
Kisah Dalam Negeri
Warisan Yogya Dirusak Kerusuhan
Kerusuhan demi kerusuhan merusak citra Yogyakarta.
Oleh SILVY DIAN SETIAWAN, FEBRIANTO ADI SAPUTRO
Bangku dan meja itu bukan perabotan biasa. Sudah tak muda lagi usianya. Perabotan dari kayu dan rotan itu dulunya digunakan Ki Hajar Dewantara, sang bapak pendidikan Indonesia, saat masih mengajar di Tamansiswa di Mergangsan, Kota Yogyakarta.
Pada Senin (5/6/2023), letaknya tak lagi di tempat biasa ia dipajang di bangunan rumah dan sekolah yang kini jadi Museum Tamansiswa Dewantara Kirti Griya di Pendopo Tamansiswa. "Kursi ini satu yang rusak, ini peninggalan Ki Hadjar. Itu yang terlempar dari sana ke sini," kata Kepala Museum Tamansiswa Dewantara Kirti Griya, Ki Murwanto, saat ditemui Republika di museum tersebut, Senin (5/6/2023).
Ia menuturkan, pintu bagian belakang museum juga sempat dibobol massa yang mencoba menyelamatkan diri dari amukan kelompok lain dalam kerusuhan pada Ahad (4/6/2023) malam.
Kerusuhan itu melibatkan anggota Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan suporter PSIM Yogyakarta yang lebih dikenal dengan sebutan Brajamusti. Murwanto mengatakan, massa sempat merangsek masuk untuk menyelamatkan diri ke kawasan belakang pendopo dan museum.

Peninggalan tersebut rusak karena massa yang berlari dan bersembunyi di belakang museum dan ke belakang Pendopo Tamansiswa. Museum tersebut berlokasi tepat di kawasan Pendopo Tamansiswa, tepat di sebelahnya.
"Jadi, massa PSHT itu ke sini (museum, Red) untuk menyelamatkan diri. Ada beberapa yang rusak dan sudah dicek oleh pihak kepolisian. Ada kursi, ada pot, ada pintu jebol, ada tirai bambu yang rusak," ujar Murwanto.
Pihaknya saat ini masih melakukan pendataan dan inventarisasi barang-barang atau fasilitas yang rusak akibat kerusuhan tersebut, baik barang maupun fasilitas di museum dan di Pendopo Tamansiswa.
Murwanto menyebut pihaknya juga masih menunggu instruksi dari kepolisian untuk melakukan perbaikan terhadap barang maupun fasilitas yang rusak. Hal itu karena polisi masih akan melakukan pengecekan terhadap TKP kerusuhan.

"Kita menunggu informasi dari kepolisian, kan baru dicek toh. Informasinya, jangan diubah-ubah dulu (posisi barang atau fasilitas yang rusak, Red). Ya sudah, mungkin buat bukti. Nanti kalau sudah oke dari kepolisian, baru nanti kita perbaiki," ungkap Murwanto.
Setidaknya, pihaknya membutuhkan waktu sekitar satu pekan untuk melakukan perbaikan. “Kita perbaiki sebelum tanggal 15 karena nanti akan ada kunjungan juga," ucapnya.
Bentrokan massal bermula pada Ahad (4/6/2023), pukul 17.00 WIB, di Jalan Kenari dan pukul 18.00 WIB di Jalan Tamansiswa. Keributan tersebut dilatarbelakangi oleh perkara penganiayaan terhadap anggota Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) yang diduga dilakukan oleh anggota Brajamusti, suporter klub PSIM, pada Ahad (28/5/2023) di Villa Rangdo Parangdok, Parangtritis, Kretek, Bantul.
Awal mulanya rombongan Wilayah Timur bergerak dari kawasan timur Prambanan. Tujuan awal rombongan yaitu Polres Bantul untuk membuat pernyataan sekaligus menanyakan mengenai kebenaran informasi penangkapan tiga pelaku dari pihak Brajamusti.

Namun, perjalanan arak-arakan konvoi sepeda motor oleh rombongan PSHT berubah menuju markas Brajamusti dan mengarah masuk Kota Yogyakarta. Ketika melintas, terjadi bentrok dengan warga sekitar karena warga merasa terganggu dan terusik oleh suara knalpot dan teriakan-teriakan kasar rombongan itu.
Pukul 19.00-21.00 WIB di Jalan Kenari kembali terjadi bentrok antara PSHT dan warga, kemudian kepolisian mengamankan. Pukul 21.00-23.58 WIB, petugas mengevakuasi massa PSHT ke Mapolda DIY dengan jumlah total 352 orang.
Salah satu warga, Titik (68 tahun), mengatakan, ia melihat tensi kerusuhan saat baru pulang dari masjid setelah melaksanakan shalat Maghrib. "Waktu itu massa masih sedikit, aku sempat melerai dulu. 'Ini di kampung, bubar, bubar, nanti jadi nggak karu-karuan,'" kata Titik sambil menirukan perkataan yang ia keluarkan ketika melerai massa, saat ditemui di lokasi, Senin (5/6/2023).
Tidak berselang lama, Titik justru melihat rombongan massa makin banyak di Gang Joyonegaran, bahkan melimpah ruah hingga di Jalan Tamansiswa. Melihat hal itu, ia panik dan langsung masuk ke rumahnya.

"Dari belakang sini, dari timur, sudah seperti lautan manusia. Aku terus masuk saja ke dalam rumah. Dari timur sudah enggak bisa dibendung lagi," ujar Titik.
Titik juga menyebut sempat terjadi kepanikan di antara warga sekitar akibat banyaknya massa. Bahkan, ada massa yang sampai membawa senjata tajam, tongkat bambu, kayu, hingga batu.
"Anak-anak remaja masih di pinggir jalan, aku khawatir kalau anak-anak kan enggak tahu apa-apa. Kalau anak di sini enggak tahu apa-apa (terkena imbasnya), terus yang tua-tua keluar ini kan bahaya sekali. Anak-anak langsung disuruh masuk," kata dia.
Satpam Pendopo Tamansiswa, Klatep, mengatakan, saat kejadian pada Ahad, kawasan tersebut dipenuhi oleh massa. Ratusan massa sempat disembunyikan agar tidak dihajar massa dari kelompok lain di belakang Pendopo Tamansiswa.

"PSHT disembunyikan di belakang (pendopo) sekitar 200 orang lebih," kata Klatep saat ditemui Republika di Pendopo Tamansiswa. Klatep menyebut, ada pelemparan batu yang dilakukan oleh massa dari luar pendopo. Hal itu menyebabkan batu berserakan di dalam pendopo, termasuk pecahan kaca yang berserakan di luar pendopo atau di Jalan Tamansiswa.
Klatep menyebut polisi juga sempat menyemprotkan gas air mata kepada massa. Ia melihat polisi menyemprotkan gas air mata sebanyak dua kali untuk membubarkan massa.
Kapolda DIY Irjen Suwondo Nainggolan meminta masyarakat untuk tidak terpancing dengan ajakan keributan lebih lanjut. "Untuk sementara, situasi sudah bisa kami kendalikan, tapi demikian kami tetap melakukan penjagaan dan juga akan melakukan kegiatan patroli untuk memastikan tidak ada orang yang melakukan tindakan tersebut di wilayah Yogya," kata Suwondo dalam keterangan, Senin (5/6/2023).
Kepolisian juga telah melakukan evakuasi terhadap sejumlah massa. Total kendaraan yang digunakan sebanyak 16 kendaraan. "Tadi kita sudah melakukan evakuasi ke Polda Yogya menggunakan kendaraan-kendaraan Polri," ucapnya.
Seusai kejadian, kepolisian mengerahkan satu kompi pasukan untuk berjaga-jaga di sekitar lokasi. Selain penjagaan, petugas kepolisian juga melakukan patroli.

