Teks Piagam Jakarta. Dokumen ini merupakan hasil dari Panitia Sembilan. | DOK WIKIPEDIA

Dunia Islam

Kala Bung Karno Sampaikan Hasil Panitia Sembilan

Ikhitiar para tokoh bangsa yang tergabung di Panitia Sembilan pada akhirnya menghasilkan rumusan Piagam Jakarta.

Kedudukan Pancasila begitu penting bagi bangsa Indonesia. Dalam sejarahnya, kelahiran dasar negara tersebut berkaitan dengan momen-momen penting menjelang Proklamasi RI 17 Agustus 1945.

Menurut sejarawan Tiar Anwar Bachtiar, salah satu momen yang krusial itu ialah pembacaan pidato oleh Sukarno selaku anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945. Bung Karno menyebutkan perlunya philosofische gronslag bagi Indonesia Merdeka.

Sosok berjulukan "putra sang fajar" itu mengajukan lima asas sebagai dasar negara, yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan. Dia menamakan kelima poin itu sebagai Panca Sila—atas saran seorang sahabatnya yang ahli bahasa. Dalam bahasa Sanskerta, panca berarti ‘lima’, sedangkan syila adalah ‘dasar'.

“Sebelum Bung Karno, beberapa (tokoh) sudah berpidato. Hanya saja, dalam pidatonya, Sukarno mengusulkan ada nama (bagi dasar negara), yaitu Pancasila,” ujar Anwar Bachtiar saat dihubungi Republika, baru-baru ini.

 
Dalam pidatonya, Sukarno mengusulkan ada nama (bagi dasar negara), yaitu Pancasila.
   

Adapun redaksi Pancasila yang kita kenal kini tidak sama dengan sila-sila yang diajukan Sukarno dalam pidatonya tersebut. Maka dari itu, lanjut Anwar, janganlah melupakan momen berikutnya sesudah pidato Bung Karno 1 Juni 1945, yakni pembentukan Panitia Sembilan.

Forum yang mengumpulkan sembilan orang tokoh bangsa—termasuk Bung Karno—itu pada akhirnya menghasilkan rumusan yang disebut Piagam Jakarta, terbentuk pada 22 Juni 1945.

“Piagam Jakarta yang diumumkan pada 22 Juni (1945) itu menghasilkan rumusan Pancasila, sebagaimana kita kenal sekarang,” jelasnya.

Pemersatu perbedaan

Ulasan mengenai Piagam Jakarta, termasuk prosesnya sehingga menjadi Pancasila, dibahas secara mendalam oleh Endang Saifuddin Anshari. Ia menulis tesis untuk McGill University pada 1976 berjudul, “The Jakarta Charter of June 1945.”

Segera setelah masa sidang pertama BPUPK usai, sebanyak 38 anggota mengadakan pertemuan. Mereka lantas membentuk panitia kecil yang terdiri atas sembilan tokoh.

photo
Sukarno memberikan pidato di sidang BPUPK - (Dok Blogspotdotcom)

Kesembilan figur nasionalis yang dimaksud adalah Sukarno, Mohammad Hatta (1902-1980), AA Maramis (1897-1977), Abikoesno Tjokrosoejoso (1897-1968), A Kahar Muzakkir (1907-1973), Haji Agus Salim (1884-1954), Achmad Soebardjo (1896-1978), Abdul Wahid Hasyim (1914-1953), dan Muhammad Yamin.

Panitia Sembilan—demikian itu dinamakan—akhirnya berhasil mencapai suatu modus vivendi yang mempertemukan antara golongan nasionalis Islami dan nasionalis “sekuler.” Hasil tersebut disampaikan Sukarno pada sidang BPUPK tanggal 10 Juli 1945, yang membahas rancangan pembukaan (mukadimah atau preambule) konstitusi yang nantinya menjadi undang-undang dasar Indonesia Merdeka.

Berikut isi dari rancangan preambule yang dibacakan Bung Karno dalam pidato pada masa sidang kedua BPUPK.

 

 

Pembukaan: Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:

Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

   

Sukarno mengingatkan, preambule itu adalah hasil jerih-payah bersama, antara golongan Islam (“nasionalis Islami”) dan kebangsaan (“nasionalis ‘sekuler’”). Segenap golongan itu terepresentasikan dalam Panitia Sembilan, di mana nasionalis-Islami dan nasionalis-“sekuler” masing-masing diwakili empat orang.

“Inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPK),” kata Bung Karno.

