
Gaya Hidup
Jeli Mengenali Strategi Up Selling Agar tak Merasa Rugi
Beberapa waktu lalu, JCO Donuts menjadi topik pembicaraan hangat di jagat maya. Salah satu akun Twitter @txtdarionlshop mengunggah dua gambar dengan tulisan, “Ada yang pernah jadi korban upselling jeko?”. Foto pertama adalah foto tangan sedang menenteng kotak JCO Donuts.
Di foto itu terdapat tulisan “SURAT TERBUKA UNTUK JCO. PLISS!!! Tatar lagi Karyawan lo biar gak NGE LICIKIN PEMBELI YG GAK NGERTI KAYA GW.” Foto kedua adalah foto berbagai varian donat JCO di dalam boks.
Di foto itu tertulis, “Gw jadi harus spending more untuk kue yang sebenarnya gw gak mau beli. JUJUR SIH GW MANGKEL BANGET DI LICIKIN DENGAN CARA KAYA GINI.”
Ada yang pernah jadi korban upselling jeko??? pic.twitter.com/STuvD2hVq7 — txt olcop (@txtdarionlshop) May 20, 2023
Di luar sana mungkin banyak konsumen yang mengalami hal serupa. Salah satunya, Windy Kurniawati. Ia menceritakan pengalamannya tentang tebus murah di Alfamart. Awalnya, dia membeli kebutuhan bulanan.
“Biasa kebutuhan bulanan kan random ya, enggak melulu tentang kayak bahan konsumsi, yang nonkonsumsi juga ada,” ujar perempuan berusia 28 tahun ini, saat dihubungi Republika, beberapa waktu lalu. Sudah selesai memilih, Windy kemudian membayar di kasir.
“Tapi, nanti dilihat dulu total belanjaannya berapa. Biasanya di kasir Alfa sudah ada pamflet tebus murah gitu nanti kasir bantu buat menawarkan,” katanya. Apabila total belanjaan lebih dari Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu, Windy menyatakan, bergantung kebijakan tebus murah pada saat itu. Ada tebus murah Rp 5.000 dan ada juga tebus murah Rp 10 ribu.
Windy mengungkapkan, sebagai konsumen, kalau merasa di daftar tebus murah itu ada barang yang dibutuhkan, biasanya penawaran itu diambil. Kalaupun tidak, sebagai konsumen, dia menolak.

Dari segi kebutuhan, Windy berpendapat, tebus murah itu membantu jika ada produk yang dibutuhkan ada di daftar penawaran tersebut. Tetapi, kalau barang yang dibutuhkan tidak ada di daftar, memang harus rela untuk tidak mengambil tawaran tebus murah.
“Kalau dibilang merasa harus ngeluarin uang lagi pas bayar sih iya, tapi impact-nya di dompet enggak begitu terasa. Jadi, masih dalam kategori amanlah ya. Enggak yang merasa dirugikan,” ujar Windy saat ditanya apakah merasa harus mengeluarkan uang lagi saat membayar penawaran tebus murah.
Berikutnya, Windy mengutarakan bagaimana caranya agar tidak terjebak up selling. Yaitu, harus teliti kemudian sadar. Karena kalau tidak, bisa merugikan diri sendiri. “Kenapa aku bilang sadar? Soalnya kalau enggak sadar dan cuma memenuhi ego, barang yang enggak butuh aja bisa dibeli,” katanya.
“Mungkin kalau di Alfa ini enggak begitu kerasa ya di kantong, kalau yang terasa banget itu di Department Store. Itu pasti ada, tapi bukan tebus murah.”
Yang dimaksud Windy adalah jika berbelanja Rp 300 ribu, pelanggan mendapatkan voucer kupon potongan Rp 120 ribu. Tetapi, voucher itu bisa digunakan kalau berbelanja lagi sebesar Rp 300 ribu.
“Nah, kan itu yang kerasa banget menjebak. Kalau orang yang enggak teliti dan sadar kena udah, karena hawa nafsu dan mikir ‘Ah, sayang banget 120, tapi enggak dipakai,” ujarnya.

Windy pernah satu kali saja mengalami hal tersebut. Waktu itu dia memang masih memiliki uang sisa yang jumlahnya sekitar Rp 500 ribu. Karena merasa masih memiliki uang yang jumlahnya banyak, akhirnya ia tergiur untuk menggunakan kupon tersebut.
“Pas sudah sadarnya pas di rumah. Pas hitung-hitungan baru kayak menyesal kenapa gitu mesti pakai itu voucer, padahal baju juga tadi habis beli dan beli lagi cuma buat pakai kupon potongan,” katanya.
Dari pengalaman itu, Windy belajar untuk lebih teliti lagi dan sadar kalau dia tidak membutuhkan kupon potongan serta dia tidak akan rugi kalau tidak mengambil kupon potongan.
