibrahim masa kini, yang mewarisi sikap hanafiyaat-nya dalam beragama, ketulusannya dalam berkurban, dan kebesaran jiwanya saat harus memenggal putranya, Nabi Ismail, dengan tangannya sendiri atas nama perintah dari "dunia amar" Allah.
Begitu "biasanya" kita melakukan identifikasi. Sampai-sampai, kita berani melakukannya terhadap dua sosok dalam momentum bersamaan: merasa diri seperti Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS sekaligus. Merasa sebagai bapak yang penuh takzim kepada Allah dan anak yang sam'an wa tha'atan atas perintah Tuhannya. Sungguh, amatlah tak mungkin ini terjadi. Allah memberikan ruang kepada kita untuk menentukan pilihan.
Nah, salah satu keping kisah perjalanan monoteistik Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang sampai kepada kita dan kita pun tak pernah abai melakukan perayaan setiap bulan Dzulhijjah adalah penyembelihan hewan kurban. Mereka yang memiliki keluasan rezeki menambahkannya dengan menunaikan ibadah haji ke BaitulLah. Yang sudah ke Haramain bisa melakukannya dengan penyembelihan hewan kurban.
Maka, tapak tilas atas perjalanan Nabi Ibrahim semakin sublim karena melibatkan beberapa nama lainnya, selain Ibrahim dan Ismail.
Maka, tapak tilas atas perjalanan Nabi Ibrahim semakin sublim karena melibatkan beberapa nama lainnya, selain Ibrahim dan Ismail. Misalnya, Siti Sarah dan Siti Hajar. Lalu, muncul tokoh antagonis seperti setan yang "setia" menggoda keluarga besar tempat lahirnya agama-agama samawi ini.
Lalu, ada pula perjalanan antara bukit Shafa dan Marwah. Ada pula tawaf mengelilingi Kakbah. Ada pula acara melempar jumrah untuk beberapa termin serta bagian-bagian lainnya yang tak terpisahkan dari manasik haji. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah ketika jamaah haji sudah berada di Padang Arafah, bermalam di Muzdalifah, dan mereka-reka perjalanan manasik Rasulullah SAW selama di Mina.
Tetapi, sekali lagi, ini hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang benar-benar memiliki kemampuan materi dan nonmateri. Bahkan, lebih khusus lagi, mereka pun ingin memenuhi panggilan Allah dan memang dipanggil oleh Allah.
Sebab, tidak sedikit di kalangan kita sendiri yang memiliki kelebihan rezeki, tetapi tak pernah sampai-sampai juga ke Rumah Allah. Bahkan, kadang mereka merasa tak pernah memiliki kesiapan untuk menjadi tamu Allah. Duh, Gusti!
Bagi mereka yang termasuk dalam golongan ini, ganjarannya adalah surga kalau mereka mendapatkan derajat haji mabrur. Lalu, adakah nilai dan pahala semacam itu bisa didapatkan oleh mereka yang tak memiliki kemampuan berangkat ke Tanah Suci? Mungkin, kita akan mendapatkan suasana nyaris sama kalau di Tanah Air kita dapat mengambil hikmah lainnya dari perjalanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Lalu, adakah nilai dan pahala semacam itu bisa didapatkan oleh mereka yang tak memiliki kemampuan berangkat ke Tanah Suci?
Misalnya, dengan menyembelih hewan kurban. Bagaimana hukumnya menyembelih hewan ini? Beragam jawaban dapat diberikan. Tetapi, kalau memang tidak memiliki kemampuan, tak ada kewajiban bagi kita untuk berkurban pada tahun ini. Tetapi, apakah memang kita sudah "menetapkan diri" untuk tidak berkurban sepanjang hidup kita?
Dengan alasan tak memiliki kemampuan, hidup didera kemiskinan akut, serta alasan-alasan lainnya, maka kita sering "terlena" untuk selalu disebut sebagai pihak yang berhak menerima pembagian daging hewan kurban, bukan pihak yang memberi dan menyalurkan daging hewan kurban.
Akibat lekatnya "dalil" itu pada kehidupan kita, nyaris setiap tahun nama kita masuk dalam daftar penerima hewan ternak. Kadang, kita suka tersinggung kalau tak disebut sebagai "miskin" dan berhak daging kurban itu.
Begitulah hidup. Ada penerima dan ada pemberi. Ada yang miskin dan ada yang berkecukupan. Ada kalah dan ada menang. Demikian seterusnya, urut-urutan dua keping mata uang kehidupan. Namun, jika mereka yang memiliki kemampuan masih merasa tak wajib berkurban padahal hidupnya tak berkekurangan, ancaman kepadanya pun datang langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
''Man kaana lahuu saa'atan walam yudhahhi falaa yaqrabanna mushallaanaa--Barang siapa memiliki keluasan rezeki/kesempatan, tetapi tidak berkurban, maka sekali-kali jangan mendekat ke tempat shalatku.''
Begitulah hidup. Ada penerima dan ada pemberi. Ada yang miskin dan ada yang berkecukupan.