"Seluruh wilayah polres-polres berkoordinasi dengan Polres Klaten, Polda Jateng, untuk juga melakukan koordinasi sehingga bisa mengamankan situasi yang ada di wilayah Yogyakarta," kata dia.
Seperti perusakan di Museum Tamansiswa, kerusuhan terkini itu juga kian jadi coreng bagi Yogyakarat, daerah yang terkenal sebagai pusat kebudayaan, pariwisata, dan pendidikan. Kerusuhan kemarin bukan yang pertama kali terjadi di Yogyakarta.
Pada 2018, misalnya, terjadi bentrok antara mahasiswa asal Papua dan Ambon di wilayah Babarsari. Kericuhan kala itu dipicu keributan di salah satu kafe di Jalan Perumnas, Seturan. Kerusuhan serupa dengan kelompok yang sama dalam skala yang lebih besar kembali terulang pada 2022. Pada tahun 2020, kericuhan juga terjadi di Babarsari antara pengemudi ojek daring dan debt collector.
Bentrok juga pernah terjadi antarsuporter PSIM dan warga di Jalan Adisucipto pada 2021. Bentrokan itu terjadi ketika suporter melampiaskan kekecewaan setelah tim kesayangannya gagal lolos ke Liga 1. Saat itu, suporter mengamuk dan mengganggu warga sekitar yang akhirnya warga membalas.

Sementara itu, Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan Brajamusti telah bersepakat untuk berdamai. Ketua Cabang PSHT Bantul Tri Joko Santoso meminta maaf atas peristiwa yang terjadi pada Ahad (4/6/2023) malam.
"Atas kejadian itu, saya, pertama, minta maaf kepada Bapak Gubernur Sri Sultan Hamengkubowo, yang kedua kepada masyarakat Yogyakarta," kata Tri Jaka Santosa dalam konferensi pers di Mapolda DIY, Senin (5/6/2023).
Dirinya juga menyatakan permohonan maaf karena tidak bisa membendung peristiwa tersebut. Pihaknya dan Brajamusti telah sepakat untuk berdamai.
"Masalah ini saya dengan pihak BI (Brajamusti, Red) sudah sepakat tidak ada masalah dan baik PSHT maupun Brajamusti adalah sama-sama saudara karena mereka semua bernaung di PSHT dan bernaung di Brajamusti, untuk itu sekali lagi saya juga minta maaf karena saudara-saudaraku pengurus Brajamusti dan semua warga Brajamusti, saya minta maaf yang sebesar-besarnya," ungkapnya.
Bagaimanapun, kejadian-kejadian ini tak bisa terus berulang. "Karena di saat kita membangun kepercayaan publik, kemudian kita juga membangun rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dan wisatawan Yogya, di long weekend ada kejadian itu saya sangat menyayangkan sekali dan mengecam, saya harap tidak terulang lagi di masa-masa ke depan," ujar Penjabat Wali Kota Yogyakarta Singgih Raharjo kepada media, Senin (5/6/23).
Ia menekankan, Kota Yogyakarta merupakan kota wisata yang seharusnya identik dengan keramahtamahan dan suasana yang aman dan nyaman. "Sehingga ini tidak boleh terjadi lagi di Kota Yogya. Ini akan berpengaruh pada kepercayaan wisatawan," kata Singgih.
Ia pun menghimbau agar masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya tidak kemudian mudah terpancing dan terprovokasi hal-hal yang dapat membuat gaduh dan keonaran di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Nantinya ia akan berkoordinasi dengan Forkopimda untuk meningkatkan deteksi dini atas dinamika yang terjadi di masyarakat.
Spanduk Tuyul Jelang Pemilu, Politik atau Sebatas Klenik?
Praktik tuyul bisa sampai pada batas kemusyrikan.
SELENGKAPNYAPSHT Vs Brajamusti Bentrok di Yogya
Tidak ada korban jiwa dalam pertikaian yang dilatarbelakangi penganiayaan tersebut.
SELENGKAPNYAMenilik Masyarakat 4.0 yang Masih Percaya Klenik
Dunia barat belajar dengan konsep tulisan, sedangkan bangsa-bangsa timur belajar dengan cara lisan.
SELENGKAPNYA