Endang Saifuddin Anshari berpendapat, masukan dari kalangan Islam tak sebatas dari lisan keempat anggota Panitia Sembilan, melainkan lebih jauh lagi. Ia mengutip pidato Jenderal AH Nasution dalam peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, “[Piagam Jakarta] banyak mendapat ilham daripada hikmah 52 ribu surat-surat para alim ulama.” Ulama-ulama yang dimaksud, menurut Nasution, pernah mengirimkan puluhan ribu surat itu ke kantor Himpunan Kebaktian Rakjat Djawa (Jawa Hokokai).

Hari Pancasila: 1 Juni atau 22 Juni?

Mengingat pentingnya momentum Panitia Sembilan, berbagai kalangan menyatakan, peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dapat dikritisi. Sebab, pembacaan pidato oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 masih merupakan sebuah tahapan untuk mencapai rumusan Pancasila, yang sebagaimana kita kenal sekarang.

Adapun substansi Pancasila—yang tercapai melalui lobi antara kelompok-kelompok nasionalis agama dan “sekuler”—justru lahir dalam teks Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

“Pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945, substansi dan isi Pancasila itu lahirnya di situ,” jelas Tiar Anwar Bachtiar.

Memang, ada berbagai pendapat perihal pokok ini. Seorang sejarawan yang melejit kala Orde Baru, Nugroho Notosusanto, pernah menggugat sejarah hari lahir Pancasila pada 1 Juni lewat sebuah buku lawasnya. Brigjen TNI purnawirawan ini pun mengusulkan bahwa 18 Agustus adalah Hari Lahir Pancasila.

photo
Warga mengikuti Kirab Garuda memperingati Hari Lahir Pancasila di Pedukuhan Kanutan, Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta, Kamis (1/6/2023). - (Republika/Wihdan Hidayat)

“Nah, sekarang mengapa 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila? Sebab, kita tahu bahwa ini usulannya Taufik Kemas dari PDIP, menantunya Sukarno,” ujar Anwar.

Penentuan tanggal-tanggal memorial memang tidak terlepas dari konteks kekuasaan. Bagaikan bandul, ketika sebuah tatanan menetapkan suatu “catatan” sebagai sejarah resmi; maka tatanan yang lahir berikutnya boleh jadi mengubah “catatan” itu menjadi tidak resmi dan mengajukan yang baru.

Pada masa Orde Baru, lanjut Anwar, banyak kalangan menginginkan 18 Agustus sebagai peringatan Hari Lahir Pancasila. Kini, pada masa Reformasi, 1 Juni telah ditetapkan sebagai momentum peringatan demikian. Penetapannya pun bertepatan dengan masa berkuasanya PDIP, partai yang diperjuangkan seorang anak Bung Karno.

“Nah cuma karena belum sempat yang pendukung 22 Juni ini menjadi penguasa, sehingga (tanggal 22 Juni) belum ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila,” imbuh Anwar.

Yang jelas, jangan pernah melupakan sejarah. Anwar menegaskan, peran umat Islam besar sekali dalam proses perumusan Pancasila, baik ketika sidang-sidang BPUPK berjalan maupun sesudah Proklamasi RI.

 
Peran umat Islam besar sekali dalam proses perumusan Pancasila.
   

Di BPUPK, nyaris setengah dari keseluruhan anggotanya merupakan para aktivis Islam. Untuk menyebutkan beberapa nama, di antara mereka adalah KH Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kiai Abdul Halim, Kiai Ahmad Sanusi, KH Abdul Wahid Hasyim, dan KH Wahab Hasbullah.

“Apalagi kalau ini ditinjau dari agama yang mereka peluk. Sekira 90 persen isinya (BPUPK) adalah Muslim,” ujar Anwar.

“Jadi, banyak sekali tokoh Islam yang tergabung di BPUPKI sehingga Hari Lahir Pancasila tentu saja diisi kontribusi besar dari umat Islam,” jelasnya.

Peristiwa Kunci di Balik Lahirnya Pancasila

Ada peran bersama dari para tokoh bangsa di balik lahirnya Pancasila.

SELENGKAPNYA

Menelaah Dampak Beda Usia dalam Hubungan

Terdapat dua penelitian yang bertentangan tentang dampak hubungan dengan beda usia yang jauh.

SELENGKAPNYA

Menemukan Ketenangan Jiwa dari Kura-Kura

Memelihara kura-kura, seperti sulcata dan aldabra, memerlukan ketekunan tersendiri. 

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya