
Mujadid
Mengenal Sosok KH R As’ad Syamsul Arifin
Tokoh berdarah Madura ini turut mengembangkan jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
KH Raden As’ad Syamsul Arifin lahir di Desa Syiib Ali, sekitar Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah, pada tahun 1897. Saat itu, keluarganya sedang mengenyam pendidikan di Tanah Suci. Mereka adalah orang Indonesia dari Pulau Madura.
Pada 1903, keluarga kecil ini kembali ke kampung halaman di Pamekasan. Mereka memboyong As’ad dan adiknya, Abdurrahman.
Ibunda As’ad adalah seorang keturunan Sunan Ampel. Sementara itu, Raden Ibrahim merupakan ulama terkemuka dari Madura. Pada 1908, ayah kandung As’ad tersebut mulai berupaya mendirikan pesantren sendiri.
Atas saran para gurunya, sosok yang dijuluki Kiai Syamsul Arifin itu memilih lokasi di Situbondo (Jawa Timur), yang ketika itu masih berupa hutan belantara. Setelah kawasan tersebut dibenahi, berdirilah sebuah pesantren yang bernama Salafiah Syafiiyah.
As’ad pun menjadi santri angkatan pertama di lembaga ini. Ia tidak hanya menetap di sana, tetapi juga belajar di pesantren-pesantren lainnya. Sebut saja, Ponpes Banyuanyar di Pamekasan yang diasuh KH Itsbat Hasan pada 1785.
Seperti dikutip dari buku Ensiklopedi Islam, As’ad kemudian berangkat ke Tanah Suci guna meneruskan pendidikan agama Islam. Keputusan ini diambil berdasarkan imbauan dari orang tuanya.
Di Makkah, pemuda ini belajar pada Madrasah Shalatiyah, yang di dalamnya banyak para murid dari kalangan Jawi (Melayu). Guru-gurunya merupakan alim ulama besar, baik dari Timur Tengah maupun Nusantara.
Misalnya, pakar tata bahasa dan sastra Arab Syekh Hasan al-Massad dan Sayid Hasan al-Yamani, serta pakar ilmu tauhid dan fikih Sayid Muhammad Amin al-Qutbi. Ada pula Syekh Sarif al-Syinqithi dan Syekh Bakir asal Yogyakarta.
Saat berusia 17 tahun, As’ad pulang kembali ke Tanah Air. Sesampainya di kampung halaman, dia terus melanjutkan pendidikan agama. Dirinya berguru antara lain kepada KH Mohammad Kholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari di Jombang.
Pada 1924, As’ad diperbolehkan mengajar pada pesantren yang diasuh ayahnya. Namun, dia tidak sekadar mengajar, melainkan juga menghadirkan inovasi di tataran kurikulum dan administrasi.
Saat itu, Pondok Pesantren Salafiah Syafiiyah telah memiliki ratusan orang santri. Untuk itu, perlu metode yang lebih efektif dan efisien agar mereka dapat menerima ilmu dengan lebih baik.
As’ad kemudian menerapkan sistem madrasah, tetapi dengan mempertahankan cara mengajar yang tradisional. Misalnya, santri tetap menjalankan sorogan, yakni cara belajar dengan membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas tiga atau lima orang santri. Dengan cara ini, seorang kiai akan membaca dan menerjemahkan beberapa baris bacaan, kemudian para santri mengulangi penjelasan kiai tersebut.
Selain sorogan, ada lagi sistem wetonan, yakni dengan membentuk kelompok-kelompok yang lebih besar. Satu kelompok dapat terdiri atas 50 orang santri. Mereka hanya mengikuti penjelasan dari seorang kiai, tanpa perlu mengulanginya secara lisan.
Sejak saat itu, KH As’ad dipandang sebagai pembawa kemajuan bagi Pesantren Salafiah Syafiiyah. Pamornya semakin meningkat dengan upayanya mendirikan semacam perguruan tinggi, Ma’had ‘Ali, di kompleks tersebut. Setelah lembaga tersebut berdiri, dia mendatangkan banyak ulama besar, baik dari Tanah Suci maupun dalam negeri, untuk mengajar di sana.