Bagian dari Pemasaran
View this post on Instagram
Pengamat bisnis & pemasaran Managing Partner Inventure Yuswohady menjelaskan, sebenarnya ada tiga fungsi marketing, yakni, get, keep, dan grow. Get adalah mendapat pelanggan baru.
Sementara keep adalah mempertahankan pelanggan yang sudah ada. Kemudian, grow adalah pelanggan yang sudah dipertahankan mesti harus dinaikkan pengeluarannya. Up selling, kata dia, merupakan bagian dari grow. Selain itu, ada juga cross selling dan bundling.
Yuswohady memberi contoh tiga strategi pemasaran tersebut. Dikatakan up selling, apabila konsumen memiliki mobil Innova lalu di-upsell membeli mobil Fortuner. Lalu untuk cross selling, contohnya konsumen dari membeli mobil, lantas membeli motor.
Sementara itu, contoh bundling adalah dua produk digabungkan. Jika konsumen membeli satu produk, harganya 100. Produk kedua harganya 50. “Kalau di-bundling harganya 125, misalnya. Jadi berkurang, lebih murah gitu. Itu namanya bundling,” ujar Yuswohady.
Yuswohady menyebutkan, sebenarnya kasus JCO Donuts adalah kombinasi antara cross selling, up selling, dan bundling. Tetapi, orang awam menyebutnya sebagai up selling.
“Tapi, benar juga karena up selling itu artinya dia dari belinya harusnya 100 jadi 150 gitu atau 125 dengan cara dikasih produk lain yang harganya harusnya itu tadi yang saya bilang tuh awalnya 100 ditawari, ditambahin 50, tapi setelah digabungkan itu enggak 150 tapi 125 gitu,” katanya.
View this post on Instagram
Produk sendiri terbagi menjadi tingkat bawah, tengah, dan atas. Produk level atas biasanya harganya lebih tinggi. Itu dibawa agar konsumen membeli di varian produk yang lebih mahal. Up selling ini, Yuswohady menuturkan, dilakukan di semua lini usaha.
Mulai dari mobil, Indomaret, hingga Starbucks. “Cuma di kasusnya JCO itu kan yang tidak fair dan mungkin saya sih banyak dengar di social media, ternyata enggak cuma JCO ya, banyak yang lain juga melakukan, yang kayaknya indikasi-indikasinya memang memanfaatkan kelengahan, jadi informasinya enggak lengkap, enggak dijelentrehin (diperinci--Red)” ujarnya.
Dia melanjutkan, bisa jadi faktornya karena mungkin lagi sibuk atau memang disengaja. Dalam penjualan ada sell script sebagai panduan, misalnya, bagaimana menjual produknya.
“Kalau di dalam sell script perusahaan memang diarahkan begitu, itu namanya kecurangan. Tapi, saya kira sih bukan perusahaan itu, saya kira biasanya salesman-nya itu kena target,” kata Yuswohady.
Jadi kalau mencapai target, pegawai akan mendapat insentif. “Makanya untuk mengejar target biasanya dia lihat gitu, dari pengalaman gitu ini biasanya kok lengah gitu. Maka kemudian dia sengaja di cerita itu enggak lengkap,” ujarnya.
Biasanya kalau sudah di kasir, pemesanan sudah dicetak, Yuswohady menyampaikan, persepsi yang muncul di pelanggan ketika minta dibuatkan lagi menjadi tidak praktis.
Makanya setelah sudah dicetak, pelanggan berpikir kerugiannya tidak besar dan mungkin membeli JCO-nya tidak setiap hari. Artinya, tidak apa-apa keliru, apalagi sudah tercetak.
Namun, menurut Yuswohady, ketika ada satu pelanggan JCO yang menyampaikan keluhan, kemudian ditambahi oleh pengalaman-pengalaman dari konsumen lainnya. Hal ini menjadi bukti bahwa praktik demikian cukup banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya di JCO, tapi juga di supermarket, hingga restoran dan gerai kopi.
Up selling dilakukan di semua lini usaha.YUSWOHADY, Pengamat Bisnis & Pemasaran Managing Partner Inventure.
Kesalahan Sepele dalam Berkendara yang Bisa Berujung Maut
Menaikkan kaki Anda ke atas dasbor mobil mungkin tampak sepele, tapi bisa menimbulkan banyak bahaya.
SELENGKAPNYALaksana Oasis di Pesisir Alexandria
Masjid Abu Abbas al-Mursi bukan hanya indah, melainkan juga bernilai sejarah.
SELENGKAPNYARona Sejarah di Masjid Kalan
Kompleks tempat ibadah ini telah terdaftar sebagai sebuah situs warisan sejarah dunia versi UNESCO.
SELENGKAPNYA