Begitulah kira-kira Rasulullah menyikapi keadaan umatnya yang tidak mengindahkan dan kurang peduli terhadap ajaran berkurban yang menjadi tuntunan turun-temurun sejak kisah penyembelihan Nabi Ismail oleh ayahandanya, Nabi Ibrahim.
Secara harfiah, tuntunan Baginda Rasul ini menggambarkan, ibadah ritual harus selalu jalin-menjalin dengan komitmen untuk melakukan ibadah sosial. Kurang baik seseorang yang committed terhadap ibadah ritual, tetapi mengabaikan ibadah sosial.
Sebaliknya, ibadah sosial jangan berjalan sendiri tanpa sandaran ibadah ritual. Dua-dua seperti dua keping mata uang yang saling melengkapi, termasuk dalam ibadah kurban ini.
Lalu, bagaimana dengan sekelompok orang yang "ditakdirkan" mengisi daftar para penerima daging kurban? Apakah baginya tak ada anjuran untuk berkurban? Sejatinya, berkurban wajib dilakukan siapa saja tanpa membeda-bedakan yang berkecukupan dengan yang kekurangan.
Yang berkekurangan secara materi tentu saja bisa berkurban sesuai dengan versi dan kemampuannya sendiri-sendiri. Misalnya, mengurbankan keinginannya berpanjang angan-angan sehingga mengabaikannya untuk bersyukur.
Mereka yang memiliki kekuasaan juga wajib berkurban untuk berbagi peran dalam memakmurkan kehidupan kemanusiaan sebagai bentuk rasa syukurnya dan tanggung jawabnya kepada Allah.
Para alim dan cerdik pandai juga wajib berkurban untuk tidak mengklaim kebenaran datang dari kelompoknya. Maka, berkurban juga bisa dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Demikian sebaliknya, anak-anak bisa berkurban dengan tulus untuk memberikan bakti kepada kedua orang tuanya.
Mereka yang memiliki kekuasaan juga wajib berkurban untuk berbagi peran dalam memakmurkan kehidupan kemanusiaan.
Kalau kita tidak mengindahkan sikap Baginda Rasul soal berkurban dalam artian yang lebih luas, tentu saja konsekuensinya lebih jauh lagi. Kalau kita mengabaikan pengurbanan untuk kebaikan dan kepentingan kehidupan kemanusiaan, ancaman pun lebih dahsyat lagi.
Kalau kita mengabaikan hak-hak rakyat karena kekuasaan yang sewenang-wenang, ancaman bagi kita bukan "sebatas" dilarang mendekati tempat shalat Nabi Muhammad. Bisa-bisa kita dikategorikan telah mengabaikan dan mendustakan agama.
Agama secara jelas telah menguraikan siapakah orang yang masuk kelompok pendusta tuntunan Allah. Kalau kita mengabaikan dan tidak peduli dengan kehidupan yatim, kita telah mendustakan agama. Jika kita masa bodoh dengan kemelaratan kaum papa, kita juga telah mendustakan agama.
Kalau kemiskinan tidak teratasi setelah sekian puluh tahun republik ini berdiri, siapakah di antara kita yang bertanggung jawab dan bersiap memikul derajat pendusta agama?
Rasa-rasanya, ibadah kurban yang datang kembali tahun ini perlu kita sikapi dengan mengnyinergikan kemakmuran ibadah ritual dengan ibadah sosial. Tanpa ini, rasanya konstruksi keimanan kita bakal menjadi pertaruhan paling berat, kelak di hadapan Pengadilan Allah.
Di hadapan Ahkamul Haakimiin, Allah akan memutuskan derajat seperti apa yang pantas bagi kita yang mengabaikan sikap berkurban dan mengabaikan ajaran ketulusan dalam menerima perintah-Nya.
Rasa-rasanya, kita hanya akan mengandalkan rahmat-Nya yang memenuhi segala sesuatu karena amal kita, kelak tak akan berdaya menyelamatkan kita dari sergapan kemurkaan-Nya.
Maka, setelah terjadinya keselarasan antara ibadah ritual dengan ibadah sosial, kita tinggal berharap semoga semuanya berjalan sesuai dengan kehendak-Nya yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Semoga kita termasuk golongan yang gemar berkurban untuk semua. Wallaahu a'lamu bishshawaab.
Disadur dari Harian Republika edisi 7 Desember 2008. KH Hasyim Muzadi (1943-2017) adalah ketua umum PBNU periode 2000-2010.
Sejarah Haji dari Zaman Nabi
Usai menegakkan Ka’bah, Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk menyeru manusia yang beriman agar berhaji.
SELENGKAPNYACatatan Rihlah Haji di Masa Lalu
Perjalanan haji yang dilakukan Muslimin Nusantara di masa lalu menghadapi banyak tantangan.
SELENGKAPNYAHaji Lelah dan Penuh Derita
Nasib seperti itu akan dialami jamaah haji karena tidak fokus dalam melaksanakan ibadah tersebut.
SELENGKAPNYA