Pada 1951, KH Syamsul Arifin berpulang ke rahmatullah. Sejak saat itu, KH As’ad sepenuhnya mengasuh Pesantren Salafiah Syafiiyah. Sampai sekarang, legasi KH As’ad masih dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat maupun Muslimin pada umumnya.
Kepedulian sosial KH As’ad sangat besar. Suatu ketika, pada 1940 dia mendapatkan tanah seluas 25 hektare di sekitar Pesantren Sukorejo. Tanah itu kemudian dijual dengan harga sangat murah kepada masyarakat setempat untuk menjadi tempat tinggal. Adapun sisanya dari yang tidak dijual itu, dipakai sebagai lahan perluasan pesantren.
Hasilnya, jumlah penduduk setempat semakin banyak dan terbilang makmur. Karena itu, KH As’ad mengusulkan kepada gubernur Jawa Timur saat itu untuk membuka akses jalan Kalianget-Jangkar (Situbondo). Setelah jalur tersebut dibuka, perkembangan ekonomi di kedua daerah tersebut meningkat pesat.

Aktif di NU
KH Raden As’ad Syamsul Arifin merupakan salah seorang perintis Nahdlatul Ulama (NU). Dialah yang memperantarai komunikasi antarpara alim ulama terkemuka, demi membentuk organisasi tersebut.
Salah satu keistimewaannya adalah, dia dipercaya KH Kholil Bangkalan untuk menyampaikan tongkat dan tasbih kepada KH Hasyim Asy’ari sebagai tanda direstuinya pembentukan NU.
Hadratussyekh Hasyim Asy’ari kemudian menugaskannya, bersama dengan KH Mahfud Siddiq dan KH Asnawi, untuk mengabarkan kepada seluruh ulama Jawa agar menghadiri pertgemuan akbar pendirian NU di Surabaya. Sejak saat itu, KH As’ad selalu terpilih sebagai penasihat (mustasyar) dalam setiap muktamar NU.
Wibawa KH As’ad begitu masyhur di kalangan NU maupun Muslimin pada umumnya. Dia dikenal sebagai pribadi yang tidak tergoda jabatan dan kekayaan. Jalan hidupnya adalah zuhud. Dia juga mengamalkan pola hidup sehat dan terjaga.
Jelang Muktamar NU ke-27 pada 1984, nama KH As’ad kian populer. Pesantrennya akan menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan acara tersebut. Sejarah mencatat muktamar ini sebagai jalan bagi NU untuk kembali ke khittah 1926.
Artinya, organisasi ini kembali mantap dalam bidang sosial keagamaan, alih-alih terjun ke politik praktis. Salah satu pendudung gigih khittah tersebut adalah KH As’ad. Dia pula yang menjadi ketua tim Ahl al-Hall wa al-’Aqd, yakni bertugas menentukan siapa ketua Pengurus Besar NU.

Pada muktamar NU berikutnya di Krapyak, Yogyakarta, KH As’ad tidak dapat hadir. Beberapa pernyataan mencuat bahwa sang kiai berseberangan pandangan dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
KH As’ad kemudian menyampaikan pemisahan diri (mufaraqah) dari kepemimpinan Gus Dus atas organisasi PBNU.
Bagaimanapun, secara kultural dia tetap warga NU. Tambahan pula, jajaran kepengurusan PBNU periode 1989-1994 menempatkannya pada jabatan ketua majelis mustasyar. Posisi ini tetap diberikan kepadanya sampai KH As’ad tutup usia pada 4 Agustus 1990.
Perjalanan Hayat Sang Penulis Al-Hikam
Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari sempat membenci tasawuf sebelum duduk di majelis Syekh al-Mursi.
SELENGKAPNYAHarumnya Siti Masyitoh, Perempuan yang Syahid demi Iman
Siti Masyitoh tidak gentar terhadap ancaman Firaun
SELENGKAPNYADi Masjid Al-Jin, Rasulullah Membaiat Jin
Salah satu masjid bersejarah di Makkah adalah Masjid Jin.
SELENGKAPNYA